Jumat, Desember 5, 2025
BerandaUncategorizedSaat Hoaks Bertemu Kecerdasan Buatan: Krisi Literasi Digital Indonesia

Saat Hoaks Bertemu Kecerdasan Buatan: Krisi Literasi Digital Indonesia

Tantangan Literasi Digital di Era Kecerdasan Buatan

Kemajuan teknologi seharusnya membawa masyarakat menuju kehidupan yang lebih mudah dan terbuka. Namun, di Indonesia, banjir informasi justru menjadi masalah besar. Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), masyarakat kini menghadapi tantangan baru: kesulitan membedakan antara fakta dan rekayasa digital. Krisis literasi digital bukan lagi sekadar tentang kemampuan menggunakan gawai, tetapi juga kemampuan berpikir kritis dalam menghadapi era manipulasi informasi.

Data terbaru menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat kesopanan digital yang rendah di kawasan Asia Tenggara. Survei menunjukkan bahwa hanya 41 persen masyarakat mampu mengenali informasi palsu di internet. Artinya, enam dari sepuluh pengguna masih rentan menjadi korban disinformasi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya meningkatkan kemampuan literasi digital.

Gelombang Disinformasi yang Tak Pernah Surut

Fenomena hoaks bukan hal baru di Indonesia. Sejak 2019, lembaga anti fitnah mencatat ratusan kasus hoaks setiap tahun. Lonjakan terjadi saat masa politik dan pandemi. Konten palsu tidak hanya dalam bentuk teks, tetapi juga video dan gambar yang tampak meyakinkan.

Yang membuat situasi semakin rumit adalah munculnya AI generatif. Teknologi seperti deepfake mampu menciptakan wajah, suara, bahkan video yang tampak nyata. Dalam hitungan detik, siapa pun bisa memproduksi konten yang seolah-olah berasal dari tokoh publik, lengkap dengan narasi provokatif.

Masalahnya, di negara dengan tingkat literasi digital rendah seperti Indonesia, kemampuan untuk memverifikasi sumber informasi masih minim. Banyak orang lebih cepat membagikan konten daripada memeriksanya. Ketika AI mampu menghasilkan kebohongan yang tampak seperti kebenaran, batas antara fakta dan fiksi makin kabur.

Kekurangan Literasi Digital dibanding Negara Tetangga

Jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, posisi Indonesia tergolong memprihatinkan. Laporan UNESCO tahun 2023 menunjukkan bahwa indeks literasi digital Indonesia berada di bawah Vietnam dan Filipina. Kedua negara tersebut sudah memasukkan pendidikan literasi digital ke dalam kurikulum sejak 2018.

Sementara itu, Indonesia masih fokus pada aspek penggunaan teknologi, bukan pemahaman kritis terhadap informasi. Banyak masyarakat yang mahir mengoperasikan media sosial, tetapi belum tentu memahami cara kerja algoritme atau cara mengenali konten manipulatif.

Dampaknya nyata. Dalam konteks sosial, hoaks dapat memecah belah masyarakat. Dalam konteks ekonomi, informasi palsu dapat memicu kepanikan, seperti yang pernah terjadi pada kasus minyak goreng dan bahan bakar minyak. Di ranah politik, disinformasi bisa memengaruhi persepsi publik terhadap calon pemimpin.

Peran AI yang Semakin Kompleks

AI bukan hanya alat pembuat hoaks, tetapi juga alat penyebarnya. Platform media sosial kini memanfaatkan algoritme berbasis kecerdasan buatan untuk menyesuaikan konten sesuai minat pengguna. Masalahnya, algoritme ini sering kali memperkuat echo chamber, yakni ruang informasi yang hanya menampilkan pandangan searah dan menyingkirkan opini berbeda.

Sebagai contoh, seseorang yang sering menonton video teori konspirasi akan terus direkomendasikan konten serupa. Tanpa disadari, pengguna terjebak dalam ruang gema yang memperkuat keyakinan salahnya. AI, dalam hal ini, mempercepat penyebaran disinformasi secara sistemik.

Ironisnya, AI juga bisa menjadi solusi. Beberapa lembaga di dunia sudah mengembangkan sistem pendeteksi konten palsu berbasis pembelajaran mesin. Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan teknologi ini di negara berkembang seperti Indonesia yang masih terbatas dalam infrastruktur dan sumber daya digital.

Pendidikan Literasi Digital Masih Sebatas Seremonial

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah meluncurkan program Gerakan Nasional Literasi Digital sejak 2021. Namun, sebagian besar kegiatan masih berfokus pada pelatihan dasar, seperti cara menghindari penipuan daring atau menjaga keamanan akun. Pendekatan ini penting, tetapi belum menyentuh aspek paling krusial: kemampuan berpikir kritis dan analitis terhadap informasi.

Literasi digital tidak bisa berhenti pada “cara menggunakan” teknologi, tetapi harus berkembang menjadi “cara memahami” teknologi. Artinya, masyarakat perlu diajak mengenal bagaimana algoritme bekerja, bagaimana data digunakan, dan bagaimana bias bisa terbentuk di ruang digital.

Keterlibatan sektor pendidikan menjadi kunci. Literasi digital perlu dimasukkan dalam kurikulum sejak dini, bukan hanya dalam pelajaran teknologi informasi, tetapi juga dalam konteks sosial dan etika. Guru dan orang tua juga harus dibekali kemampuan yang sama agar bisa menjadi filter informasi bagi generasi muda.

Tanggung Jawab Bersama di Era AI

Menghadapi era disinformasi berbasis AI, tanggung jawab tidak bisa dibebankan hanya kepada pemerintah. Platform digital, media massa, dan masyarakat harus berperan aktif.

Platform digital wajib lebih transparan terhadap sistem algoritme dan cepat menindak penyebaran konten palsu. Media massa perlu menjaga kepercayaan publik dengan verifikasi ketat dan penyajian data yang akurat. Masyarakat harus berhenti menjadi penyebar tanpa sadar.

Kritis terhadap informasi bukan berarti sinis, tetapi berhenti sejenak untuk memeriksa sumber sebelum percaya. Gerakan kecil seperti “stop sebelum sebar” bisa menjadi langkah sederhana namun berdampak besar.

Menjadi Cerdas di Tengah Kebisingan Digital

Era AI membuka dua sisi mata uang bagi manusia: kemudahan luar biasa dalam mengakses informasi, tetapi juga ancaman kebingungan massal akibat disinformasi yang semakin canggih. Krisis literasi digital Indonesia tidak akan selesai hanya dengan kampanye dan pelatihan teknis. Diperlukan kesadaran kolektif bahwa literasi bukan sekadar kemampuan membaca, melainkan kemampuan memahami realitas di balik layar.

Di era ketika hoaks dan AI berjalan beriringan, yang dipertaruhkan bukan sekadar kebenaran, melainkan kemampuan masyarakat menjaga akal sehat di tengah arus informasi yang tak pernah berhenti.

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular