Fenomena “Sok Tahu” di Era Informasi yang Berlimpah
Banyak dari kita pernah mengalami situasi seperti ini, bukan? Terjebak dalam percakapan panas di grup keluarga atau teman dekat, atau menyaksikan debat sengit di media sosial. Ada seseorang yang dengan penuh keyakinan menjelaskan panjang lebar tentang suatu “fakta”, bisa jadi terkait kesehatan, politik, konspirasi global, atau isu kompleks lainnya. Kalimatnya terdengar rapi dan logis, seolah ia telah membaca banyak buku untuk sampai pada kesimpulan itu. Sayangnya, ia tidak sadar bahwa pengetahuannya mungkin salah. Justru, ia merasa menjadi satu-satunya orang yang paling tahu.
Fenomena ini menunjukkan ironi besar di era informasi saat ini: meskipun kita memiliki akses ke begitu banyak informasi, kita justru terancam tenggelam dalam krisis pemahaman. Masalah ini bukan hanya tentang siapa yang punya akses internet, tetapi lebih pada bagaimana tiga kekuatan besar saling bertabrakan: cara berpikir manusia yang penuh dengan jebakan, budaya sosial yang semakin tidak menghargai keahlian, dan kini hadirnya AI yang memperkuat tren ini.
Mengapa Kita Begitu Yakin Saat Salah?
Akar masalahnya ternyata ada di dalam diri kita sendiri, yaitu efek Dunning-Kruger. Secara sederhana, efek ini menjelaskan bahwa orang dengan kemampuan rendah di suatu bidang sering kali percaya diri lebih tinggi daripada mereka yang sebenarnya lebih kompeten. Mereka tidak hanya membuat kesalahan, tetapi juga kehilangan kemampuan untuk menilai diri sendiri.
Bayangkan beban ganda yang mereka alami: mereka tidak tahu, dan bahkan tidak menyadari bahwa mereka tidak tahu. Ketidaktahuan ini justru menciptakan rasa percaya diri yang palsu. Inilah yang sering membuat kita melihat orang-orang yang sok tahu. Hal ini tidak berkaitan dengan tingkat kecerdasan. Seorang profesor biologi bisa saja percaya diri bicara ngawur tentang antropologi, sementara seorang seniman bisa terjebak dalam analisis politik yang dangkal. Keahlian di satu bidang tidak otomatis membuat seseorang bijaksana di bidang lain.
Inilah sebabnya, kita sering melihat orang yang tulus menyebarkan berita palsu. Mereka tidak merasa sedang menipu, karena dalam pikiran mereka, mereka sedang berbagi kebenaran. Tanpa adanya alarm internal yang mengingatkan mereka betapa sedikitnya pengetahuan mereka.
Panggung Digital dan Matinya Kepakaran
Jika efek Dunning-Kruger adalah benihnya, maka internet adalah tanah subur yang membuatnya tumbuh liar. Seperti yang dinyatakan oleh Tom Nichols, kita hidup di zaman di mana perasaan dianggap setara dengan fakta. Opini pribadi dihargai sebanding dengan riset ahli yang sudah lama mendalami ilmunya.
Ironisnya, internet yang seharusnya mencerdaskan justru sering menjadi mesin pembenar. Algoritma media sosial tidak peduli pada kebenaran; ia hanya peduli pada interaksi. Ia akan terus memberikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, memperkuat keyakinan yang sudah ada, dan menciptakan “gelembung” yang nyaman. Perjalanan kita di dunia maya pun berubah: dari “mengklik untuk mencari tahu” menjadi “mengklik untuk mencari pembenaran”.
Di tengah kekacauan ini, AI Generatif datang seperti bensin yang menyiram api. Bahaya terbesar dari AI bukanlah saat ia memberi jawaban salah, tetapi saat ia mampu merangkai jawaban yang salah dengan gaya bahasa yang fasih, terstruktur, dan meyakinkan, seolah ia seorang ahli. AI menciptakan “kebenaran palsu” yang tampak kokoh di permukaan, namun rapuh di dasar.
Jalan Pulang Menuju Kerendahan Hati Intelektual dan Kebijaksanaan
Menyalahkan teknologi tentu sia-sia. Yang kita butuhkan adalah membangun kembali kekuatan dari dalam diri kita. Kuncinya ada pada dua hal: kerendahan hati dan keberanian untuk berpikir.
Pendidikan kita harus berubah, dari sekadar gudang hafalan menjadi “gym” untuk melatih pikiran. Anak-anak perlu belajar cara berpikir, bukan hanya apa yang harus dipikirkan. Mereka perlu dilatih untuk merasa nyaman dengan kalimat, “Saya tidak tahu, dan itu tidak apa-apa”. Itulah yang disebut kerendahan hati intelektual, yakni kesadaran bahwa selalu ada ruang untuk terus belajar.
Pada saat yang sama, para ahli dan pakar harus mau “turun gunung”. Kepercayaan publik tidak bisa dibangun dari menara gading. Mereka harus masuk ke ruang-ruang diskusi publik, menerjemahkan “bahasa langitan” mereka menjadi bahasa yang membumi, dan berani meluruskan apa yang bengkok. Ini semua butuh dukungan budaya baru: budaya di mana bertanya, “dari mana Anda tahu info itu?” bukanlah serangan kredibilitas, melainkan ajakan untuk sama-sama bertanggung jawab.
Tantangan ini terasa sangat besar, bahkan mungkin melelahkan. Namun, di tengah kabut ilusi kebenaran dan pengetahuan sintetis ini, ada satu cahaya yang tak pernah padam: kerinduan alami manusia akan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang tidak lahir dari merasa paling tahu, tetapi justru dari kesadaran akan keterbatasan diri.
Hal inilah yang merupakan panggilan bagi generasi kita ke depan. Generasi yang memiliki upaya untuk memastikan kemajuan teknologi tidak meninggalkan kearifan. Mari kita mulai dari diri sendiri, dengan janji kecil yang punya kekuatan besar: untuk lebih mencintai kebenaran ketimbang pembenaran, dan lebih memilih untuk benar-benar bijaksana daripada sekadar terlihat bijaksana.

