Risiko Keamanan Siber dalam Transisi Energi
Transisi energi yang sedang dilakukan oleh Indonesia tidak hanya membawa peluang, tetapi juga risiko. Salah satu ancaman utama yang muncul adalah kejahatan siber. Oleh karena itu, pencegahan dan pengelolaan keamanan siber harus diperhatikan secara maksimal agar tidak terlibat dalam konflik digital.
John Defterios, Board Member SEforAll sekaligus Senior Fellow Energy & Materials World Economic Forum, menyoroti bahwa era baru energi bersih tidak bisa dilepaskan dari ancaman serangan digital. Ia menyatakan bahwa serangan ini bukanlah mitos, melainkan realitas yang nyata terjadi di berbagai belahan dunia.
“Energi adalah tulang punggung pembangunan. Namun, kini juga menjadi sasaran empuk para penjahat siber. Satu dari sepuluh serangan di dunia mengincar sektor energi,” ujar John pada hari Sabtu (4/10). Menurutnya, keamanan siber perlu ditingkatkan untuk memastikan proyek energi terbarukan seperti panel surya atau turbin angin tetap aman dari ancaman.
John memberikan contoh negara-negara seperti Senegal dan Arab Saudi yang pernah menjadi target serangan siber setelah memulai proyek energi terbarukan. Ia menilai, Indonesia juga akan menghadapi tantangan serupa. Untuk itu, keamanan siber harus dimasukkan sejak awal dalam proses perencanaan.
Selain itu, transisi energi juga harus disertai dengan pengawasan siber yang ketat. Hal ini penting agar infrastruktur energi tidak mudah diganggu oleh pihak asing. “Transisi energi Indonesia bukan sekadar tentang mengganti batu bara dengan energi hijau, tapi juga tentang bagaimana menjaga agar listrik yang dinikmati rakyat tidak mudah diputus oleh pihak asing lewat dunia maya,” tegas John.
Ancaman Serangan Siber yang Mengancam Infrastruktur Strategis
Fahmy Radhi, pengamat energi dari Universitas Indonesia (UI), menambahkan bahwa Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat lebih dari 370 juta upaya serangan siber sepanjang tahun 2023. Banyak dari serangan tersebut mengarah ke infrastruktur strategis. Jika serangan berhasil menembus sistem pembangkit atau distribusi, dampaknya bisa sangat besar.
“Jika serangan berhasil menembus sistem pembangkit atau distribusi, dampaknya bisa blackout massal. Bayangkan kerugian ekonomi dan sosial yang muncul,” kata Fahmy. Ia menekankan bahwa keamanan siber menjadi faktor penting dalam menjaga kelancaran sistem energi.
Pemerintah Indonesia saat ini telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dengan mendorong bauran energi hijau. Namun, menurut John Defterios, langkah ini harus diikuti dengan investasi dalam keamanan digital. Ia menyoroti adanya ketimpangan pendanaan global, di mana negara berkembang rata-rata hanya mengalokasikan USD 1 per kapita untuk keamanan siber, jauh tertinggal dibanding negara maju yang menginvestasikan USD 30 per kapita.
“Jika kesenjangan ini tidak ditutup, transisi energi akan menjadi sasaran empuk pihak luar. Investor global juga tidak akan menaruh modal besar jika merasa infrastruktur digital Indonesia rapuh,” tegas John.
Pentingnya Investasi dalam Keamanan Siber
Dari semua penjelasan tersebut, terlihat bahwa keamanan siber tidak boleh diabaikan dalam proses transisi energi. Peningkatan keamanan siber adalah salah satu langkah penting untuk melindungi infrastruktur energi dari ancaman luar. Dengan demikian, Indonesia dapat menjaga stabilitas pasokan listrik dan menghindari kerugian yang lebih besar.
Investasi dalam keamanan siber juga penting untuk menarik minat investor global. Jika infrastruktur digital di Indonesia dianggap kuat dan aman, maka investor akan lebih percaya diri untuk menanamkan modal di sektor energi terbarukan. Ini akan mendukung pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Oleh karena itu, pemerintah dan pelaku bisnis perlu bekerja sama untuk meningkatkan keamanan siber. Dengan kolaborasi yang baik, Indonesia dapat menghadapi tantangan transisi energi dengan lebih siap dan tangguh.
