Artificial intelligence
(AI) atau kecerdasan buatan kini sudah jadi teknologi yang bisa diakses hampir siapa saja. Gak hanya dalam bentuk algoritma, kini muncul pula yang dinamakan kecerdasan buatan generatif (
generative
AI). Teknologi tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan atau merancang materi baru berdasarkan algoritme dan informasi yang telah terkumpul sebelumnya. Dampak serta potensi risikonya menjadi sulit diatur dan diperkirakan. Ini menimbulkan diskusi yang sangat tajam.
Menariknya, perdebatan tentang manfaat dan potensi negatif AI sebenarnya sudah menjadi topik dalam dunia sastra. Setidaknya ada beberapa buku lama yang membahas teknologi serupa AI serta implikasi ekstrimnya. Bisa jadi ini akan merangsang pemikiran kritismu.
1. Fahrenheit 451 (Ray Bradbury)

Fahrenheit 451
merupakan sebuah novel yang diterbitkan tahun 1953 dan terilhami dari peraturan ekstrim Nazi saat mereka berkuasa di Jerman, yaitu penyensoran atas bidang pengetahuan khususnya buku-buku. Bradbury memvisualisasikan bagaimana jika Amerika Serikat ikut terseret ke dalam situasi serupa. Kemudian pihak berwenang malah menerapkan sensor masif terhadap bahan bacaan yang dinilai dapat mengancam stabilitas sosial.
Walau tak secara langsung menyinggung tentang AI atau artificial intelligence, baik disadari maupun tidak, saat ini kita tengah memasuki zaman serupa dengan setting dalam buku tersebut. Hal ini terjadi di masa dimana buku dan literasi sudah bukan menjadi rujukan primer bagi banyak orang. Kebanyakan dari kita cenderung mengambil informasi melalui media sosial, jaringan internet, serta platform AI semacam ChatGPT dan temannya.
2. Anthem (Ayn Rand)

Dalam
Anthem,
kamu akan diajak menyelami dunia yang mengutamakan kolektivitas di atas kepentingan individu. Terinspirasi regulasi yang berlaku di negara-negara komunis pada era Perang Dingin, novela karya Ayn Rand ternyata banyak mencerminkan peradaban manusia yang tak mengenal keberagaman dan kebebasan berpikir.
Tidak ada hubungan langsung dengan AI, tetapi hilangnya proses berpikir secara bebas yang disenggol dalam novel tersebut juga secara perlahan muncul karena eksistensi AI. Platform kecerdasan buatan secara tak langsung menghilangkan proses riset manual yang butuh waktu. Mereka menawarkan hasil dan kesimpulan instan untuk penggunanya dan secara tak langsung mencerabut kemampuan kita untuk memaksimalkan nalar dan naluri.
3. Brave New World (Aldous Huxley)

Dalam semesta distopia
buku
Brave New World,
Aldous Huxley mendeskripsikan suatu situasi di mana manusia tidak perlu lagi disuntik untuk dapat dikendalikan dan tunduk pada otoritas. Cukup dengan membuat mereka merasa senyaman mungkin dan selalu hiburan sehingga mereka enggan protes atau menanyakan hal-hal lebih jauh. Paradoksnya, fenomena tersebut kini tengah berlangsung melalui eksistensi media sosial.
Rakyat bisa didistraksi dan dijejali konten yang mengandung ide-ide tertentu. Tanpa kita sadar, keputusan dan selera kita pun akan mengikuti tren-tren tertentu. Tipe kecerdasan buatan yang dibahas disenggol di buku ini lebih ke teknologi algoritma yang bisa “mendikte” manusia untuk membuat keputusan sesuai penguasa akses dan penentu algoritma tersebut.
4. Frankenstein (Mary Shelley)

Pertama kali diterbitkan pada tahun 1818, siapakah yang menyangka?
Frankenstein
masih relevan sampai sekarang. Ia bisa jadi reimajinasi ekstrem ketika makhluk ciptaan manusia mencapai kapasitas maksimalnya. Akhir kisah Frankenstein memang suram dan tragis, seolah sedang mengingatkan umat manusia tentang potensi kisah serupa.
Frankenstein bisa diibaratkan AI generatif yang diciptakan dengan level kecerdasan di atas rata-rata dan memiliki kemampuan untuk terus belajar tanpa batas yang jelas. Ketiadaan kontrol sampai mana kecerdasan ini bisa dimanipulasi dan dimanfaatkan bisa jadi senjata makan tuan untuk manusia. Ini sebuah analogi yang patut direnungkan.
5. Sunrise on the Reaping (Suzanne Collins)

Terdapat sebuah urutan dalam prekuel buku kedua tersebut.
The Hunger Games
yang berjudul
Sunrise on the Reaping
Yang menunjukkan adanya teknologi serupa kecerdasan buatan (AI). Terdapat suatu perangkat yang membolehkan manusia untuk membuat dan mengubah hal-hal tertentu. Perangkat tersebut sempat ada di masa lampau namun kemudian musnah dikarenakan kerusakan yang ditimbulkannya terhadap peradaban umat manusia.
Kelihatannya, peralatan tersebut juga digunakan oleh Capitol untuk menghasilkan beragam senjata. Tujuannya adalah merusak pikiran para pemberontak, seperti yang dijabarkan dalam buku tersebut.
Catching Fire, s
alah satu contohnya suara orang-orang terdekat mereka yang meminta tolong. Ini persis dengan yang bisa dilakukan kecerdasan buatan generatif memanfaatkan sampel suara, gambar, dan data apa pun yang tersedia.
Teknologi kecerdasan buatan memang tak bisa dihindari, tetapi bukan berarti harus diterima mentah-mentah. Apalagi, sampai sekarang kita belum tahu dengan jelas apa dampak dan risikonya. Kita pun kadang ragu apakah AI itu etis atau tidak. Coba pikirkan kembali pendapatmu soal
AI
dengan mengikuti kelima kisah spekulatif tersebut.

