
Penyakit otak seperti Alzheimer dan tumor membutuhkan diagnosa tepat waktu agar dapat ditangani dengan efektif oleh tenaga kesehatan. Untuk merespon kesulitan tersebut, Doktor kelahiran dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr Dewinda Julianensi Rumala ST telah menciptakan kecerdasan buatan atau AI guna mendukung para dokter dalam melakukan proses pemeriksaan penyakit otak dengan hasil yang lebih presisi.
Dewinda menyebutkan bahwa walaupun Teknologi Resonansi Magnetik (TRM) sudah menjadi metode utama untuk mendiagnosis gangguan di otak, namun kekurangannya terletak pada penafsiran gambar TRM yang masih mengandalkan analisis manual dari para dokter.
“Untuk meningkatkan akurasi dan efisiensi, AI dapat berperan dalam mendeteksi pola penyakit yang mungkin tidak terlihat oleh mata manusia,” jelas perempuan kelahiran Probolinggo tersebut, Minggu (27/4).
Dalam risetnya, wisudawan program doktor dari Departemen Teknik Komputer ITS tersebut mengembangkan model deep learning dengan pendekatan deep-stacked ensemble learning. Pendekatan ini mengombinasikan beberapa jaringan saraf tiruan agar dapat menghasilkan prediksi yang lebih stabil dan akurat.
“Tiada satupun model yang sempurna, namun perpaduan antara beberapa model bisa menghasilkan suatu sistem yang lebih tangguh dan responsif,” jelasnya.
Di samping itu, inovasi ini pun menerapkan Explainable AI (XAI) untuk membantu para dokter memahami cara kerja AI saat membuat keputusan. Menggunakan metode Grad-CAM, sistem bisa menandai area pada foto MRI yang jadi acuan diagnosa, sehingga meningkatkan keyakinan dokter ketika menggunakan AI sebagai pendukung mereka.
“Bukan hanya soal akurasi, tetapi juga transparansi agar AI diterima dan dipercaya oleh tenaga medis,” paparnya.
Menurut Dewinda, inovasi ini juga sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDG) poin 3 yang berfokus pada peningkatan layanan kesehatan. Tak hanya itu, pengembangan AI dalam dunia medis mendorong inovasi dan kemajuan teknologi kesehatan sesuai dengan SDG poin 9 mengenai industri, inovasi, dan infrastruktur.
Dewinda menyebutkan pula bahwa studi tersebut turut memperkuat tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 10 yang mengedepankan penyempitan jurang ketimpangan sosial. Ini disebabkan karena karyanya dibuat dengan presisi tinggi sehingga bisa diaplikasikan untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
“Di samping itu, desain yang ringan menjamin bahwa teknologi tersebut masih mudah dijangkau dan digunakan, termasuk di daerah-daerah yang memiliki keterbatasan dalam hal infrastruktur perhitungan,” tegasnya.
Selain dikenal dalam lingkup pendidikan formal, karya ilmiah Dewinda pun mendapat pengakuan di kancah dunia. Temuannya telah dirilis pada tiga jurnal internasional serta lima konferensi yang sudah diregistrasi oleh Scopus, termasuk seri Springer Q1. Dia bahkan sempat hadir sebagai peserta di MICCAI Workshop di Kanada; sebuah acara prestisius bagi bidang kecerdasan buatan dalam pemrosesan gambar medis, tempat dia sukses menyabet gelar Best Poster Presentation Award.
Di luar publikasi ilmiah, Dewinda bekerja sama dengan dosen pembimbingnya Prof Dr I Ketut Eddy Purnama ST MT dan berhasil menciptakan dua paten nasional yaitu SICOSA2U serta iBrain2U. Kedua paten tersebut berkonsentrasi pada pengembangan sistem klasifikasi penyakit otak menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau AI. Melalui terobosannya itu, dia bermaksud agar AI tak sekadar digunakan sebagai instrumen penelitian saja, namun juga bisa diimplementasikan dalam pelayanan medis sehari-hari guna memperbaiki tingkat akurasi diagnosa penyakit otak.
Di masa mendatang, Dewinda merencanakan untuk membuat model yang lebih fleksibel menggunakan data set yang lebih besar sehingga kecerdasan buatan bisa menjadi semakin presisi di beragam situasi pasien.
“Semoga harapan ini, penelitian ini bisa menjadi dasar dalam mengembangkan sistem kecerdasan buatan di bidang kesehatan yang lebih merata dan memberikan manfaat besar bagi industri perawatan kesehatan,” tambahnya.

