● Implementasi pendidikan AI di sekolah harus disesuaikan dengan kesenjangan dalam akses internet serta kemampuan para pengajar.
● Pendidikan dalam bidang AI perlu lebih menekankan pada pemahaman yang komprehensif dibandingkan hanya kemampuan teknikal saja.
● Rancangan pelajaran kecerdasan buatan harus memadukan pemahaman teknologi dengan pertimbangan moral dan norma-norma setempat.
Sering lihat iklan
kelas-kelas koding
di media sosial?
Ilustrasi tentang murid kelas 3 sekolah dasar yang telah mampu menggunakannya Python atau merancang kecerdasan buatan (AI) melalui platform Google Teachable Machine pasti akan menjadi daya tarik bagi para orangtua berkeinginan agar anak-anak mereka terbiasa dengan teknologi sejak usia dini. Dimulai dari tahun pelajaran 2025-2026, pihak pemerintahan
Bahkan berniat akan mengimplementasikan pembelajaran AI di tingkat SD, SMP, dan SMA.
.
Meskipun demikian, metode yang mempromosikan keahlian pemrograman dalam waktu singkat cenderung membentuk pemahaman yang dangkal dengan meremehkan tahapan-tahapan dalam pengembangan pemikiran komputasi. Di samping itu, implementasi kurikulum tentang AI mungkin juga akan dihadapkan pada beberapa rintangan.
Dalam hal
akses internet
, sebut saja, ada perbedaan yang mencolok di antara area perkotaan dan pedesaan.
Dari 79,5% jumlah penduduk Indonesia yang sudah menggunakan internet
Hanya 30,5% dari seluruh pemakainya yang berasal dari daerah pedesaan.
Kemampuan guru pun menghadirkan kesulitan tersendiri.
Mengajarkan AI dan koding membutuhkan pemahaman konsep yang mendalam
, tetapi program persiapan guru untuk bidang ini belum terbentuk secara sistematis. Tanpa pelatihan komprehensif, penerapan kurikulum AI berisiko terjebak dalam pembelajaran yang superfisial atau bahkan menyesatkan.
Bertahap dan kontekstual
Studi menunjukkan bahwa anak usia dini belum mampu memahami konsep pemikiran komputasional tingkat lanjut seperti perulangan dan kondisional
. Mereka cenderung hanya meniru jika tidak dibimbing secara bertahap. Artinya, pembelajaran koding dan AI tidak dapat disampaikan melalui kursus kilat, melainkan membutuhkan pembelajaran yang berkelanjutan, berbasis pengalaman, dan sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak.
Di Singapura, pengenalan pemikiran komputasi dimulai sejak dini
, namun dengan metode yang eksploratif dan menyenangkan. Anak-anak belajar pemikiran komputasi tanpa langsung koding.
Misalnya,
permainan “Robot Berjalan” yang mengajak anak bergerak seperti robot dengan perintah
“maju dua langkah, belok kanan” untuk sampai ke tujuan. Ada juga kegiatan membuat cerita berulang, seperti “Beruang makan, tidur, makan lagi,” untuk mengenalkan pola pengulangan.
Selagi China memadukan AI sebagai
enrichment program
(pengayaan)
, bukan sebagai subjek wajib. Pendekatannya yang bertahap dan disesuaikan dengan tingkat kognitif anak
menjadikan proses belajar mengajar lebih bernilai makna
Misalnya saja siswa sekolah menengah pertama yang mempelajari dasar-dasar kecerdasan buatan, seperti mengidentifikasi pola dalam gambar. Sedangkan siswa tingkat atas atau senior di sekolah menengah umum lebih fokus pada pembuatan projek kecil tentang kecerdasan buatan, seperti contohnya adalah sebuah aplikasi yang dapat mendeteksi suara.
Kesuksesan kedua negara tersebut sebagian besar bergantung pada pelaksanaannya yang bertahap sambil menghargai situasional dan permintaan spesifik. Mengadaptasi materi pendidikannya sesuai dengan tahapan perkembangan si anak merupakan hal krusial untuk mencegah mereka merasa overwhemled.
Penelitian
menandakan bahwa anak-usia-dini mampu mengerti prinsip-prinsip sederhana seperti tata-huruf-langkah (sequencing) serta repetisi (repetition).
loop
), namun masih mengalami kendala ketika diberi pelajaran tentang logika kompleks seperti “jika-maka”.
Karena itu,
Di sekolah dasar, mereka harusnya mempelajari melalui metode bermain.
atau aktivitas tanpa komputer.
Di sekolah menengah pertama, baru mulai diperkenalkan dengan program visual seperti Scratch.
yang mudah dipahami.
Di sekolah menengah atas, mereka dapat memulai dengan pembelajaran dasar tentang pemrograman seperti halnya Python.
, dengan penekanan pada cara penggunaan teknologi seperti AI dalam kehidupan sehari-hari, daripada langsung mempelajari aspek-aspek teknikal yang kompleks.
Pendekatan
game-based learning
Seperti halnya yang dilaksanakan di Cina dan Singapura, pendekatan tersebut pantas untuk ditiru dalam rangka menghasilkan proses pembelajaran yang menyenangkan. Penggunaan AI lebih baik difokuskan pada penambahan materi pelajaran yang melengkapi, daripada menjadi bebanc baru yang menambah kewajiban.
Jangan terjebak teknis
Pendidikan tentang Kecerdasan Buatan sebaiknya tidak hanya berfokus pada
aspek teknis semata
Siswa harus diberi pengetahuan mengenai aspek moral serta pengaruhnya terhadap masyarakat dari teknologi yang sedang dipelajarinya.
Di tingkat SMA, diskusi tentang bagaimana AI dapat mempengaruhi dunia kerja, privasi data, dan implikasi sosial lainnya perlu menjadi komponen penting dalam kurikulum. Ini supaya siswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga warga digital yang bertanggung jawab.
Kurikulum AI perlu mengintegrasikan refleksi kritis tentang teknologi, mendorong siswa bertanya bukan hanya “bagaimana cara membuat ini bekerja?” tetapi juga “apakah ini seharusnya dibuat?” dan “bagaimana dampaknya terhadap masyarakat?”
Di Cina,
siswa SMA mendiskusikan etika AI
, seperti privasi dalam pengenalan wajah.
Sementara di Singapura, siswa SMP mengevaluasi keandalan prediksi AI
. Metode ini membantu persiapan anak muda agar tak sekadar menguasai ketrampilan digital, namun juga memiliki kapabilitas berpikir secara etis dan bertanggung jawab.
Membangun jembatan, bukan tembok
Salah satu hambatan utama dalam menerapkan pendidikan coding dan kecerdasan buatan tidak hanya berada pada materi pelajarannya, tetapi lebih kepada kesetaraan aksesnya. Bahkan, ada ribuan sekolah yang letaknya jauh dari pusat di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) masih menghadapi banyak tantangan.
keterbatasan daya listrik serta jaringan internet.
Tanpa suatu strategi pembagian keuntungan secara merata, ide ini malah bisa melebarkan kesenjangan digital di antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Untuk menyelesaikan kendala akses di wilayah perifer, strategi ini dapat digunakan.
coding unplugged
Dapat dijadikan pilihan alternatif. Cara ini mengejar untuk mendidik konsep-konsep fundamental tentang pemrograman tanpa harus menggunakan komputer atau alat elektronik.
Sebagai contoh, pelajar bisa mempelajari algoritme dengan bermain game fisik, menyusun kartu petunjuk agar selesai melakukan suatu tugas, ataupun mendesain diagram alir yang sederhana di atas kertas.
.
Metode ini bukan saja menyelesaikan masalah kurangnya fasilitas, namun juga menyediakan dasar pemikiran yang kokoh bagi para pelajar sebelum mereka berinteraksi dengan alat-alat nyata tersebut.
Pengalaman yang diambil dari negara-negara sedang mengembangkan diri lain misalnya Afrika Selatan membuktikan hal tersebut.
coding unplugged
Efektif dalam menciptakan pengenalan dasar tentang logika komputasi meski di wilayah dengan keterbatasan akses teknologi.
Di samping itu, kerjasama bersama para pihak terkait sangat penting. Pemerintahan bisa bergabung dengan sektor teknologi serta institusi perguruan tinggi dalam mendirikan kursus latihan bagi guru-guru, memfasilitasi sarana penunjangnya, dan menciptakan bahan pengajar sesuai dengan kondisi di Indonesia.
Misalnya, siswa sekolah dasar bisa mempelajari algoritme dengan menggunakan permainan.
Gobak Sodor
Saat pelajar SMA mengembangkan model kecerdasan buatan (AI) guna memprediksi intensitas hujan yang sesuai dengan petani setempat, hal tersebut memberikan dampak positif pada proses belajar mereka. Ini membantu dalam mendorong partisipasi aktif para siswa dan menjadikan pengalaman belajar jauh lebih signifikan.
Indonesia memiliki kesempatan luar biasa untuk mencetak generasi yang terampil dalam teknologi informasi.
Namun, proses untuk mencapai hal tersebut memerlukan perencanaan yang cermat serta strategi yang dilakukan secara bertahap.
Pelajaran tentang coding dan kecerdasan buatan tak harus dijadikan sebagai hasil akhir, namun lebih kepada metode untuk mengembangkan kapabilitas berpikir analitis, kreativitas, serta kemampuan meresolve masalah. Penerapan hal ini mesti didukung oleh prinsip-prinsip humanis dan bijaksanas daerah setempat agar teknologi terus menjadi instrumen yang dikuasai manusia, bukannya malah membelakangi kita.
Artikel ini awalnya dipublikasikan di
The Conversation
, website berita nonprofit yang mendistribusikan wawasan ilmiah serta karya para peneliti.
- Gibhli Dicontek Secara Massal: Polemik Hak Cipta dan Masalah Data Pribadi Di Balik Tren Teknologi AI
- Mau tahu masa depan AI? Lihatlah kegagalan Google Translate
Arif Perdana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.

