Jumat, Desember 5, 2025
Berandaartificial intelligence2 Tantangan Menghadirkan AI dalam Pendidikan Inklusif di Indonesia

2 Tantangan Menghadirkan AI dalam Pendidikan Inklusif di Indonesia

● AI memiliki potensi untuk menyesuaikan pendidikannya sesuai kebutuhan individu bagi pelajar yang memiliki keterbatasan.

● Akan tetapi, ketidakseimbangan dalam infrastuktur digital serta kecenderungan terhadap bias pada data latih bisa mengakibatkan sistem AI menjadi kurang inklusif.

● Tanpa memiliki pemahaman digital yang cukup serta pendidikan bagi para guru secara ideal, kecerdasan buatan malah dapat menambah bebannya.

Pengembangan teknologi AI memiliki potensi yang signifikan untuk menghasilkan perubahan substantial.
pengalaman pembelajaran yang lebih fleksibel untuk siswa berkebutuhan khusus
. AI dapat memberikan
personalisasi pembelajaran berbasis data
, yang memungkinkan bahan pengajaran diadaptasi sesuai dengan kapabilitas dan persyaratan pribadi seseorang.

AI juga membuka kesempatan untuk menyebarkan luas akses terhadap bahan pembelajaran.
pada daerah dengan kekurangan guru serta fasilitas yang terhambat
Selain itu, aspek-aspekt kecerdasan buatan (misalnya
text-to-speech
,
speech recognition
, dan
chatbot
edukatif)
bisa menolong anak yang memiliki keterbatasan fisik)
.

Chatbot
Berbekas AI, seperti halnya, sudah digunakan
untuk membantu orang dengan
neurodivergent
(mempunyai mekanisme pikiran yang berlainan dibanding kebanyakan orang).

Tak heran,
Semakin banyak negara yang mengadopsi teknologi AI.
Untuk memperluas kesempatan belajar bagi anak-anak, pemuda, serta orang dewasa yang memiliki keterbatasan fisik atau mental.

Akan tetapi, kesetaraan dalam pendidikan melampaui batasan hanya menyediakan akses untuk anak berdisabilitas. Grup yang inklusif pun merangkum hal lainnya termasuk ini.
Mereka yang bertempat tinggal di wilayah pelosok serta pelajar dengan latar belakang sosioekonomi rendah.
.

Ini berarti bahwa akses yang sulit di daerah perifer dan tingkat pemahaman digital yang rendah among para guru merupakan hambatan besar dalam mengaplikasikan kecerdasan buatan untuk mendukung pendidikan inklusif di Indonesia.

Akses terbatas ciptakan bias

Ketersediaan penggunaan kecerdasan buatan menjadi salah satu hambatan besar akibat kerumitan faktor geografi dan aspek sosial di Indonesia. Negara ini memiliki kompleksitas berupa:
jumlah penduduk terbesar keempat
(kira-kira 282,5 juta orang yang menyebar di lebih dari 17.500 pulau), keragaman geografis serta perbedaan profilsosioekonomi warga negara Indonesia juga mempengaruhi ketimpangan dalam penggunaan teknologi informasi ini.

Terlebih, banyak wilayah sulit diakses
makin memburuknya kondisi kekurangan fasilitas digital
Ini mengurangi distribusi merata dari penggunaan teknologi dalam pendidikan.

Sebagai contoh di Katingan, Kalimantan Tengah, terdapat beberapa desa yang kurang mendapatkan layanan internet yang cukup. Area tersebut mayoritas ditutupi oleh Sungai dan Hutan, sehingga
Pendistribusian infrastruktur digital menjadi amat biaya tinggi dan kompleks.
Warga perlu mencari lokasi yang lebih tinggi atau mendaki ke atas pohon untuk menemukan sinyal.

Ketidakseimbangan dalam pemanfaatan jaringan internet terjadi demikian
menimbulkan ketidakadilan dalam sistem kecerdasan buatan
Sebab itu, teknologi AI kebanyakan dirancang dan diberi pelatihan
memanfaatkan informasi dari area yang sudah maju dalam hal digitalisasi
.

Kawasan-kawasan dengan fasilitas teknologi yang belum maju umumnya
terpinggirkan
Dari lingkungan inovasi kecerdasan buatan (AI), akhirnya sistem AI cenderung menggambarkan permintaan dan situasi pengguna dari komunitas dengan fasilitas lebih terdepan.

Ini menimbulkan risiko terabaikannya karakteristik dan kebutuhan kelompok pengguna dari wilayah yang kurang terjangkau secara digital. Padahal guna memperkecil kesenjangan, AI seharusnya digunakan
untuk mendorong mobilitas dua arah antara tenaga pendidik di wilayah urban dengan di pedesaan
.

Di samping itu, dikarenakan kebergantungan yang kuat dari AI terhadap
training
data, keberagaman dan keterwakilan data menjadi krusial. Sistem AI umumnya dilatih menggunakan data dari populasi umum, tanpa mempertimbangkan variasi kebutuhan khas anak dengan disabilitas. Akibatnya, output yang dihasilkan cenderung kurang relevan atau bahkan tidak sesuai dengan konteks mereka.

Ketika data pelatihan tidak mewakili populasi secara inklusif—terutama siswa dari latar belakang sosial, budaya, atau geografis berbeda—
sistem AI berpotensi menghasilkan output yang bias, atau bahkan diskriminatif
. Dalam konteks pendidikan inklusif, risiko ini menjadi sangat serius karena dapat memperlebar kesenjangan.

Ketika kelompok tertentu (misalnya kelompok minoritas) kurang terwakili dalam data,
model AI mungkin gagal memberikan hasil yang adil
.

Inggris telah menjalani hal serupa di tahun 2020.
Pada waktu tersebut, pihak berwenang di Britania Raya menghapuskan ujiannya untuk tingkat pendidikan menengah atas dikarenakan wabah virus corona. Untuk menggantikan hal tersebut, para instruktur diperintahkan menyediakan perkiraan skor bagi murid-muridnya sesuai kinerja belajar mereka sebelumnya. Skor-skor ini setelah itu direvisi oleh Ofqual (otoritas penilai ujian), menggunakan program komputer didasari pada kecerdasan buatan yang diciptakan guna mencerminkan catatan prestasi lembaga tempat anak-anak tersebut belajar.

Akan tetapi, sebab Ofqual mengaplikasikan kecerdasan buatan (AI) yang hanya diberi pelajaran berdasarkan data dari sekolah-sekolah perkotaan, maka hasil ramalan nilainya menjadi tidak akurat.
bias dan tidak adil
—terutama untuk murid-murid dari institusi pendidikan yang berada di kawasan pedesaan ataupun lembaga dengan catatan prestasi historis kurang memuaskan. Pendekatan kecerdasian buatan ini berasumsi bahwa tempat-tempat belajar semacam itu umumnya mencetak hasil
nilai rendah secara konsisten
.

Hasilnya, sekitar
40% hasil perkiraan guru tidak tercapai seperti yang diharapkan.
, hanya 2% saja yang mengalami peningkatan. Siswa dengan prestasi tinggi dari sekolah tidak mampu adalah kelompok yang paling terpengaruh negatifnya, sementara itu siswa dari sekolah bergengsi lebih banyak mendapat manfaat.

Casus ini menggambarkan bahwa AI pada dasarnya bukanlah teknologi yang netral. Apabila model kecerdasan buatan itu dilatih menggunakan data historis yang tidak merata atau mencerminkan kesenjangan sosial masa lalu, maka hal tersebut dapat mengeraskan ketidakseimbangan tersebut melalui pereproduksian pola-pola tersebut.

Jika model kecerdasan buatan (AI) dilatih menggunakan data yang tidak seimbang (seperti hanya berasal dari sekolah elite), maka hal itu akan mengesampingkan berbagai latar belakang sosial dan merugikan beberapa kelompok masyarakat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan kesenjangan digital serta bias pada data latihan AI untuk mencegah terciptanya ketidakadilan.

Berpotensi membebani, bukan membantu

Selain bias algoritma,
Rendahnya pemahaman tentang teknologi digital turut menjadikannya sebuah hambatan yang signifikan.
, bermanfaat untuk siswa maupun pendidik. Banyak pengajar masih belum terbiasa menggunakan teknologi modern, sebagaimana
AI dalam proses pembelajaran
Akibatnya, AI malah bisa menjadi bebannya yang lebih besar, daripada sebagai suatu perangkat bantuan.

Untuk membekali para pendidik agar mampu memanfaatkan AI secara efektif, diperlukan program
pelatihan guru yang komprehensif dan berfokus pada keterampilan teknis, kesadaran etis, serta adaptasi pedagogis
.

Pada akhirnya, keberhasilan penerapan AI di sektor pendidikan sangat bergantung pada bagaimana teknologi ini digunakan untuk menciptakan kesempatan belajar yang adil dan merata. Artinya, jaminan atas keadilan dan pemerataan ini perlu mendapat perhatian serius, agar AI tidak hanya menjadi simbol kemajuan teknologi, tetapi benar-benar berfungsi sebagai alat transformasi pendidikan yang inklusif.

Artikel ini pertama kali terbit di
The Conversation
, situs berita nirlaba yang menyebarluaskan pengetahuan akademisi dan peneliti.

  • Memulai pembelajaran pemrograman serta kecerdasan buatan sejak awal adalah hal yang penting: Pendekatannya harus berjenjang dan sesuai konteksnya.
  • Gibhli Dicontek Secara Massal: Polemik Hak Cipta dan Privasi Data Di Balik Tren Teknologi AI


Meicky Shoreamanis saat ini tidak terlibat dalam pekerjaan formal, bukan konsultan, tidak memiliki saham, dan juga tidak mendapatkan dukungan finansial dari pihak manapun yang bisa memperoleh keuntungan dari isi tulisan ini. Dia menyatakan dengan jelas bahwa tak ada hubungan tambahan selain hal-hal yang sudah dikemukakan sebelumnya.

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular