Zona Gadget.CO.ID, JAKARTA — Kekhawatiran akan potensi kecurangan akademik yang difasilitasi oleh kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT semakin meningkat di kalangan akademisi. Meskipun AI mampu menghasilkan teks yang secara gramatikal benar dan terstruktur rapi, sebuah studi internasional terbaru yang dipimpin oleh Ken Hyland dari University of East Anglia mengungkapkan AI masih jauh tertinggal dalam meniru kualitas fundamental manusia dalam menulis yaitu kemampuan secara “murni” untuk terhubung secara dengan pembaca.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal
Written Communication
ini menemukan bahwa esai yang ditulis oleh manusia menggunakan lebih dari tiga kali lipat teknik keterlibatan pembaca dibandingkan dengan esai yang dihasilkan oleh ChatGPT. Perbedaan signifikan ini terletak pada kemampuan penulis manusia untuk menyisipkan sentuhan pribadi, mengajukan pertanyaan retoris, dan secara langsung menyebut pembaca, elemen-elemen yang krusial dalam membangun koneksi dan membuat argumen menjadi lebih persuasif.
Hyland yang bertindak sebagai penulis studi mengatakan ketidakmampuan AI untuk mereplikasi aspek-aspek keterlibatan pembaca ini dapat menjadi kunci bagi para profesor untuk mendeteksi esai yang ditulis oleh AI, bahkan tanpa bergantung pada perangkat lunak pendeteksi AI yang keakuratannya masih dipertanyakan. “Kekhawatirannya adalah bahwa ChatGPT dan alat tulis AI lainnya berpotensi memfasilitasi kecurangan dan dapat melemahkan keterampilan literasi inti dan berpikir kritis. Ini terutama terjadi karena kita belum memiliki alat untuk mendeteksi teks yang dibuat oleh AI secara andal,” ungkap Hyland dikutip dari laman
Study Finds
pada Kamis (8/5/2025).
Penelitian ini secara teliti mengamati berbagai esai dan mencocokkan 145 esai argumenatif dari siswa universitas di Inggris dengan 145 esai lainnya yang dibuat oleh ChatGPT mengenai subjek yang sejalan. Aspek sentral dalam studi tersebut adalah meninjau “indikator partisipasi”.
engagement markers
), yakni alat retorika yang dipakai oleh penulis untuk menyambungkan diri dengan pembaca, mengajak mereka menjadi bagian dari dialog, serta memandu mereka ke arah simpulannya. Elemen-elemen partisipasi ini mencakup aspek-aspek percakapan pada teks yang memberikan rasa bahwa penulis sedang bercakap-cakap secara langsung dengan pembaca atau menyeret pembaca kedalam jalur pemikiran sang penulis.
Temuan penelitian mengungkapkan adanya kesenjangan yang jelas pada pemakaian tanda-tanda partisipasi dalam esai buatan manusia dibandingkan dengan esai hasil produksi kecerdasan buatan. Pelajar cenderung lebih kerap memakai kalimat bertanya serta kata ganti orang pertama (
personal asides
), serta penulisan nama pembacanya (صندVMLINUX
reader mentions
) untuk mengembangkan rasa kebersamaan dalam mengeksplorasi ide-ide bersama audiens mereka. Misalnya, penulis pemula kerap menyematkan pertanyaan seputar tugas para ilmuwan dalam hal beban lingkungan atau berbagi pandangan personal tentang konsep identitas Britania Raya serta perbedaan geografis dengan daratan Eropa. Komponen-komponen tersebut membentuk dialog interaktif dengan pembaca yang jarang muncul pada tulisan-tulisan hasil produksi AI.
Sebaliknya, walaupun ChatGPT dapat menciptakan karya tulis dengan tingkat keahlian teknis tertentu, sistem AI ini kurang berhasil dalam mensimulasikan aspek-aspek meyakinkan yang bersifat manusia. Pendekatan model AI cenderung lebih menitikberatkan pada fakta-faktanya dan memusatkan perhatian pada pemahaman umum (
appeals to shared knowledge
) tetapi jarang menggunakan sentuhan pribadi yang membuat argumen akademik menjadi menarik dan meyakinkan.
Hyland, seorang professor yang telah menerbitkan lebih dari 300 artikel dan mendapatkan hampir 97.000 kutipan, menyatakan bahwa penulis manusia sengaja membentuk gambaran mental tentang para pembacanya dan menyesuaikan karyanya berdasarkan pemahaman itu. Meski ChatGPT memiliki kapabilitas luar biasa, ia tidak bisa sepenuhnya memahami target audienya atau meramal keraguan pembaca tanpa petunjuk spesifik.
“Esai AI meniru konvensi penulisan akademik, tetapi mereka tidak mampu menyuntikkan teks dengan sentuhan pribadi atau menunjukkan pendirian yang jelas,” kata Hyland.
Salah satu kekurangan utama yang teridentifikasi dalam studi ini adalah ketidakmampuan ChatGPT untuk menggunakan sapaan pribadi (
personal asides
), yaitu penyimpangan singkat di mana penulis berbagi pemikiran atau komentar pribadi. Ketiadaan elemen ini menciptakan apa yang digambarkan oleh para peneliti sebagai teks yang lebih “tertutup secara dialogis” (
dialogically closed
), yang terasa impersonal atau “kosong”. Tim peneliti percaya keterbatasan ini berasal dari pelatihan ChatGPT yang menekankan koherensi dan keringkasan daripada keaslian percakapan.
Selain itu, studi ini juga mengungkapkan bahwa ChatGPT gagal menggunakan daya tarik pada penalaran logis (
appeals to logical reasoning
Dalam esainya, dia menyatakan bahwa AI cenderung lebih unggul dalam mencetak informasi fakta dibandingkan merumuskan gagasan atau konsep yang rumit. Hasil tersebut sesuai dengan studi-studi sebelumnya yang memperlihatkan kalau model-model AI memiliki kesulitan pada kemampuan berpikir tingkat lanjut.
higher-order thinking skills
).
Implikasi dari penelitian ini sangat signifikan bagi mahasiswa dan pendidik. Bagi mahasiswa yang mungkin tergoda untuk menggunakan AI dalam tugas menulis mereka, studi ini memberikan bukti jelas bahwa tulisan AI saat ini kekurangan elemen manusiawi alami yang secara tidak sadar diharapkan oleh para profesor.
Bagi para pendidik, penelitian ini menawarkan penanda potensial untuk mengidentifikasi konten yang dihasilkan oleh AI tanpa harus sepenuhnya bergantung pada perangkat lunak pendeteksi, yang seringkali tidak konsisten. Penanda-penanda ini meliputi kurangnya pertanyaan retoris, sapaan pribadi, penyebutan pembaca, dan daya tarik pada penalaran logis yang kuat.
Lebih lanjut, para peneliti menyarankan agar alat seperti ChatGPT tidak hanya dipandang sebagai ancaman, tetapi juga sebagai alat bantu pengajaran yang berharga. Dengan membandingkan draf yang dihasilkan oleh AI dengan tulisan manusia, mahasiswa dapat belajar mengidentifikasi dan memasukkan strategi keterlibatan yang efektif, mengembangkan suara unik mereka sambil memanfaatkan bantuan AI.
“Ketika siswa datang ke sekolah, perguruan tinggi, atau universitas, kita tidak hanya mengajari mereka cara menulis, kita mengajari mereka cara berpikir–dan itu adalah sesuatu yang tidak dapat direplikasi oleh algoritma mana pun,” ujar Hyland.
Untuk saat ini, setidaknya, penulisan akademik yang benar-benar menarik tetap menjadi seni manusia. Sementara ChatGPT dapat menyusun fakta dan mengikuti struktur, ia kekurangan pemahaman intuitif bahwa menulis pada dasarnya adalah sebuah percakapan.
Sampai AI dapat benar-benar mengantisipasi dan menanggapi manusia di sisi lain halaman, argumen yang paling persuasif akan tetap berasal dari manusia, bukan mesin. Penelitian ini memberikan wawasan berharga bagi para pendidik dalam menghadapi tantangan era AI dalam pendidikan, serta mengingatkan para mahasiswa akan pentingnya mengembangkan kemampuan menulis yang autentik, yang melampaui sekadar penyusunan kata-kata yang benar secara gramatikal.

