
PIKIRAN RAKYAT
Dalam upaya menyelesaikan masalah limbah yang terus bertambah, beberapa pemerintah daerah di Indonesia memilih menggunakan insinerator atau pemakaian api untuk membakar sampah. Ini juga berlaku bagi Pemprov Jawa Barat. Mereka percaya bahwa teknologi tersebut sangat efektif dalam mengurangi jumlah sampah hingga 90% secara cepat.
Di belakang asap tebal yang keluar dari cerobong-cerobong tersebut, tersimpan ancaman bagi kesejahteraan manusia dan alam sekitar.
Insinerator beroperasi dengan menyalakan sampah pada temperatur sangat tinggi, menciptakan abu, panas, dan emisi gas. Secara sekilas tampaknya cukup efektif. Namun demikian, metode tersebut juga membebaskan bermacam-maca substansi berbahaya ke atmosfer, antara lain dioksin, furan, butiran halus (PM2.5), logam berat seperti merkuri, kadmium, dan timbal, serta senyawa organik mudah menguap. Zat-zat ini semuanya diketahui sebagai polutan udara yang bisa memberikan dampak signifikan kepada kesehatan manusia.
Ancaman terhadap kesehatan
Dioxin dan furan adalah zat penyebab kanker yang amat membahayakan bahkan jika hanya terkena sedikit saja. Berdasarkan informasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paparan lama atas dioxin bisa memicu timbulnya kanker, disfungsi sistem imunitas, kerusakan pada sistem hormon, serta persoalan dengan kesuburan dan pertumbuhan bayi. Bagi anak-anak yang bertempat tinggal dekat fasilitas pembakaran sampah, risiko mereka untuk menderita kelainan paru-paru, menurunnya kemampuan kognitif, dan alergi pernafasan pun meningkat.
Partikel halus seperti PM2.5 dapat dengan mudah terserap saat dihirup dan bisa mencapai kedalaman paru-paru, hingga ke sistem sirkulasi darah. Terkena paparan berkepanjangan atas zat-zat tersebut dikaitkan dengan peningkatan risiko menderita penyakit jantung koroner, serangan stroki, gangguan pernafasan kronis seperti PPOK, serta kanker pada organ pernapasan. Orang-orang yang bertempat tinggal dalam area sekitar tiga sampai lima kilometer dari lokasi pembakaran limbah biasanya mengalami frekuensi kasus lebih banyak untuk kondisi medis terkait saluran nafas jika dibandingkan daerah-daerah lainnya.
Studi yang dilakukan di Italia mengungkapkan kenaikan risiko terhadap limfoma non-Hodgkin di daerah-area seputar incenerator. Di sisi lain, penelitian dari Jepang serta Prancis mendapatkan bukti tentang hubungan antara instalasi pengolahan limbah bakar dengan prevalensi kelahiran bayi berkelainan fisik dan masalah perkembangan saraf pada balita.
Menanggulangi efek bahaya insinerator
Menjaga agar dampak kesehatan dari insinerator tetap minimal merupakan suatu tantangan. Walaupun teknologi pemurnian modern seperti pencuci gas asam, penyaring debu, serta proses pembakaran bertingkat dapat mengurangi polutan berbahaya, biayanya cukup tinggi dan penerapan optimalnya belum tentu ditemukan di seluruh instalasi incenerator, terlebih lagi di negera-negara sedang berkembang.
Selain itu, pengawasan ketat terhadap emisi, sistem pemantauan kualitas udara real-time, serta keterbukaan data kepada publik menjadi mutlak. Tanpa transparansi dan regulasi yang kuat, risiko kesehatan akan terus mengintai masyarakat sekitar.
Masyarakat juga perlu mendapatkan edukasi tentang bahaya insinerator dan hak untuk menyuarakan keberatan atas pembangunan fasilitas tersebut di dekat permukiman.
Tak bisa dipungkiri, insinerator memang mampu mengurangi volume sampah dalam waktu cepat, bahkan bisa menghasilkan energi panas atau listrik dari proses pembakaran—yang disebut waste-to-energy (WTE). Namun, manfaat tersebut harus ditimbang secara hati-hati dengan risiko kesehatannya.
Apabila sasarannya dalam pengolahan limbah adalah membentuk lingkungan yang bersih serta lestari, merugikan kesejahteraan manusia tidak boleh menjadi alternatif. Secara keseluruhan, beban sosial dan medis dari pemusnahan incenerator dapat melebihi tarif pembuatannya secara signifikan di masa depan.
Sejumlah kota di dunia mulai meninggalkan insinerator dan beralih ke strategi pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan, seperti pendekatan zero waste. Prinsip ini menekankan pada pengurangan sampah sejak dari sumbernya, dengan menerapkan 5R: Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, dan Rot (pengomposan).
Sistem pengomposan material organik, pembuatan bank sampah, penanganan limbah domestik dengan hati-hati, bersama-sama dengan adanya fasilitas pendauran kembali canggih bisa sangat menekan muatan tempat Pembuangan Akhir Tanaman (TPA) tanpa perlu membakar sepeserpun pun sampai habis. Misalnya saja Kota San Fransisco sudah mampu memindahkan hingga di atas 80% sisa-sisa kehidupan manusia dari TPA lewat program daur ulang dan proses pengomposannya yang ketat.
Indonesia memiliki kapabilitas signifikan untuk mengatur limbah melalui pendekatan komunitas serta menggunakan teknologi dengan dampak karbon rendah. Melalui pembinaan, peraturan pemerintahan yang mensupport, dan alokasi dana pada bidang pemulihan sumber daya alam dan pencampuran material organik, kita dapat menciptakan solusi yang lebih baik bagi kesehatan dan lingkungan secara berkesinambungan. (Huminca/PR) ****

