ZONA GADGET
Merasa tertekan, pusing, atau sendirian? Sebagai gantinya mengaduk-aduk masalah dengan psikolog, sekarang banyak individu yang lebih suka berbagi perasaannya kepada Kecerdasan Buatan (KB).
Kejadian ini telah menjadi hal terbuka bagi publik dalam beberapa saat terakhir. Terlebih lagi, perusahan-perusahaan berteknologi sangat gigih untuk mempersembahkan AI yang makin maju.
Temuan survei Snapcart di bulan April tahun 2025 mengungkapkan bahwa 58% responden dari Indonesia berpikir untuk menjadikan AI sebagai psikolog mereka. Di sisi lain, sebanyak 6% telah menggunakan kecerdasan buatan tersebut sebagai pendengar keluhan mereka.
Studi oleh Oliver Wyman Forum mengungkapkan bahwa 32%responden di seluruh dunia berminat menggunakan AI sebagai terapis. Di antara negara-negara tersebut, India menduduki peringkat pertama dengan angka 51%, sementara AS dan Prancis hanya mencapai 24%.
Mereka bercerita kepada AI karena merasa tarif psikolog terlalu tinggi. Mereka beranggapan bahwa AI bisa melindungi kerahasiaan dan bersifat lebih objektif. Di sisi lain, para responden percaya bahwa seorang psikolog cenderung mengadili permasalahan hidup klien mereka.
Prof Nurul Hartini, Guru Besar dalam bidang Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental di Universitas Airlangga (Unair), mengakui bahwa kecerdasan buatan sering digunakan oleh masyarakat untuk mencari definisi atau gejala terkait masalah kesehatan mental.
Pada tahap itu, kecerdasan buatan tetap dapat dianggap sebagai jawaban yang sesuai. Akan tetapi sebenarnya, AI hanyalah suatu peralatan, sedangkan pasien menginginkan keterkaitan emosi yang tak mungkin diberikan oleh AI.
“Kemungkinan besar nanti jawaban dari AI tersebut tidak sepenuhnya mengerti keadaan dan kondisi (kesehatan mental) yang dialami oleh seseorang,” ungkap Nurul di Surabaya, pada hari Kamis (22/5).
Karena itu, AI kurang memiliki aspek humanistik yang diperlukan seseorang saat mengatasi masalah mental. Maka dari itu, langkah intervensi di bidang kesehatan mental masih perlu ditangani oleh manusia, yaitu psikolog.
“Pakar di bidang kesehatan, termasuk aspek fisik, mental dan sosial, yang memiliki kemampuan untuk mentransfer pengetahuan, emosi, serta keterampilan motorik, adalah orang-orang yang akan sangat sukar digantikan oleh kecerdasan buatan,” katanya.

