Jumat, Desember 5, 2025
Berandaartificial intelligenceBagaimana Kecerdasan Buatan Menyambar Peran Tenaga Kerja Manusia

Bagaimana Kecerdasan Buatan Menyambar Peran Tenaga Kerja Manusia

Peluncuran Veo 3 yang dilakukan Google saat gelaran Google I/O 2025 diperingati dengan tepuk tangan meriah. Alat ini didasarkan pada kecerdasan buatan (AI).
kecerdasan buatan
ini tak henti-hentinya mengundang decak kagum.

Veo 3 diketahui bisa merombak kalimat dalam prompt menjadi video berkualitas tinggi. Pintu untuk menyampaikan gagasan dan konsep dibuka lebar-lebar. Elemen-elemen yang awalnya bersifat abstrak dapat ditampilkan secara konkret melaluinya.

Meskipun Veo 3 tidak menjadi yang pertama di kategorinya—SoraAI sebelumnya telah menawarkan fitur serupa—eksekutif dari Google mengatakan bahwa perangkat terbaru ini memiliki beberapa kelebihan signifikan. Keunggulan-keunggulan tersebut meliputi penyajian gambar berkualitas tinggi dengan resolusi 4K, mampu merumuskan gagasan atau konsep menjadi cerita yang dapat dipahami secara efektif, serta melakukan hal itu semua dalam durasi yang tepat. Video yang ditampilkan oleh Veo 3 juga berhasil menciptakan kesan alami tanpa tampak dibuat-buat.

Tapi bukan hal tersebut yang akan kita bahas di sini. Karena bila cuma itu saja, keahlian-keahlian dari AI meningkat setiap harinya. Setiap hari dilalui dengan peningkatan kemampuan AI yang semakin menakjubkan. Akibatnya, tidak ada waktu untuk merasa kurang terkesima.

Alat pintar ini semakin melampaui kapabilitas manusia dengan bentuknya yang kian natural. Indra kelima kita semakin kesulitan untuk memilah apa yang asli dan buatan.


Selanjutnya, bagaimana dampak tersebut terhadap masa depan manusia dalam hal pekerjaan?

Sebagai contoh, apabila membuat satu video membutuhkan minimal seorang direktur, kameramen, dan editor—yakni tiga jenis pekerjaan manusia, hadirnya Veo 3 sudah bisa mengambil alih ketiganya. Meskipun hasil akhirnya belum tentu langsung disambut oleh pasar, tetapi profesi-profesi konvensional tersebut telah terganggu eksistensinya.

Di balik decak kagum, memang tanda tanya besar selalu menyertai pengembangan AI: bagaimana masa depan pekerjaan manusia. Ini jadi sisi muram wajah AI.

Deskripsi gamblang soal nasib tenaga kerja ini termuat pada “The Impact of AI on Job Roles, Workforce, and Employment: What You Need to Know” yang ditulis oleh Robert Farrell pada 2023.

Farrell menyebut AI mengubah total pasar kerja. Ini terjadi dengan cara menciptakan jenis pekerjaan baru akibat tak dilakukan lagi pekerjaan-pekerjaan lama imbas otomatisasi tugas-tugas rutin.

Hingga tahun 2030, diperkirakan 20-50 juta jenis pekerjaan baru hadir di pasar kerja. Ini meliputi pekerjaan di bidang perawatan kesehatan, farmasi, dan industri.


Bagaimana cara kerja profesi baru ini muncul?

Dapat disaksikan hari ini, misalnya makin jarang dokter mendiagnosis penyakit pasiennya dengan memanfaatkan indera peraba dari permukaan tangannya, mencermati detak jantung pasien pun dibantu stetoskop, dan alat lain untuk melihat perubahan warna mata serta lainnya. Dokter bekerja dengan mengandalkan sensor perangkat yang membaca kondisi tubuh pasien yang menghasilkan data indikasi pasien. Lewat data inilah diagnosis ditegakkan, dan pengobatan ditentukan.

Pekerjaan dokter sebagai profesional yang mengandalkan panca indera telah digantikan oleh perangkat otomatis yang lebih meyakinkan dan di antaranya juga berbasis AI. Dokter hari ini adalah profesional intepreter data dan pengambil keputusan pengobatan. Pergeseran ini terjadi akibat struktur metode diagnosis yang diubah oleh AI.

Dengan cara serupa, pekerjaan guru, jurnalis, penyiar, musisi, akuntan, hakim, pemasar, customer relation, pengemudi, dan banyak tenaga kerja lainnya dapat tergantikan. Tergantikan tapi sayangnya tak serta merta mendapat pekerjaan baru.

Pada tahap pilu ini, ketidakrelevanan pekerja tersebut disertai dengan penghentian hubungan kerja atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurut Shivani Tiwari (2025), dalam sebuah laporannya bertajuk “AI dan Gelombang Penggilangan: Apakah Tenaga Kerja Memasuki Zaman Gangguan Permanen?”, lebih dari 61.220 karyawan dari bidang teknologi sudah menghadapi PHK pada tahun 2025. Ribuan orang lain juga harus keluar dari perusahaannya masing-masing beberapa tahun sebelumnya. Jumlah signifikan tersebut mencakup buruh-buruh dari total 130 perusahaan.

Sebab dari maraknya pemutusan hubungan kerja di perusahaan-perusahaan besar sektor teknologi seperti Microsoft, IBM, Google, serta Amazon adalah akibat transformasi struktural, penyesuaian biaya, dan konsentrasi yang semakin tinggi pada keuntungan finansial.

Tak ada kaitannya dengan dominasi AI? Jelas AI pelaku utamanya.

Hal ini dimungkinkan lewat jejaring pengaruh AI terhadap profitabilitas yang tercapai melalui rasionalisasi biaya. Rasionalisasi biaya dicapai melalui perombakan struktural setelah adanya AI yang jadi agennya. Peran struktural AI–yang semula dipromosikan untuk meningkatkan kapabilitas manusia–hari ini justru hadir untuk mengotomatisasi pekerjaan.

Tenaga kerja yang semula menghasilkan produk kecerdasan lewat kemampuan alamiahnya, tergantikan peran tradisonalnya oleh struktur yang dijalankan AI. Irelevansi didorong pemanfaatan AI di berbagai bidang kerja. Kecepatan yang dapat dicapai perangkat cerdas ini pun tak pernah mampu disamai keadaan sebelumnya. Para pelaku usaha memandang fenomena ini sebagai peluang dihasilkannya pertumbuhan baru.

Melihat realitas ini, World Economic Forum meluncurkan laporan berjudul “Future of Jobs Report 2025” menyebut perkembangan AI jelas telah mengganggu peran tradisional manusia. Sekitar 40% pelaku usaha berencana mereduksi sejumlah tenaga kerja jika dapat diotomatisasi oleh AI.

Perkembangan AI menghadirkan 11 juta jenis pekerjaan baru, tapi juga menghilangkan 9 juta jenis pekerjaan. Terjadi relasi penyeimbangan yang rumit. Sebab, mereka yang kehilangan pekerjaan tak serta merta mendapat ganti pekerjaan yang baru.

Serupa dengan keadaan di era media sosial, hadirnya pekerjaan-pekerjaan seperti influencer, YouTuber, content creator, social media specialist diciptakan sendiri oleh pengguna platform. Demikian juga harusnya dengan AI. Pekerjaan baru pengganti ini mungkin bakal diciptakan para penggunanya.

Bagaimana dengan situasi di Indonesia? Sulit untuk membayangkannya. Karena, tidak ada data yang bisa digunakan sebagai rujukan mengenai minat pebisnis dalam menggunakan AI. Tidak hanya kurangnya data, implementasinya juga masih belum menentu arahnya.

Menurut laporan yang dirilis oleh Komdigi tahun 2024 dengan judul “Menguatkan Kerjasama antara Pemerintahan dan Institusi Pendidikan untuk Maksimalkan Penggunaan Kecerdasan Buatan”, disebutkan bahwa Indonesia memiliki kesempatan besar di bidang ekonomi digital. Diperkirakan kontribusi sektor ini akan naik dari angka 90 miliar dolar AS pada tahun 2024 hingga mencapai 135 miliar dolar AS pada tahun 2027.

Data juga menunjukkan, Indonesia menduduki peringkat ketiga pengguna AI terbanyak di dunia. Terdapat 1,4 miliar kunjungan ke platform berbasis AI ini.

Namun terdapat kritik yang perlu dipikirkan serius soal penggunaan AI di salah satu industri di Indonesia. Kritik ini disampaikan Janet Steele, profesor jurnalisme di George Washington University, AS. Pendapatnya disampaikan saat diwawancarai jurnalis
detik.com
. termuat dalam laporan berjudul “Kritik Profesor Jurnalisme AS untuk Pemakaian AI di Media Massa Indonesia”.

Menurutnya, penggunaan AI di industri media massa Indonesia menarik tetapi aneh. Kritiknya muncul saat pewawancara mengilustrasikan penggunaan AI pada salah satu stasiun televisi Indonesia di hadapan Steele. Tergambarkan adanya presenter buatan AI yang menyampaikan berita, juga AI yang bertugas sebagai pewawancara narasumber dalam siaran radio.

Dibandingkan penerapannya di bidang jurnalistik di AS, penggunaan AI di Indonesia tergolong berani. Para jurnalis di sana menggunakan AI untuk merangkum tulisan yang panjang agar diperoleh kandungan substansinya. Juga digunakan untuk menelusuri data-data pendukung dari peristiwa lama.

Kecerdasan Buatan yang dipakai untuk menangani tugas penting tidak ada di AS. Ini terdengar ganjil.

Walau Steele tidak secara langsung menjelaskan alasan di balik pemilihan diktum “aneh” tersebut, tetapi bisa disimpulkan bahwa melalui penerapan AI sebegitu rupa, manusia pada akhirnya memberi ruang bagi pekerjaannya tergantikan. Efisiensi dan kecepatan dalam mendapatkan hasil diganti dengan ketidak relevansian mereka sebagai sumber daya kerja.

Melihat kejadian ini, jelas bahwa pemegang kendali media akan menafsirkannya sebagai kesempatan emas. Kesempatan tersebut adalah untuk mensubstitusi pekerjaan manusia dengan teknologi AI. Ironisnya, manusia lah yang sebenarnya mempercepat hilangnya relevansinya dalam proses ini.

Dengan demikian, bisa diprediksikan bahwa aplikasi AI di Indonesia berada pada kedua kutub tersebut. Pada salah satu ekstrem terdapat kelompok pengguna yang menganggap AI sebagai mitra kerjasama. Dalam rentang ini muncul kreasi-kreasi baru. Kendala yang disebabkan oleh batasan kemampuan pekerja manusia berhasil dilampaui dengan adanya kebijaksanaan buatan. Sebagai hasilnya, produk-produk inovatif pun bermunculan.

Di pihak lainnya, ada kelompok yang kurang mahir dalam penggunaan AI. Mereka justru memperburuk posisinya sebagai tenaga kerja yang diperlukan. Ada pepatah yang menyebut “internet meruntuhkan biaya informasi sedangkan AI meruntuhkan biaya pemikiran”. Namun pada orang-orang tersebut, AI digunakan untuk menciptakan lebih banyak jenis pekerjaan pokok. Hal itu-lah yang bisa mengancam peranan manusia.

Semua ini sebenarnya bermula dari etika di balik perkembangan teknologi, bukannya dari pemakaian yang baik atau buruk oleh para penggunanya. Setiap teknologi idealnya menjadikan manusia sebagai prioritas utama dalam pertimbangannya. Dengan demikian, tidak akan ada pihak yang tersesat dan merugikan diri sendiri karena cara pandang yang keliru tentang teknologi tersebut.

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular