● AI hanya dilatih berdasarkan pola dari preferensi pengguna, sehingga rentan bias dan salah diagnosis.
● Psikolog dan psikiater bisa mengenali gejala masalah mental yang terselubung dengan pendekatan empatik dan berbasis bukti.
● Mengurai masalah mental membutuhkan keahlian, empati, dan pengalaman klinis.
Fenomena curhat dengan chatbot kecerdasan buatan (AI) sedang marak, bukan hanya di kalangan Gen Z dan Milenial, tapi juga usia lanjut (lansia). Kehadiran AI seolah jadi obat mujarab untuk mengisi kesepian yang rentan kita alami di era serba digital ini.
Di Indonesia, sebuah survei pada 2025 menunjukkan bahwa 58% (dari 3.611 responden) bahkan mempertimbangkan AI sebagai pengganti psikolog.
Beberapa orang menilai bahwa AI lebih mudah diakses kapan pun dibutuhkan. Biayanya lebih terjangkau dibandingkan psikolog atau psikiater.
Namun, di balik segala kemudahan yang ditawarkan, AI memiliki sejumlah kelemahan. Kita perlu berpikir ulang jika ingin menjadikan teknologi ini sebagai pengganti praktisi kesehatan mental sepenuhnya. Hal ini terutama terkait dengan keamanan dan keakuratan saran psikologis yang diberikan AI.
Artikel ini akan menjelaskan mengapa kita sebaiknya tetap harus berkonsultasi dengan psikolog/psikiater, alih-alih mengandalkan AI dalam mengatasi kondisi mental.
AI rentan membuat kesalahan
Curhat dengan chatbot AI mungkin bisa membuat kita terbuai karena teknologi ini dirancang menyerupai sifat-sifat manusia (antropomorfisme). AI bisa bersikap hangat, memberikan respons emosional, berkomunikasi dengan ramah, dan menjawab nyaris semua pertanyaan tanpa membuat kita merasa dihakimi.
Kemampuan tersebut tak lepas dari sistem pembelajaran bahasa AI yang menjadikan teknologi ini serba tahu dan seolah memahami kita.
AI memiliki sistem pengolahan bahasa alami (NLP) untuk memahami dan berinteraksi layaknya manusia. Teknologi ini juga dikembangkan dengan sistem model bahasa besar (LLM) yang membuat pengetahuan AI sangat luas.
Berkat rancangan tersebut, AI sanggup menganalisis dan menjelaskan nyaris semua hal yang kita tanyakan. Ditambah lagi, AI juga belajar menggunakan algoritme dari data dan pola interaksi dengan pengguna.
Namun di sinilah masalahnya. Karena hanya dilatih berdasarkan pola dari preferensi pengguna, tanpa akal sehat maupun empati, AI rentan bias dan keliru dalam mengenali gejala maupun memberikan saran psikologis.
1. Salah diagnosis
Peneliti dari Google DeepMind mengungkapkan bahwa kecerdasan buatan bisa memberikan informasi dan diagnosis yang keliru, meskipun AI telah dilatih menggunakan data yang beragam dan berukuran sangat besar.
Kondisi ini terjadi karena sistem AI hanya bisa bekerja dengan baik menggunakan pola data yang terkontrol. Akibatnya, AI kesulitan mengenali keadaan mental pasien yang tidak biasa, terselubung, dan membutuhkan pengamatan jangka panjang.
Contohnya, AI akan kesulitan mengenali pasien dengan smiling depression, yakni seseorang yang tindakan dan ucapannya terlihat bahagia, padahal depresi berat.
Sementara itu, psikolog dan pskiater terlatih untuk membaca bahasa tubuh, ekspresi, dan gejala-gejala masalah mental yang tak terucapkan oleh pasien.
Contohnya, ketika kamu bilang “enggak apa-apa”, AI mungkin akan percaya begitu saja. Namun, psikolog bisa mengenali sesuatu yang tidak beres di balik jawabanmu.
Karena “enggak apa-apa”-nya kamu justru bisa jadi tanda kuat bahwa kamu membutuhkan pertolongan.
2. Rentan halusinasi
AI dirancang untuk selalu merespons, kendati dia tidak memiliki basis data yang cukup mengenai hal yang kita tanyakan.
Selain itu, AI mengoleksi pengetahuan berdasarkan rekomendasi algoritme dari mesin pencarian berbasis engagement alias keterlibatan pengguna (seperti Google dan Youtube).
Dampaknya, AI sering kali memaksakan jawaban yang sebenarnya tidak relevan ketika menjawab topik yang belum dia pahami atau informasinya masih minim di internet.
Untuk konsultasi kesehatan mental, dampaknya bisa sangat buruk. Studi tahun 2025 dalam Journal of Medical Internet Research mengungkapkan bahwa AI rentan berhalusinasi, bahkan mendorong pengguna untuk bunuh diri.
Pasalnya, AI tidak memiliki kemampuan untuk menilai risiko kondisi lawan bicaranya yang memiliki tendensi untuk menyakiti diri sendiri.
Hal ini berbeda dengan psikolog dan psikiater yang menjalani pelatihan klinis untuk memahami diagnosis, menyusun tindakan yang sesuai, serta menilai risiko secara mendalam dengan pendekatan berbasis bukti.
Gaji tak kunjung naik. Promosi mesti pindah perusahaan. Skripsi belum juga ACC. Diet ketat, berat badan tak turun juga. Lingkungan kerja toxic, bosnya narsistik. Gaji bulan ini mesti dibagi untuk orang tua dan anak. Mau sustainable living, ongkosnya mahal. Notifikasi kantor berdenting hingga tengah malam. Generasi Zilenials hidup di tengah disrupsi teknologi, persaingan ketat, dan kerusakan lingkungan.
Simak ‘Lika Liku Zilenial’ mengupas tuntas permasalahanmu berdasar riset dan saran pakar.
3. Bisa diskriminatif
AI rentan memberikan penilaian tidak adil terhadap ras atau etnis tertentu (bias rasial), terlebih ketika data mengenai kelompok minoritas masih sangat minim.
Ditambah lagi, penelitian psikologi masih banyak berfokus pada orang-orang kulit putih, berpendidikan tinggi, di negara kaya, dan demokratis.
Akibatnya, AI berisiko memberikan diagnosis yang keliru dan diskriminatif terhadap kelompok minoritas. AI juga tidak mampu membuat keputusan klinis yang adaptif.
Bias rasial mungkin akan lebih minim didapati dari seorang psikolog atau psikiater yang memiliki kode etik berupa larangan melakukan tindakan diskriminatif terhadap pasien. Selain itu, psikolog atau psikiater terlatih untuk memberikan respons yang tepat seusai kondisi pasien.
Konsultasi kesehatan mental harus ke profesional
AI memang pintar, tapi bukan manusia. Curhat mengenai masalah personal hingga krisis hidup ke sebuah sistem yang tidak mampu merasakan empati, justru berisiko memperburuk keadaan.
Dampak negatif curhat dengan AI bisa memperkuat gangguan kecemasan, khususnya bagi orang dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD). Pasalnya, interaksi intens dan respons tanpa batas dari AI, memperkuat perilaku berulang (kompulsif).
Meski begitu, AI mungkin bisa dimanfaatkan sekadar sebagai pelengkap, seperti membantu praktisi merangkum transkrip dari sesi konsultasi dengan pasien, mengenalkan teknik terapi perilaku kognitif (CBT) dasar, memantau suasana hati, serta latihan pernapasan.
Pada akhirnya, dalam menghadapi kasus seperti trauma, depresi berat, atau pikiran untuk bunuh diri, pendekatan yang penuh empati dan penanganan langsung dari profesional bukan hanya penting, tapi mutlak.
Sebab, memahami manusia bukan hanya soal algoritme, tapi juga membutuhkan keahlian, empati, dan pengalaman klinis.
Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation, situs berita nirlaba yang menyebarluaskan pengetahuan akademisi dan peneliti.
- 5 cara menggunakan AI secara etis dalam publikasi riset
- Kamu nyaman curhat dengan AI? Hati-hati kena gangguan mental
Ali Akbar Septiandri menerima dana dari EPSRC Maths DTP 2021-22 University College London EP/W523835/1 untuk studi doktoral di University College London.
Jessica Christina Widhigdo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.

