Peran Manusia dalam Pendidikan di Era AI
Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi kecerdasan buatan (AI) telah mengalami perkembangan pesat, memasuki berbagai bidang yang sebelumnya hanya bisa dikuasai oleh manusia. Salah satu bidang yang ikut terpengaruh adalah dunia pendidikan. Kini, AI mampu menjawab pertanyaan siswa dalam hitungan detik, menyusun materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan individu, memberikan umpan balik instan terhadap tugas-tugas siswa, bahkan melakukan penilaian berbasis data dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Ini bukan sekadar kemajuan teknologi, melainkan sebuah revolusi dalam sistem pendidikan. Namun, di balik kehebohan ini, muncul pertanyaan penting: jika mesin mulai mengajar, apa yang tersisa bagi manusia—guru, orang tua, dan pendidik—di era saat ini?
Pertanyaan ini sering kali dianggap sebagai bentuk ketakutan irasional terhadap teknologi. Namun, sebenarnya ini adalah refleksi mendalam tentang makna pendidikan dan peran manusia di dalamnya. Meskipun AI sangat canggih, ada batasan-batasan yang tidak bisa ia lampaui. Misalnya, AI bisa menyampaikan fakta, tetapi tidak mampu membentuk karakter. Ia bisa memproses jawaban, tetapi tidak bisa menumbuhkan rasa ingin tahu yang otentik. Ia bisa mengevaluasi hasil belajar, tetapi belum mampu memahami proses batin seorang anak dalam belajar, termasuk bagaimana mereka bergumul dengan tugas dan ujian serta tumbuh di lingkungan pendidikan yang mereka tempuh.
Pendidikan sejati lebih dari sekadar transfer pengetahuan. Ia adalah proses memanusiakan manusia. Di sinilah letak peran esensial yang tidak bisa digantikan oleh mesin. Ini seharusnya menjadi penyemangat bagi guru-guru untuk menjawab pertanyaan: “Guru nanti bisa apa?” Saat ini, anak-anak tidak hanya membutuhkan informasi, tetapi juga inspirasi. Mereka perlu diajarkan bukan hanya apa yang harus dipelajari, tetapi juga mengapa hal itu penting, bagaimana menggunakannya dengan bijak, dan untuk tujuan apa pengetahuan tersebut digunakan.
Guru memiliki posisi unik dalam konteks ini. Mereka bukan hanya penyampai materi, tetapi juga pembimbing, teladan, dan penjaga nilai-nilai. Mereka hadir bukan hanya untuk menjawab pertanyaan, tetapi juga untuk membentuk kebiasaan berpikir, mengasah kepekaan moral, dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Di era AI, justru peran guru sebagai manusia pendidik semakin krusial. Bukan bersaing dengan mesin dalam hal kecepatan atau kapasitas data, tetapi menghadirkan sentuhan manusiawi yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma mana pun.
Tidak hanya guru, orang tua juga memiliki peran penting dalam pendidikan anak di era digital. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, rumah bukan hanya tempat beristirahat, tetapi juga tempat belajar. Orang tua perlu menjadi pendamping yang peka dan bijak, menuntun anak-anak untuk menyikapi kehadiran teknologi dengan tanggung jawab. Anak perlu belajar bahwa teknologi, termasuk AI, bukanlah pengganti manusia, melainkan alat bantu untuk memperluas potensi mereka.
Di sisi lain, sistem pendidikan secara keseluruhan juga perlu mengalami reposisi. Kurikulum harus disesuaikan, bukan hanya untuk mengajarkan teknologi, tetapi juga etika penggunaannya. Literasi digital perlu diperluas, mencakup aspek kritis dan filosofis. Kita tidak bisa hanya mencetak generasi yang melek teknologi, tetapi harus melahirkan generasi yang bijak dan tangguh menghadapi tantangan zaman.
Kehadiran AI seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai ujian. Ia menguji sejauh mana kita mampu menjaga nilai-nilai dasar pendidikan di tengah arus otomatisasi. Ia menantang kita untuk tidak terjebak dalam euforia teknologis, tetapi tetap berpijak pada hakikat pendidikan sebagai proses pemanusiaan.
AI tidak akan pernah bisa menggantikan kehangatan dalam tatapan mata guru yang memahami muridnya. Ia tidak bisa meniru pelukan semangat yang diberikan orang tua ketika anak merasa gagal. Dan ia tidak bisa menyelami perasaan seorang anak yang untuk pertama kalinya memahami sesuatu yang sebelumnya tampak rumit.
Maka, ketika mesin mulai mengajar, peran kita bukan menjadi penonton atau pesaing, tetapi pemimpin perubahan. Kita adalah pengarah, penentu arah, dan penjaga kemanusiaan dalam dunia pendidikan. AI dapat mempercepat proses belajar, tetapi hanya manusia yang bisa memberi makna atas apa yang dipelajari. AI bisa membuka pintu pengetahuan, tetapi hanya manusia yang bisa mengantarkan anak-anak melangkah melewati pintu itu, dengan kesadaran dan tanggung jawab.
Pada akhirnya, masa depan pendidikan bukanlah tentang memilih antara manusia atau mesin, melainkan bagaimana manusia menggunakan mesin untuk memperkuat kemanusiaan. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita tetap hadir—sebagai guru, orang tua, dan pendidik—dengan hati yang terbuka, pikiran yang tajam, dan komitmen yang tak tergoyahkan untuk membentuk generasi masa depan yang cerdas, bijak, dan berkarakter.

