Tren Penggunaan AI dalam Layanan Pelanggan di Asia-Pasifik
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, penggunaan artificial intelligence (AI) dalam layanan pelanggan semakin menjadi fokus utama perusahaan di kawasan Asia-Pasifik. Dalam laporan terbaru, disebutkan bahwa transaksi pelanggan melalui agen AI di ponsel akan mencapai lebih dari US$32 miliar pada 2028. Angka ini setara dengan sekitar Rp520 triliun, menunjukkan potensi besar yang bisa dimanfaatkan oleh bisnis.
Perusahaan di kawasan ini juga berlomba mempercepat investasi dalam infrastruktur dan platform AI. Proyeksi menyebutkan bahwa total investasi akan melebihi US$30 miliar (sekitar Rp487,53 triliun) pada 2027. Tujuannya adalah untuk memberikan layanan yang personal dan selalu tersedia 24 jam, sesuatu yang kini menjadi standar ekspektasi pelanggan.
Perubahan Perspektif dalam Penerapan AI
Nikhil Batra, Senior Research Director IDC Asia-Pasifik, mengungkapkan bahwa tren penggunaan AI dalam hubungan dengan pelanggan kini telah bergeser dari pertanyaan “kalau” menjadi “seberapa?” – yaitu seberapa dalam dan seberapa cepat penerapannya. Pelanggan yang selalu aktif di platform digital kini menuntut kepuasan instan, yang tidak lagi dapat dipenuhi oleh model bisnis tradisional.
Karena itu, persaingan bisnis kini bukan hanya tentang apakah perusahaan menerapkan AI, tetapi juga bagaimana mereka mengelola kombinasi AI yang lebih canggih seperti generative AI dan agentic AI. Tujuannya adalah untuk memberikan pengalaman yang proaktif dan membangun hubungan yang awet dengan pelanggan.
Tantangan yang Dihadapi Bisnis
Meskipun pelanggan terus aktif di platform digital, banyak bisnis masih kesulitan mengikuti perkembangan tersebut. Menurut laporan Infobip yang didukung riset IDC, 43% bisnis di Asia Pasifik menyatakan meningkatkan customer experience adalah tantangan operasional terbesar. Hal ini disebabkan oleh data yang terpisah-pisah, strategi yang berbeda di setiap channel, serta biaya tinggi untuk menyediakan layanan 24 jam di berbagai negara, bahasa, dan regulasi yang berbeda.
Untuk mengatasi tantangan ini, laporan ini menekankan peran teknologi AI yang terus berkembang, seperti generative AI, agentic AI, hingga conversational AI. Teknologi-teknologi ini membantu brand menyederhanakan operasional sekaligus menghadirkan pengalaman terhubung secara real-time pada setiap titik interaksi pelanggan.
Prediksi Pertumbuhan Investasi AI
IDC memprediksi bahwa pada 2028, transaksi pelanggan di Asia-Pasifik akan mencapai lebih dari US$32 miliar melalui agen AI di ponsel mereka. Sistem ini bisa secara otomatis mencari, memilih, dan memutuskan pembelian barang maupun jasa. Perusahaan pun berlomba memanfaatkan momentum ini, dengan total investasi diproyeksikan melampaui US$30 miliar pada 2027 untuk infrastruktur dan platform AI demi menghadirkan layanan personal dan always on.
Investasi AI untuk layanan pelanggan dan pemasaran di Asia-Pasifik tumbuh dengan laju tahunan gabungan (CAGR) 35% hingga 2029, mencerminkan skala dan urgensi transformasi. Pada 2028, sebanyak 40% brand B2C kelas menengah di kawasan ini diperkirakan akan memanfaatkan agen AI untuk menawarkan layanan white glove atau eksklusif, yang sebelumnya hanya tersedia bagi pelanggan kelas premium.
Konektivitas Mobile yang Tinggi
Velid Begovic, VP Revenue APAC Infobip, menjelaskan bahwa Asia Pasifik bukan sekadar negara pengguna mobile, tetapi sekarang sudah mobile-saturated, yaitu layanan mobile sudah mendominasi kehidupan masyarakat. Masyarakat di kawasan ini aktif menggunakan 5 hingga 6 aplikasi messaging berbeda, dan bisa berpindah-pindah antar aplikasi dengan mudahnya. Mereka pun berharap brand bisa mengikuti aktivitas mereka.
Pola pikir zero-wait juga berkembang di kalangan pelanggan, di mana mereka tidak mau mengantri, dialihkan, atau diminta mengulang informasi. Sayangnya, banyak bisnis belum siap memenuhi ekspektasi ini karena masih menggunakan sistem lama. Bahkan penggunaan AI generasi awal, seperti chatbot sederhana yang tidak punya riwayat pelanggan, belum mampu memberikan layanan hiper-personalisasi seperti yang diinginkan pelanggan masa kini.
Kepemilikan Teknologi di Indonesia
Di kawasan Asia-Pasifik, konektivitas mobile sudah sangat tersaturasi, dengan tingkat penetrasi mobile melebihi 100% di hampir semua pasar. Di negara berkembang seperti Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan India, angkanya mencapai atau melampaui 110%. Hyper-konektivitas tersebut menumbuhkan perilaku baru di kalangan masyarakat.
Kukuh Prayogi, Business Lead Infobip Indonesia, menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia memiliki perilaku unik dalam berbelanja online, yaitu menaruh barang yang ingin dibeli di keranjang, tetapi tidak langsung check out. Hal ini menunjukkan adanya minat yang tinggi yang mungkin terkendala dengan berbagai faktor pertimbangan. Perilaku ini disebut dengan cart abandonment.
E-commerce yang menerapkan AI dalam chatbot, justru memanfaatkan kondisi ini dengan merekam perilaku konsumen dan membantu konsumen membuat keputusan untuk membeli atau tidak. Masyarakat Indonesia termasuk cepat beradaptasi dengan teknologi baru, termasuk AI, sehingga kini tantangannya bukan lagi apakah pelanggan siap menerima teknologi ini, melainkan seberapa cepat bisnis bisa mengintegrasikannya untuk mendorong pertumbuhan.

