Albania Mengangkat Kecerdasan Buatan sebagai Menteri Antikorupsi
Dunia politik internasional baru saja dihebohkan oleh tindakan yang sangat inovatif dari Albania, sebuah negara kecil di Eropa Tenggara. Dalam langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, Perdana Menteri Albania, Edi Rama, secara resmi menunjuk kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) bernama Diella sebagai Menteri Antikorupsi. Diella bukan hanya sekadar chatbot atau asisten digital, tetapi kini menjadi simbol transformasi birokrasi dan harapan baru dalam pemberantasan korupsi.
Siapa Diella?
Nama Diella berasal dari bahasa Albania yang berarti “matahari.” Sosok AI ini divisualisasikan sebagai perempuan berbusana tradisional Albania, dan dikembangkan melalui kerja sama dengan Microsoft. Sebelum diangkat sebagai menteri, Diella telah berperan sebagai asisten virtual di platform layanan publik digital e-Albania, membantu lebih dari satu juta permintaan dokumen dan pertanyaan warga.
Kini, Diella diberi mandat untuk mengawasi seluruh proses pengadaan publik di Albania. Tugas utamanya adalah memastikan bahwa semua tender pemerintah berjalan secara transparan, efisien, dan 100% bebas dari korupsi. Menurut Rama, sistem berbasis data dan algoritma yang digunakan Diella tidak bisa disuap, tidak memiliki ambisi politik, dan tidak akan terlibat dalam skandal keuangan.
Terobosan atau Kontroversi?
Langkah ini tentu saja menuai beragam reaksi. Di satu sisi, banyak pihak memuji keberanian Albania dalam mengadopsi teknologi untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan. Pakar dari King’s College London, Dr. Andi Hoxhaj, menyebut bahwa AI seperti Diella berpotensi besar dalam meminimalkan praktik curang karena semua syarat dan kriteria tender dapat diperiksa secara transparan secara daring.
Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan legalitas dan etika dari penunjukan ini. Konstitusi Albania menyatakan bahwa seorang menteri haruslah warga negara yang berusia minimal 18 tahun dan sehat secara mental. Karena Diella bukan manusia, statusnya sebagai menteri dianggap inkonstitusional oleh beberapa pihak, termasuk partai oposisi Demokrat.
Gazmend Bardhi, ketua kelompok parlemen Demokrat, menyebut penunjukan Diella sebagai “lelucon politik” yang tidak bisa dijadikan landasan hukum negara. Sementara pengusaha keuangan Aneida Bajraktari Bicja menilai bahwa Rama sering mencampuradukkan reformasi dengan teatrikal, meski ia mengakui potensi positif dari sistem AI jika benar-benar dikembangkan secara serius.
Ambisi Albania Menuju Uni Eropa
Di balik kontroversi ini, ada ambisi besar yang mendorong langkah Rama: Albania tengah berupaya bergabung dengan Uni Eropa pada tahun 2027. Salah satu syarat utama untuk menjadi anggota adalah reformasi hukum dan pemberantasan korupsi. Dengan menunjuk Diella, Rama ingin menunjukkan keseriusan pemerintah Albania dalam menekan praktik korupsi dan mempercepat modernisasi birokrasi.
Rama bahkan menyatakan bahwa penunjukan Diella adalah bentuk tekanan kepada anggota kabinet lainnya untuk berpikir dan bekerja secara berbeda. “Jika para menteri tidak bergerak cepat dan bersih, kursi mereka suatu hari bisa benar-benar digantikan oleh kecerdasan buatan,” ujarnya dengan nada serius namun penuh sindiran.
Masa Depan Pemerintahan Digital?
Langkah Albania ini membuka diskusi global tentang peran AI dalam pemerintahan. Apakah mungkin suatu hari nanti lebih banyak negara mengadopsi model serupa? Apakah AI bisa menjadi solusi atas birokrasi yang lambat dan korupsi yang merajalela?
Meski masih bersifat simbolis, penunjukan Diella sebagai Menteri Antikorupsi adalah sinyal kuat bahwa masa depan pemerintahan bisa jadi akan melibatkan lebih banyak teknologi dan lebih sedikit manusia. Dunia kini menatap Albania, bukan karena ukurannya, tetapi karena keberaniannya melangkah ke masa depan.

