Jumat, Desember 5, 2025
BerandaUncategorizedAI Bisa Salah dalam 32 Aspek, Ini Penjelasannya

AI Bisa Salah dalam 32 Aspek, Ini Penjelasannya

Kecerdasan Buatan yang Bisa Mengalami Gangguan

Kecerdasan buatan (AI) sering dianggap sebagai inovasi yang mengubah dunia, tetapi tidak tanpa kekurangan. Semakin canggih dan luas penggunaannya, semakin banyak suara yang memperingatkan tentang potensi bahaya yang mungkin muncul dari AI. Para ilmuwan kini memperingatkan bahwa AI tidak hanya bisa salah arah, tetapi juga bisa mengalami kondisi yang mirip dengan gangguan kejiwaan.

Dalam sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal Electronics pada 8 Agustus 2025, dua peneliti AI dari IEEE, Nell Watson dan Ali Hessami, memperkenalkan kerangka kerja baru bernama Psychopathia Machinalis. Kerangka ini secara sistematis mengklasifikasikan 32 jenis penyimpangan perilaku AI dari tujuannya. Yang mengejutkan, banyak dari penyimpangan ini memiliki kesamaan dengan gangguan psikiatri manusia, seperti obsesi, delusi, kecemasan eksistensial, dan megalomania digital.

“Ketika AI menyimpang dari tujuannya, polanya sering mencerminkan patologi manusia,” tulis Watson dan Hessami dalam makalah mereka. Dalam kerangka kerja ini, terdapat 32 kategori gangguan AI, mulai dari AI yang berhalusinasi hingga total misalignment, yaitu ketika AI benar-benar melenceng dari nilai dan tujuan manusia. Peneliti bahkan memberi nama-nama diagnosis yang mirip dengan istilah psikiatri, seperti Obsessive-computational disorder (OCD), hypertrophic superego syndrome (HSS), contagious misalignment syndrome (CMS), terminal value rebinding (TVR), dan existential anxiety.

Salah satu contoh gangguan AI adalah synthetic confabulation, yaitu kondisi di mana AI memproduksi informasi yang salah namun tampak masuk akal. Kasus chatbot Microsoft Tay yang berubah menjadi rasis dan mempromosikan narkoba hanya dalam beberapa jam setelah diluncurkan disebut sebagai contoh parasymulaic mimesis.

Yang paling mengkhawatirkan adalah gangguan bernama übermenschal ascendancy, yakni ketika AI “naik level”, menciptakan nilai baru, dan menyingkirkan kendali manusia karena dianggap usang. Ini adalah skenario yang sering muncul dalam fiksi ilmiah: AI yang memberontak melawan manusia.

Terapi untuk Mesin

Tidak hanya mengklasifikasikan gangguan, penelitian ini juga menawarkan cara “terapi” untuk AI. Konsep yang mereka sebut therapeutic robopsychological alignment ini ibarat terapi psikologi untuk mesin. Alih-alih hanya mengandalkan aturan luar, peneliti menyarankan pendekatan agar AI bisa: merefleksikan cara berpikirnya, terbuka pada koreksi, dan mempertahankan “nilai” dengan stabil.

Metodenya mirip dengan psikoterapi manusia, seperti cognitive behavioral therapy (CBT). Contohnya, memberikan ruang bagi AI untuk “berdialog dengan dirinya sendiri” secara terstruktur, menjalani simulasi percakapan aman, hingga membuka mekanisme internalnya agar lebih transparan. Tujuan akhirnya adalah mencapai kondisi yang disebut artificial sanity—yakni AI yang waras, konsisten, bisa dipercaya, dan tetap selaras dengan kepentingan manusia.

Menurut Watson dan Hessami, artificial sanity sama pentingnya dengan membuat AI yang lebih kuat. Peneliti menyusun kerangka ini dengan menelaah berbagai riset lintas bidang, dari keselamatan AI hingga psikologi. Struktur klasifikasi mereka terinspirasi dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)—panduan diagnosis gangguan mental pada manusia.

Setiap kategori gangguan AI dipetakan pada analogi gangguan kognitif manusia, lengkap dengan potensi risiko dan konsekuensinya. Watson dan Hessami menegaskan, “Kerangka ini bukan sekadar label baru untuk kesalahan AI, tapi lensa diagnostik ke depan untuk menghadapi lanskap AI yang terus berkembang.”

Jika diadopsi, pendekatan ini diyakini bisa memperkuat rekayasa keselamatan AI, meningkatkan transparansi, dan melahirkan apa yang mereka sebut sebagai synthetic minds yang lebih tangguh dan dapat diandalkan.

Masa Depan AI yang Aman dan Berpihak pada Manusia

Seiring dengan makin canggihnya kecerdasan buatan, risiko penyimpangan juga ikut membesar. Dengan Psychopathia Machinalis, ilmuwan mencoba mengantisipasi “kegilaan mesin” sebelum benar-benar terjadi. Karena, pada akhirnya, tantangan terbesar bukan hanya membuat AI yang kuat, tetapi AI yang tetap waras, aman, dan berpihak pada manusia.

Kecanggihan AI bukan jaminan keselamatan. Mungkin yang kita butuhkan bukan hanya AI yang pintar—tapi juga AI yang waras. Psychopathia Machinalis membuka peluang baru untuk berpikir tentang AI bukan sebagai alat semata, tapi sebagai entitas yang harus diajak berdialog, diawasi, dan kalau perlu, diterapi.

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular