Perjalanan Awal Menggunakan AI
Sebagai pendiri TEDx Hasanuddin University, saya pernah mengalami masa awal penggunaan Artificial Intelligence (AI) yang penuh dengan ketidakpastian. Sama seperti beberapa teman atau kolega, saya menggunakan AI untuk membantu tugas-tugas seperti menulis artikel, proposal riset, dan disertasi. Pada saat itu, penggunaan AI dilakukan secara diam-diam karena dianggap sebagai bentuk kecurangan.
Kebetulan, ruangan kerja saya saat ini dirancang sebagai coworking space, sehingga semua orang bisa melihat layar komputer masing-masing. Akibatnya, jika ingin menggunakan AI untuk membantu pekerjaan menulis, saya harus terampil dalam dua hal: pertama, memiliki insting untuk mengetahui apakah ada orang yang sedang melihat layar komputer, dan kedua, mengganti tab atau jendela web dengan cepat agar tidak terlihat sedang menggunakan AI.
Tidak pernah terpikir sebelumnya bahwa command+tab bukan hanya sekadar shortcut, tetapi menjadi bagian penting dari prinsip hidup. Penggunaan AI di ruangan coworking space menjadi sumber ketidaknyamanan karena harus menyembunyikan “teman gelap” tersebut.
Perubahan Pandangan terhadap AI
Tanpa sadar, dalam waktu belasan bulan, AI bukan lagi “teman gelap”, tapi diperkenalkan sebagai teman baru. Ia menjadi topik pembicaraan dalam berbagai komunitas, baik besar maupun kecil, seperti kelompok peneliti atau antara dosen dan mahasiswa bimbingannya yang saling berbagi pengalaman tentang bagaimana mereka memanfaatkan AI dalam pekerjaan mereka.
Fokus utamanya kini bukan lagi tentang bisa atau tidak bisa menggunakannya, tetapi tentang “bagaimana” dan “untuk apa”.
Mengenal TEDAI
Interaksi yang cukup lama dengan TED Talk dan pengalaman saya sebagai licensee TEDx event membuka pintu untuk menghadiri TEDAI Conference. TEDAI adalah konferensi Technology, Entertainment, and Design (TED) yang khusus membahas tentang AI. Konferensi ini merupakan salah satu dari lima konferensi ofisial TED tahun 2025 dan satu-satunya di Eropa. Acara ini diadakan pada tanggal 24-26 September di Kota Vienna, Austria.
Tempat penyelenggaraan acara ini adalah Hofburg Palace, sebuah gedung yang pada abad ke-13 dulu merupakan benteng, lalu menjadi istana musim dingin serta pusat kekuasaan yang diperluas oleh kaisar. Saat memasuki gedung tua tersebut, saya merasa nyaman dengan badge yang mengantung, gelas kopi panas di tangan, dan orang-orang saling melempar senyum serta bertegur sapa dalam bahasa Inggris dengan aksen berbeda-beda, menciptakan suasana hangat.
Wajah-wajah sumringah dan bersahabat dari orang-orang yang antusias membahas AI. Panitia sangat kreatif dalam memilih tempat bersejarah ini untuk membahas AI dan masa depan. Seperti orang-orang yang hidup di masa lalu sedang memandangi dan mendukung generasi saat ini, berdialog, bernegosiasi, dan merancang masa depan.
Panel Menarik tentang Kepemimpinan di Era AI
Salah satu panel yang menarik perhatian saya adalah “Bagaimana Anda Memimpin di Saat AI Semakin Maju?” Dari panel tersebut, ada beberapa hal baik yang bisa saya soroti. Salah satunya adalah bahwa dalam era AI, kepemimpinan masih berdiri di atas prinsip trust, yaitu membuat manusia menjadi manusia, dan memberikan kehidupan yang lebih baik.
Kita sebaiknya mulai mengukur AI bukan hanya dari efisiensi atau kecepatan, tetapi juga dari kemampuannya menempatkan manusia sebagai pusat keputusan.
AI dalam Pendidikan
Di Indonesia, perkembangan AI mendorong Direktorat Jenderal Dikti Ristek, Kementerian Dikbud Ristek pada tahun 2024 mengeluarkan buku panduan penggunaan Generative AI dalam aktifitas pembelajaran di perguruan tinggi. Saya termasuk dosen yang menyarankan agar mahasiswa di kelas saya menggunakan AI untuk membantu belajar, bukan menggantikan proses belajar mereka sendiri. Contohnya, saya meminta AI membuat summary atau poin-poin penting dari bahan bacaan.
Dengan begitu, kelas akan diisi oleh orang-orang yang sudah punya pengetahuan, sehingga interaksi antara dosen dan mahasiswa tidak lagi dosen mengajarkan sesuatu yang belum diketahui oleh mahasiswa, tetapi kelas diisi dengan aktifitas saling berbagi interpretasi atas bacaan, dialog, debat, dan berbagi pengalaman pribadi yang relevan dengan materi belajar, lalu merefleksikan dan meninggalkan kelas dengan insight baru.
Saya melihat buku panduan dari kementerian tersebut sebagai dokumen yang hidup, yang harus selalu diperkaya melalui pengalaman lapangan, bukan kitab suci yang menjadi panduan baku sampai akhir zaman. AI terus mengalami update teknis dan unsur etis juga terpengaruh. Oleh karena itu, diperlukan ruang-ruang saling berbagi pengalaman, mendialogkannya, dan memperdebatkannya secara terus menerus, baik di ruang formal maupun informal.
Tantangan dan Harapan Masa Depan
Tulisan ini hanya menyentuh bagian kecil dari aspek AI yang sangat kompleks, yang tidak hanya soal teknologi, tetapi juga etika, dampak psikologi, sosial, hingga ekonomi politik. AI adalah “teman” yang akan menemani kita di masa depan karena perkembangannya telah mencapai titik tak terbalik.
Saya ingin secara transparan menyatakan bahwa saya menulis opini ini dari hasil dialog konstruktif dan kritis antara saya dengan teman baruku ini. Dia membantu merapikan tulisan bahkan mengkritisi. Tapi perlu saya tekankan bahwa dia tidak menghilangkan agency saya, yang artinya saya yang memutuskan dan bertanggung jawab atas tulisan ini. Transparansi adalah etika kecil yang bisa kita mulai terapkan hari ini.

