Pengembangan Peta Otak Tikus dengan Bantuan Teknologi AI
Para ilmuwan telah berhasil menciptakan peta otak tikus yang lebih akurat dan detail dibandingkan sebelumnya. Proses ini dilakukan dengan bantuan model kecerdasan buatan (AI) yang mirip dengan ChatGPT. Peta baru ini mampu menggambarkan area-area otak yang sebelumnya tidak pernah dipetakan dengan tingkat detail yang luar biasa.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Nature Communications pada 7 Oktober lalu oleh tim dari University of California, San Francisco (UCSF) dan Allen Institute for Cell Science. Peta tersebut mencakup sekitar 1.300 wilayah otak dan merupakan yang pertama kali dibuat tanpa adanya input manual dari manusia. Para peneliti berharap pendekatan ini dapat diterapkan untuk memetakan jaringan di bagian tubuh lainnya.
Kemajuan dalam bidang genomik telah menghasilkan data besar mengenai identitas dan fungsi sel-sel sistem saraf melalui teknik spatial transcriptomics. Teknik ini menunjukkan bagaimana sel menggunakan informasi genetik untuk memproduksi protein, sekaligus memperlihatkan posisi sel di dalam jaringan. Namun, menyusun data tersebut menjadi peta otak yang komprehensif selama ini merupakan tantangan besar karena proses anotasi yang harus dilakukan secara manual.
Dalam studi terbaru ini, tim ilmuwan mengembangkan sistem AI bernama CellTransformer untuk menyederhanakan proses tersebut. “Kami membangun penghubung yang hilang antara data spatial transcriptomics dan proses parcellation otak yang menghubungkan keduanya,” kata Reza Abbasi-Asl, profesor neurologi dan bioengineering di UCSF.
CellTransformer menggunakan data spatial transcriptomics yang berisi informasi tentang aktivitas 500 hingga 1.000 gen di setiap sel yang dianalisis. AI ini mengolah data spasial dan menghasilkan peta yang lebih tajam serta menyerupai wilayah otak yang sudah dikenal dibandingkan metode manual. Sistem tersebut juga berhasil mengidentifikasi area-area baru dengan tingkat detail yang lebih halus.
Peta yang dihasilkan mencakup lebih dari 9 juta sel dan diselaraskan dengan Common Coordinate Framework (CCF) milik Allen Institute—peta resolusi tinggi otak tikus yang sebelumnya dibuat secara manual. Hasilnya menunjukkan kesesuaian tinggi antara keluaran AI dan peta standar CCF, menegaskan keakuratan sistem ini.
CellTransformer juga berhasil memetakan wilayah otak yang sudah dikenal seperti hipokampus, serta area yang sebelumnya sulit dijangkau penelitian lain, seperti midbrain reticular nucleus yang berperan dalam pemrosesan sensorik, motorik, dan pengaturan tidur.
Menurut Abbasi-Asl, metode ini juga bisa diterapkan pada jaringan tubuh lain. “Metode serupa bisa digunakan pada dataset yang kini mulai muncul dari jantung, bagian tubuh lain, maupun jaringan yang dikumpulkan dari model penyakit, bukan hanya dari jaringan sehat,” tuturnya.
Tim peneliti kini berencana menguji CellTransformer pada otak manusia, yang memiliki sekitar 170 miliar sel, termasuk 86 miliar neuron. Meski ukuran dan kompleksitas otak manusia lebih tinggi, Abbasi-Asl optimistis AI ini bisa diterapkan. “Kami percaya sistem ini juga bisa bekerja pada data manusia,” katanya. “Itu merupakan langkah penting berikutnya.”

