Indonesia Siap Menghadapi Era Kecerdasan Buatan, Tapi Masih Ada Tantangan Besar
Indonesia menunjukkan potensi besar dalam menghadapi era kecerdasan buatan (AI). Dalam laporan terbaru, sebanyak 23 persen perusahaan di Indonesia sudah memiliki kesiapan yang memadai untuk mengadopsi AI. Angka ini jauh di atas rata-rata global yang hanya mencapai 13 persen. Selain itu, hampir 97 persen organisasi di Tanah Air berencana untuk mengadopsi AI dalam waktu dekat. Meskipun optimisme tinggi, ternyata ada tiga tantangan utama yang masih menghambat transformasi AI di Indonesia.
Tiga Tantangan Utama dalam Adopsi AI di Indonesia
1. Kurangnya Talent Digital
Salah satu hambatan terbesar adalah minimnya talenta digital yang memahami teknologi AI. Oliver Tuszik, EVP Global Sales dan Chief Sales Officer Cisco, menjelaskan bahwa AI merupakan teknologi yang relatif baru dan terus berkembang. Banyak orang belum memiliki pengalaman cukup untuk mengikuti perkembangan ini.
Untuk mengatasi hal ini, Cisco meluncurkan program pelatihan bernama Cisco Networking Academy. Program ini telah berjalan selama lebih dari dua dekade dan telah melatih lebih dari 500.000 orang di berbagai bidang, termasuk jaringan, keamanan, dan cloud. Pada lima tahun ke depan, program ini diharapkan mampu melatih tambahan 500.000 talenta di Indonesia, termasuk dalam bidang AI.
Oliver menekankan bahwa program ini tidak hanya ditujukan bagi mahasiswa atau profesional IT, tetapi juga guru, Aparatur Sipil Negara (ASN), hingga pelaku UMKM. Tujuannya adalah agar AI bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya kalangan tertentu.
2. Infrastruktur yang Belum Siap
Meski banyak perusahaan ingin mengadopsi AI, hanya 27 persen dari mereka yakin sistem dan jaringan mereka siap menangani beban kerja AI. Selain itu, hanya 47 persen perusahaan yang memiliki kapasitas GPU yang memadai untuk pemrosesan AI.
Oliver menyebut fenomena ini sebagai “AI Infrastructure Debt”, yang menggambarkan perusahaan dengan sistem lama yang tidak mampu menangani beban AI modern. Ia mengibaratkan situasi ini seperti gedung tinggi yang dibangun di atas pondasi yang rapuh. Jika pondasi tidak kokoh, maka bangunan akan runtuh. Ini menggambarkan perusahaan yang memiliki semangat kuat untuk digitalisasi, tetapi tidak memiliki infrastruktur yang mendukung.
Selain itu, banyak perusahaan kesulitan mengintegrasikan sistem lama dengan arsitektur baru. Hal ini dikhawatirkan akan memberatkan perusahaan kecil dan startup yang memiliki akses terbatas terhadap daya komputasi tinggi.
3. Keamanan Siber yang Masih Lemah
Sistem keamanan siber juga menjadi salah satu tantangan besar. Hanya 40 persen organisasi di Indonesia yang sudah mengintegrasikan AI ke sistem keamanan mereka. Angka ini dinilai rendah mengingat risiko keamanan yang semakin meningkat, terutama dengan adopsi AI.
AI juga membuka risiko baru seperti kebocoran data sensitif, serangan prompt injection, dan manipulasi hasil model AI. Untuk mengantisipasi hal ini, Cisco menghadirkan layanan AI Defense, yang bisa mensimulasikan serangan terhadap model AI internal perusahaan. Layanan ini membantu perusahaan memahami seberapa rentan mereka terhadap ancaman AI.
Kolaborasi untuk Membangun Infrastruktur AI yang Kuat
Untuk mempercepat adopsi AI, Cisco bekerja sama dengan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan, termasuk operator seluler. Tujuan kolaborasi ini adalah membangun infrastruktur AI yang aman dan scalable. Salah satu inovasi yang dikembangkan adalah konsep AI PODs, suatu sistem modular yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan industri dan lembaga.
Oliver menekankan bahwa AI tidak bisa dibangun sendiri. Perlu kolaborasi lintas sektor dan regulasi yang mendukung inovasi. Tanpa kolaborasi, inovasi akan terhambat dan adopsi AI akan lambat.
Optimisme untuk Transformasi AI di Indonesia
Meskipun ada tantangan, Oliver percaya bahwa transformasi besar dalam adopsi AI di Indonesia akan datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Saat ini, banyak orang di Indonesia mulai menggunakan AI, baik anak-anak maupun orang dewasa, untuk menyelesaikan masalah sehari-hari.
Dua tahun lalu, AI masih menjadi topik baru. Sekarang, anak sekolah sudah menggunakannya untuk mengerjakan PR. Dengan kondisi seperti ini, dalam dua atau tiga tahun ke depan, transformasi besar dalam adopsi AI di Indonesia akan terlihat.
Pada akhirnya, Indonesia tidak kekurangan kemauan untuk mengadopsi AI. Yang diperlukan adalah fondasi yang lebih kuat, termasuk investasi pada talenta, infrastruktur, dan keamanan. Dengan langkah-langkah tersebut, transformasi AI di Indonesia hanya tinggal menunggu waktu.

