Peran AI dalam Industri Pariwisata
Beberapa waktu belakangan, banyak orang mulai merenung setelah pihak berwenang menyatakan bahwa teknologi kecerdasan buatan (AI) memiliki potensi untuk menciptakan jutaan peluang kerja baru. Jika hal ini benar, bagaimana dampaknya terhadap salah satu sektor penting ekonomi Indonesia, yaitu industri pariwisata?
Industri pariwisata dikenal sangat bergantung pada interaksi antarmanusia, yang menjadi inti dari pengalaman layanan yang diberikan kepada pelanggan. Mulai dari sambutan hangat dan sapaan ramah saat pertama kali pelanggan tiba hingga empati yang ditunjukkan ketika menangani keluhan, semuanya menjadi pilar utama dan membedakan layanan di industri jasa ini. Terlebih, karena kompleksitas industri pariwisata yang tinggi, maka perubahan dan ketidakpastian sering kali menghantui sektor ini. Jika layanan pelanggan tidak dilakukan secara serius, maka akan sulit untuk bersaing dan bertahan.
Layanan yang diberikan kepada pelanggan bersifat intangible atau tidak terlihat, sehingga proses pelayanan harus sangat hati-hati dan presisi. Karena sangat bergantung pada interaksi yang terjadi, jika pelayanan buruk maka pengalaman pelanggan juga akan buruk. Pengalaman negatif ini sering kali sulit dilupakan dan mudah disebarkan, sehingga dapat berdampak besar bagi usaha. Banyak bisnis yang jatuh akibat review dan publikasi negatif di media sosial. Belum lagi tantangan-tantangan lain seperti krisis ekonomi, bencana alam, dan faktor daya beli yang turut memengaruhi sektor ini.
Adopsi AI dalam Pariwisata
Meskipun begitu, ternyata adopsi AI mulai masuk ke ranah pariwisata. Dengan harapan bukan untuk menggantikan manusia sepenuhnya, melainkan memperkuat peran mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, industri pariwisata sudah mulai memanfaatkan AI dalam pekerjaan repetitif seperti proses check-in, pembayaran otomatis, hingga menjawab pertanyaan pelanggan via chatbot. Contoh yang sering dibahas adalah “Connie”, asisten AI milik Hotel Hilton yang membantu tamu menemukan informasi awal tentang layanan hotel, fasilitas, dan hal menarik lainnya. Dengan demikian, staf hotel bisa lebih fokus pada pelayanan yang lebih kompleks dan membutuhkan sentuhan emosional.
Selain itu, jaringan Hotel Marriott telah memanfaatkan AI untuk merekomendasikan destinasi wisata dan hiburan lokal sesuai minat pelanggan, sehingga hubungan dengan pelanggan tetap terasa autentik dan bermakna. Penelitian dalam International Journal of Contemporary Hospitality Management oleh Law et.al (2024) menunjukkan bahwa integrasi AI justru memperkaya interaksi manusia, bukan menghilangkannya. AI kini digunakan bukan hanya untuk efisiensi, namun juga meningkatkan personalisasi layanan.
Analisis data pelanggan dapat membantu hotel menyusun program yang personal, mulai dari preferensi makanan hingga riwayat menginap pelanggan. Analisis berbasis tren dan data tersebut menjadi harta berharga bagi pelaku usaha jika dimanfaatkan dengan tepat. Penelitian lain oleh Jabeen et.al (2022) pada Journal Tourism Review bahkan merekomendasikan agar pelaku pariwisata mengadopsi AI sebagai bagian dari strategi berkelanjutan mereka.
Transformasi dan Tantangan
Transformasi ini dipercaya dapat memberi konsekuensi positif bagi tenaga kerja. Alih-alih kehilangan pekerjaan, karyawan dapat memperoleh peran baru seperti staf AI atau data analis yang tetap mengandalkan kecerdasan emosional dan keterampilan teknologi. Era baru industri pariwisata pun mulai terbentuk.
Namun, di tengah inovasi ini, masih banyak yang menganggap sentuhan manusia tetap utama. Studi dari Cornell University menunjukkan bahwa lebih dari 67% pelanggan masih memilih interaksi dengan manusia, terlebih saat menghadapi masalah dan situasi sulit. Faktor empati, intuisi, dan kemampuan memahami kondisi personal dalam pelayanan masih belum bisa sepenuhnya digantikan oleh teknologi.
Dari sudut pandang industri, adopsi AI menunjukkan hasil nyata, seperti yang disampaikan oleh Dewan Pariwisata Singapura yang mencatat peningkatan retensi staf hingga 20%, karena karyawan merasa pekerjaannya tidak lagi monoton. Namun, tantangan yang muncul adalah bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia di industri pariwisata yang lebih “melek teknologi” namun tetap bijak dalam pemanfaatannya. Apakah cukup dengan training and development saja atau perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan pariwisata, masih perlu dikaji lebih dalam.
Selain itu, penggunaan AI juga sering kali menimbulkan isu etika, privasi, dan keamanan data pengguna. Banyak pihak yang memanfaatkan AI secara sembarangan dan berlebihan. Oleh karena itu, perlu ada regulasi dan kontrol yang tepat bagi industri yang berpeluang memanfaatkannya seperti pariwisata.
Masa Depan Pariwisata
Tampaknya, di masa depan, dunia pariwisata akan segera mendefinisikan ulang model bisnisnya dan diproyeksikan akan bergerak masuk ke model hybrid, yang memungkinkan efisiensi namun tetap memiliki sentuhan pengalaman emosional. Model ini diharapkan mampu menciptakan simfoni pelayanan yang lebih indah dan bermakna.
Sejauh mana wajah pariwisata Indonesia yang terkenal cerah dan penuh senyum merekah akan bertahan sangat bergantung pada keberanian stakeholder untuk berinovasi dan berbenah, melangkah maju, serta beradaptasi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kejayaan industri pariwisata Indonesia secara global.
Apakah terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa teknologi AI akan mengubah lanskap industri pariwisata kita? Apakah masa depan yang saling melengkapi bukan saling menggantikan dapat terwujud? Bagaimana dengan aspek budaya kerja dan masyarakat kita, sudah siapkah? Mari kita renungkan dan telaah bersama.

