Peran Arsitek di Era Teknologi Kecerdasan Buatan
Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) kini semakin mengubah berbagai sektor, termasuk dunia arsitektur. Seiring dengan perkembangan ini, banyak orang mulai mempertanyakan apakah profesi arsitek juga akan tergantikan oleh mesin. Menurut laporan dari McKinsey Global Institute (MGI), hingga 375 juta pekerjaan di seluruh dunia berpotensi terdampak otomatisasi pada 2030. Prediksi ini menunjukkan bahwa AI mungkin bisa memengaruhi berbagai bidang pekerjaan, termasuk yang berkaitan dengan desain bangunan.
Kemajuan teknologi telah memungkinkan aplikasi AI untuk membuat denah rumah, memvisualisasikan fasad, hingga mengoptimalkan pencahayaan dan sirkulasi udara dalam waktu singkat. Dengan masukan ukuran lahan, kebutuhan ruang, dan preferensi gaya, AI mampu menghasilkan alternatif desain yang realistis dan meyakinkan. Proses eksplorasi desain yang dulu memakan waktu berhari-hari kini bisa diselesaikan dalam hitungan menit.
Namun, kemampuan AI tetap memiliki batasannya. AI bekerja berdasarkan data dan algoritma, bukan konteks sosial, budaya, atau preferensi unik setiap keluarga. Selain itu, AI tidak memahami aturan bangunan seperti koefisien dasar bangunan (KDB), koefisien lantai bangunan (KLB), garis sempadan bangunan (GSB), standar struktur, kondisi tanah, maupun ketentuan tata ruang daerah. Banyak desain yang terlihat menarik secara visual justru tidak layak dibangun karena mengabaikan regulasi teknis dan aspek keselamatan.
Arsitek Tidak Hanya Membuat Denah
Di tengah perkembangan AI, peran arsitek sering disalahpahami sebagai “jasa membuat denah”. Padahal, arsitek memiliki fungsi strategis yang tidak bisa digantikan oleh mesin. Mereka bertanggung jawab atas keselamatan struktural, kepatuhan terhadap regulasi, efisiensi, fungsionalitas, serta kenyamanan penghuni dalam jangka panjang. Selain itu, arsitek juga memastikan bahwa desain dapat diterjemahkan dengan benar oleh kontraktor, sesuai dengan kondisi tanah, material, anggaran, dan risiko di lapangan—hal-hal yang tidak sepenuhnya bisa diprediksi oleh AI.
Arsitektur tidak hanya tentang estetika atau tata ruang, tetapi mencakup aspek sosial, budaya, lingkungan, dan manusia. Aspek-aspek ini memerlukan penilaian manusia: pertimbangan keberlanjutan, kenyamanan, adaptasi terhadap iklim lokal, nilai estetika dan kearifan lokal, serta interaksi manusia dengan ruang. Di sini, AI tidak memiliki kapasitas untuk menggantikan intuisi, kreativitas, dan empati manusia.
AI sebagai Alat Bantu, Bukan Pengganti
Meskipun AI sangat efisien dalam tugas-tugas repetitif dan generative seperti pembuatan opsi layout, model awal, dan visualisasi, ia belum mampu menangkap dimensi multisensorial, pengalaman ruang, dan konteks manusia yang menjadi inti dari arsitektur.
Di Indonesia, organisasi profesi Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) telah menyikapi tren ini dengan melihat AI sebagai alat bantu, bukan pengganti. Ketua Umum IAI Georgius Budi Yulianto menyatakan bahwa studio arsitek akan menjadi platform. Ia menegaskan bahwa arsitek masa depan harus melek teknologi dan mampu beradaptasi, bukan melawan arus, tetapi memanfaatkannya sebagai bagian dari praktik profesional.
Kemajuan AI dalam arsitektur membuka peluang baru, seperti efisiensi, variasi desain, percepatan waktu, eksplorasi kreatif, serta kemungkinan pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Meski beberapa posisi seperti drafter atau juru gambar mungkin tergerus oleh otomatisasi, muncul profesi baru seperti arsitek digital, spesialis AI-assist, konsultan desain berkelanjutan, hingga perancang smart building.
Kolaborasi Antara Arsitek dan AI
Dengan demikian, kombinasi antara arsitek dan AI tampaknya menjadi formula terbaik. AI membantu mempercepat pra-desain, eksplorasi opsi, dan optimasi teknis, sementara arsitek membawa kreativitas, tanggung jawab, etika, dan konteks manusia. Hasilnya, desain yang cepat, tepat, estetis, aman, dan relevan dengan kebutuhan nyata manusia.
IAI saat ini sedang mempersiapkan anggotanya agar melek teknologi, karena menurut Georgius Budi Yulianto, AI tidak menggantikan arsitek, melainkan akan meninggalkan arsitek yang tidak memanfaatkannya. Topik seputar AI dan arsitektur menjadi salah satu bahasan menarik dalam berbagai diskusi dan podcast, termasuk Podcast Ruang Ratih yang menghadirkan pandangan dari para praktisi properti.

