Peran Kecerdasan Buatan dalam Perekonomian Indonesia
Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc), Rudiantara, menyampaikan bahwa keberhasilan penerapan kecerdasan buatan (AI) di Indonesia sangat bergantung pada tiga komponen utama, yaitu ketersediaan data yang berkualitas, algoritma yang mumpuni, serta infrastruktur yang memadai. Proyeksi ekonomi berbasis AI menunjukkan bahwa teknologi ini menjadi salah satu pendorong utama akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia menuju status negara berpenghasilan tinggi.
Dalam skenario Indonesia Emas 2045, PDB nasional diperkirakan mencapai US$7,4 triliun atau sekitar Rp123,21 kuadriliun, dengan PDB per kapita sebesar US$23.199 atau sekitar Rp386,26 juta. Dengan adopsi AI yang optimal, pencapaian status high-income bisa tercapai lebih cepat, yaitu pada tahun 2038, dibandingkan skenario awal yang diperkirakan pada 2046. Secara khusus, kontribusi ekonomi dari AI pada 2030 diperkirakan mencapai US$140 miliar atau sekitar Rp2.331 triliun.
Namun, Rudiantara menilai proyeksi tersebut masih berada dalam ranah teori. Menurutnya, penggunaan AI yang benar-benar efektif belum sepenuhnya terwujud. “Semua yang ada sekarang masih teori, karena use case yang nyata belum sampai segitu. Jadi itu semua hipotesis,” ujarnya.
Tiga Unsur Utama Implementasi AI
Implementasi AI membutuhkan tiga aspek utama: data yang kontinu dan berkualitas, algoritma yang handal, serta infrastruktur seperti data center berkapasitas GPU. Operator seluler dinilai memiliki keunggulan dalam hal pengumpulan data, karena mampu mengumpulkan volume data terbesar.
Data seluler dapat digunakan untuk memetakan lokasi tinggal, perilaku, hingga daya beli pelanggan tanpa perlu mengetahui informasi fisik secara langsung. Pemanfaatan data yang terintegrasi juga memperkuat kemampuan profiling perilaku pengguna. “Saya tidak perlu tahu nama Anda atau apa-apa. Tapi saya bisa melihat perilakunya,” katanya.
Risiko Etika dan Penyalahgunaan Algoritma
Meski potensi AI besar, Rudiantara mengingatkan adanya risiko etika dan penyalahgunaan algoritma. “Resiko itu adalah dia melanggar batas-batas norma etika. Karena algoritma bisa dibuat macam-macam, dan akhirnya melanggar norma atau etika,” ujarnya.
Oleh karena itu, kehadiran panduan etika AI dari Komdigi menjadi langkah penting. Di sisi lain, Rudiantara menekankan bahwa pendekatan pengembangan model AI harus realistis, terutama terkait biaya riset. Menurutnya, pendekatan open source lebih cocok bagi Indonesia dibanding pengembangan model berskala besar seperti ChatGPT.
“Open source itu selalu lebih berpotensi untuk meningkatkan skala ekonomi,” katanya. Ia juga menyebut bahwa kemampuan pendanaan Indonesia masih jauh dari perusahaan teknologi global yang mampu menggelontorkan hingga US$100 juta untuk R&D.
Fokus pada Pengembangan Model AI Sektoral
Ke depan, Rudiantara berharap Indonesia dapat memfokuskan pengembangan model AI yang bersifat sektoral dan aplikatif. Contohnya, sektor pertanian dan energi. “Untuk sektor-sektor tertentu. Pertanian, misalnya energi. Kalau model kayak ChatGPT, rasanya agak sulit,” ungkapnya.

