Peran AI dalam Dunia Film: Antara Inovasi dan Kontroversi
Dunia perfilman kini semakin menghadirkan visual yang spektakuler, seperti yang kita temui dalam film-film Marvel, Star Wars, atau semesta Harry Potter. Dengan perkembangan teknologi yang pesat, dunia terasa lebih luas, planet lebih banyak, dan monster tampak nyata. Namun, pertanyaannya adalah apakah manusia masih memegang kendali penuh di Hollywood, atau justru AI sedang diam-diam mengambil alih peran sutradara?
Seorang mahasiswi Ilmu Hukum dari Universitas Airlangga asal Malang, Vania Widyadhana Hermayani, menulis tentang fenomena ini dengan sudut pandang generasi muda yang tumbuh di era ledakan teknologi. Vania dikenal sebagai sosok yang tekun dan komunikatif, serta memiliki minat besar pada dinamika sosial dan bagaimana hukum beradaptasi dengan perubahan zaman, termasuk ketika teknologi mulai menggeser peran manusia.
AI: Mesin Turbo Baru Hollywood
Vania menjelaskan bahwa dunia perfilman modern kini menjadi konstruksi fiksi yang semakin rumit. Dulu, satu adegan penuh efek visual bisa memakan waktu berbulan-bulan dan dilakukan oleh ratusan orang. Kini, berkat penggunaan AI:
- Rendering dapat dipercepat,
- Detail kecil dapat dihasilkan secara otomatis,
- Komposisi visual lebih cepat disesuaikan,
- Konsistensi antar-ratusan adegan bisa dipertahankan.
Meski demikian, seniman VFX tidak tersingkir. Justru, AI menjadi asisten super yang menangani tugas repetitif agar kru kreatif bisa fokus pada hal-hal yang lebih kompleks. Bahkan, AI kini bisa memeriksa alur cerita dan memastikan kontinuitas tetap aman.
Hal ini sangat penting karena standar penonton telah berubah. Masyarakat kini lebih peka terhadap CGI yang “setengah matang” atau lighting yang terasa tidak alami. Ekspektasi meningkat → studio butuh efisiensi → AI menjadi senjata utama dalam proses produksi.
Di Balik Kilau Teknologi, Ada Bayang-Bayang Kontroversi
Di balik kemajuan teknologi, Hollywood tidak lepas dari badai protes. Serikat penulis dan aktor sempat melakukan perlawanan keras karena beberapa alasan:
- Wajah aktor dipindai dan berpotensi digunakan jangka panjang,
- Naskah bisa dihasilkan AI dalam hitungan menit,
- Studio dianggap lebih mengutamakan efisiensi daripada proses kreatif,
- Ketakutan bahwa pekerjaan kreatif manusia tergeser perlahan.
Beberapa penggemar bahkan menyalahkan AI atas penurunan kualitas CGI, seperti yang dialami Marvel beberapa tahun lalu. Namun, kenyataannya masalah lebih kompleks dari sekadar “salah AI”.
Kritik terbesar adalah ketakutan bahwa film akan menjadi teknis sempurna tetapi kehilangan jiwa. Mereka khawatir bahwa kreativitas manusia akan tergantikan oleh mesin.
AI Boleh Canggih, Tapi Kreativitas Tetap Milik Manusia
Vania menutup tulisannya dengan pandangan yang menyejukkan. Menurutnya, penggunaan AI di Hollywood tidak serta-merta mencabut peran manusia. Cerita, imajinasi, dan emosi tetap lahir dari pikiran kreator. Selama manusia masih memegang arah narasi, AI hanyalah alat, bukan pengganti.
Hollywood masa depan adalah simfoni baru: kreativitas manusia berjalan beriringan dengan kecanggihan mesin. Dan jika kolaborasi ini dijaga dengan etika, masa depan sinema bisa jadi lebih besar, lebih cepat, dan lebih hidup daripada sebelumnya.

