Perubahan Besar dalam Dunia Desain Akibat Teknologi AI
ChatGPT, Midjourney dan alat lainnya muncul seperti dua makhluk asing. Bagai listrik yang tiba-tiba menyala di tengah ruang kerja para desainer. Banyak yang kaget, eh? Bahkan ada yang sempat mengira ini cuma tren sementara. Tapi suara riuhnya makin besar, dan kayaknya sulit juga untuk pura-pura cuek.
Di mana-mana, orang penasaran. Apa benar dua mesin pintar ini bisa menggantikan kerja tangan manusia yang selama ini mengolah warna dan bentuk dengan hati-hati? Pertanyaannya bernada sederhana, tetapi nadanya menusuk. Dunia desain jadi seperti kamar yang mendadak diterjang angin besar.
Empat bulan terakhir, keresahan itu makin terasa. Bukan hanya di kota besar, tapi juga di kampung-kampung kreatif yang biasanya adem ayem. Banyak desainer mendadak membicarakan “cara bertahan hidup”, padahal sebelumnya obrolan mereka hanya soal gaya huruf dan palet warna cerah. Perubahan datang cepat, tanpa permisi.
Bahan Bakar yang Membuat Perubahan
Bahan bakarnya tetap sama: rasa takut kehilangan orderan. Bukan rahasia, banyak klien kini memilih mengetik instruksi pendek, menunggu beberapa detik, lalu mendapatkan gambar siap pakai. Prosesnya seperti sulap, padahal hanya kalkulasi dingin dari mesin.
Mesin dengan Kecepatan yang Tak Masuk Akal
Tugas yang dulu butuh tiga hari, eh, bisa selesai dalam satu menit saja. UMKM sampai perusahaan kecil pun langsung jatuh hati karena biaya langganannya hanya sekitar Rp48.810 per bulan, harga setara dua cangkir kopi susu di kafe. Bagi mereka, itu rejeki nomplok di masa ketat anggaran.
Mesin ini juga punya tabiat unik: ia tidak pernah capek. Mau diminta seratus desain poster, semuanya bisa muncul seperti popcorn meletup. Kalau biasanya manusia butuh jeda, mesin ini jalan terus seperti jam.
Bahan Bakar Tanpa Henti: Ide
AI tidak punya batas dalam memunculkan gaya visual, dan itu membuat banyak desainer geleng kepala. Ada yang memanfaatkannya sebagai pemantik ide, ada juga yang merasa seperti disalip kendaraan super cepat di tikungan. Hasil visualnya memang kadang berlebihan, tapi justru itu yang bikin orang penasaran.
Di beberapa studio kecil, AI sudah dipakai sebagai alat awal. Desainer cukup memasukkan beberapa arahan, lalu memilih mana yang paling enak dipoles. Waktu yang tadinya habis untuk menggambar, kini bisa dipakai untuk mengatur strategi komunikasi.
Kelemahan yang Membuatnya Tetap Mesin
Visual Cantik, Tapi Dingin
Meski tampilannya hebat, ada sesuatu yang terasa kosong. Mesin ini tidak pernah mencicipi kopi petani lokal, tidak pernah ngobrol dengan pemilik usaha, dan tidak mengerti kisah personal di balik sebuah merek. Hasil gambarnya sering rapi, tapi yah, terkadang seperti rumah tanpa penghuni.
Ada desainer yang bilang AI seperti murid teladan yang mengerjakan PR dengan sempurna, tapi tanpa tahu alasan mengapa PR itu dibuat. Betul atau tidak, rasanya memang ada titik yang sulit digantikan oleh pikiran manusia.
Tidak Paham Budaya
AI belajar dari lautan data, bukan dari pengalaman. Ia tidak tahu apa arti simbol di baju adat, atau bagaimana bentuk rumah tradisional berubah sesuai daerah. Ketika diminta membuat desain yang sangat lokal, hasilnya kadang “ngawur halus”, meski tetap kelihatan cantik bagi mata awam.
Itu sebabnya banyak desainer masih dibutuhkan untuk menyempurnakan output AI, terutama ketika proyeknya menyentuh identitas daerah atau kampanye sosial.
Peran Baru Desainer di Tengah Era Mesin
Dari Tukang Eksekusi Menjadi Sutradara
Banyak desainer kini mulai berpindah posisi. Mereka tidak lagi mengerjakan dari nol, melainkan memberi arahan detail kepada mesin lalu mengkurasi hasil yang muncul. Keahliannya berubah dari teknis menjadi strategis. Tugas utamanya adalah mengubah permintaan klien yang ruwet menjadi instruksi yang efektif.
Peran ini membuat desainer punya waktu lebih untuk memikirkan pesan yang ingin disampaikan. Bukan lagi sekadar mengejar deadline revisi bentuk atau warna.
Menjembatani Bahasa Manusia dan Bahasa Mesin
Salah satu kemampuan baru yang pelan-pelan jadi penting adalah membaca niat klien. Bukan hanya apa yang mereka katakan, tapi juga apa yang tidak mereka ucapkan. Setelah itu, desainer menerjemahkannya ke dalam kata kunci yang bisa dipahami AI.
Dalam proses itu, desainer tetap menjadi penentu arah. Mesin hanya alat. Hasil akhirnya bisa jauh lebih kuat karena digabungkan dengan pengalaman manusia dan kecepatan teknologi.

