Jumat, Desember 5, 2025
Berandaartificial intelligenceAI Menyederhanakan Kehidupan Hukum: Ketika Teknologi Bertemu Aturan

AI Menyederhanakan Kehidupan Hukum: Ketika Teknologi Bertemu Aturan

Penerapan kecerdasan buatan (artiifial intelligence/AI) saat ini meluaskan cakupannya ke beragam sektor, bahkan mencapai area yang rumit seperti dunia hukum. Salah satu perusahaan teknologi AI yang aktif dalam ranah hukum ialah Gani.AI.

Gani.AI, sebuah platform kecerdasan buatan fokus pada aspek hukum dan pemenuhan norma, diklaim hadir untuk mengatasi tantangan dalam lingkungan hukum yang semakin rumit, terutama di wilayah Asia-Pasifik dengan ragam bahasa, daerah otonomi, serta sistem perundang-ungganan yang berbeda-beda.

Pendiri Gani.AI adalah Bintang Hidayanto, seorang praktisi hukum, dan Timur Nugroho, pelaku bisnis dan teknologi. Bintang Hidayanto merupakan mitra hukum dengan peringkat Chambers, yang pernah menjadi Managing Partner GHP Law Firm. Ia juga pernah berkarier di Norton Rose Fulbright serta menjabat Deputi Staf Khusus Presiden pada era pemerintahan Joko Widodo. Sementara itu, Timur Nugroho memiliki rekam jejak panjang di perusahaan teknologi dan keuangan terkemuka seperti LinkAja, Ajaib, hingga National Australia Bank.

Melalui timnya, Gani.AI menggabungkan pengetahuan hukum, kecerdasan buatan, dan wawasan tentang pasar di kawasan Asia Tenggara. Misi pendirinya ialah untuk mendemokrasikan akses terhadap data hukum dan pajak, sambil meningkatkan kemampuan profesi hukum dengan menggunakan teknologi.

“Gani.AI bukan pengganti pengacara,” kata Bintang pada Rabu (18/6/2025). “Ia adalah pintu awal bagi siapa saja yang ingin memahami masalah hukum dan pajak tanpa takut duluan.”

Keunikan cerita Gani.AI, seperti dikatakan oleh pendirinya, terletak pada asal-usul tim penciptanya yang berasal dari Indonesia. Ini berarti bahwa Gani.AI dapat dianggap sebagai hasil kerja anak negeri, termasuk anggota tim pengembangan, ahli data sains, dan perancang grafiknya.

Gani.AI diklaim dapat menjadi solusi inovatif yang menyelesaikan kekosongan pasar sebesar lebih dari 50 miliar dolar AS. Teknologinya meliputi penalaran AI multibahasa, sehingga perusahaan ini sanggup mengolah informasi secara langsung menggunakan bahasa lokal berdasarkan konteks hukum setempat. Selain itu, ada juga intelijen kepatuhan dan regulasi yang diadaptasi untuk tiap wilayah yakni localized legal & compliance intelligence, didesain spesifik bagi setiap yurisdiksi regional dengan pertimbangan mendalam tentang aspek lintas negara.

Minimal sebagai pengetahuan dasarlah, jadi tidak perlu repot mencari informasi di Google,” ujar Bintang. “Selanjutnya, kita juga dapat menawarkan koneksi kepada para profesional [di bidang hukum].

Dengan teknologi tersebut, tak heran, sejak diluncurkan oleh pada Maret 2025 dan diperkenalkan ke panggung internasional melalui ajang SushiTech Tokyo dan SuperAI Singapore, Gani.AI dengan cepat mencuri perhatian. Dalam waktu hanya 14 minggu, platform ini disebut telah menjangkau lebih dari 1.000 pengguna lintas negara.

Perjalanan Gani.AI memang dimulai dari keresahan. Bintang, yang selama bertahun-tahun menangani klien besar dan kasus kompleks, mulai merasa ada yang janggal. Ia sering menemui orang-orang yang terjebak dalam masalah hukum sederhana hanya karena tidak tahu harus bertanya ke siapa. Dari pajak pribadi hingga kontrak kerja, begitu banyak orang terjerumus bukan karena niat jahat, melainkan karena minimnya informasi.

Dengan Timur, seorang pengusaha dari dunia teknologi, mereka menciptakan Gani.AI — sebuah platform kecerdasan buatan yang tidak hanya cerdas tetapi juga memahami kesulitan-kesulitan dalam sistim hukum yang rumit di Asia. Terlebih lagi, Asia merupakan pasar yang menantang. Mulai dari bahasa yang bervariasi, peraturan hukum yang berbeda-beda, sampai gap antara praktisi hokum dan publik tampak sangat luas.

AI dan Informasi Hukum

Bintang menggunakan contoh seorang warga desa yang penasaran tentang keharusan membayar pajak warisan dan seorang pekerja muda yang merasa kesulitan memahami kontrak kerjanya. Gani.AI dirancang untuk menjadi sarana yang dapat menyediakan jawaban dasarnya kepada mereka dalam istilah yang mudah dicerna. Apabila diperlukan dukungan tambahan, sistem ini akan mengarahkan penggunanya pada profesional hukum terdekatnya, suatu metode yang mirip dengan model marketplace.

Namun tentu, semua itu tidak mudah. Salah satu tantangan terbesar dari Gani.AI adalah membangun kepercayaan. Banyak pengacara melihat AI sebagai ancaman. Banyak pengguna mengira AI bisa memberi jawaban sempurna.

Sebenarnya,” kata Bintang, “AI bukanlah Tuhan. AI itu tak luput dari kesalahan. Namun, jika dipergunakan dengan tepat, ini dapat menjadi peranti yang amat membantu.

Pendiri Gani.AI juga menyebut, masih banyak orang yang hidup tanpa pengetahuan dasar soal hukum. Mereka tidak tahu bahwa keterlambatan bayar pajak bisa berujung denda, bahwa tanda tangan di kontrak bisa mengikat, atau bahwa sengketa warisan bisa dihindari dengan surat wasiat sederhana.

Gani.AI juga diproyeksikan bisa jadi teman kerja bagi para pengacara, konsultan, dan profesional pajak. Dengan fitur seperti riset hukum otomatis, peringkasan dokumen, dan draf awal kontrak, para praktisi hukum bisa bekerja lebih cepat dan efisien. Dengan begini, harapannya, mereka bisa melayani lebih banyak orang dan berkontribusi lebih besar pada masyarakat.

Tantangan di Balik Peluang

Tentu saja, membangun teknologi seperti Gani.AI di kawasan yang penuh tantangan bukan perkara gampang. Mengumpulkan data hukum dari berbagai negara, melatih mesin untuk memahami bahasa hukum dalam berbagai bahasa, dan menjaga akurasi jawaban AI adalah proses panjang dan melelahkan.

“Data untuk training ya, data untuk training itu agak sulit. Karena kita gak cuma Indonesia kan, kita cover banyak negara,” kata Bintang.

Namun justru di situlah letak kekuatan Gani.AI. Di tengah keragaman yang seringkali menjadi hambatan, mereka melihat peluang. Kawasan ini memiliki miliaran penduduk, banyak di antaranya belum pernah berinteraksi dengan sistem hukum secara layak. Di sanalah Gani.AI ingin hadir.

“Yang lebih susah itu sebenarnya meyakinkan user, meyakinkan teman-teman sejawat untuk percaya sama teknologi ini, dan ngelihat teknologi ini itu sebagai tools bukan sebagai saingan, karena sekarang masih didominasi mindset bahwa AI itu akan gantiin profesional,” kata Bintang.

“Sebenarnya Gani juga membantu para profesional dalam pekerjaan mereka. Sehingga mereka dapat bekerja dengan lebih efisien dan cepat,” jelasnya.

Menurut laporan yang dirilis oleh Komdigi pada tahun 2024 dan bertajuk “Percepatan Kerjasama antara Pemerintahan dan Institusi Pendidikan untuk Optimalisasi Penggunaan Kecerdasan Buatan”, Indonesia memiliki peluang signifikan di bidang ekonomi digital. Diperkirakan kontribusi sektor ini akan naik dari angka USD 90 miliar pada tahun 2024 hingga mencapai USD 135 miliar pada tahun 2027.

Data mengindikasikan pula bahwa Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan jumlah pengguna AI tertinggi secara global. Ada sekitar 1,4 miliar kali kunjungan ke platfom yang menggunakan teknologi AI tersebut.

“Implementasi AI di Indonesia berada pada dua spektrum tersebut. Pada salah satu ekstrem terdapat kelompok pengguna yang menganggap AI sebagai mitra kolaboratif. Spektrum ini melahirkan kreasi-creations baru. Kemampuan batasan pekerja manusia dikalahkan oleh kemajuan AI. Sehingga produk-produk baru dapat diciptakan,” ungkap Dr. Firman Kurniawan S., founder LITEROS.org, dalam esainya untuk Tirto.

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular