SURABAYA, Zona Gadget
– Dalam era kemajuan teknologi yang sangat cepat, orang-orang saat ini mulai mengenal metode alternatif untuk berbagi perasaan mereka, seringkali dikenal sebagai curhat.
Tidak hanya terbatas pada teman atau ahli profesi, namun juga telah merambah ke arah chatbot yang didukung oleh Teknologi Kecerdasan Buatan (AI), sepeti halnya ChatGPT. Ini karena melalui alat bantu tersebut dapat memberikan rasa nyaman meskipun mungkin tidak sepenuhnya sembuh secara emosional.
Peristiwa tersebut mengundang minat Afinnisa Rasyida MPsi, dosen di Program Pendidikan Profesi Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya).
Dia melihat bahwa ChatGPT dapat berperan sebagai alat penopang untuk merawat kesejahteraan psikis, meski demikian penting bagi kita mengenali pembatasannya dengan jelas.
“Masyarakat harus mengerti kapan dapat menggunakan ChatGPT sebagai dukungan. Seperti misalnya dalam menangani manajemen stres rendah, situasi berpikir terlalu banyak, atau saat diperlukan pembicaraan dan introspeksi diri,” jelas wanita yang kerap dipanggil Afinnisa tersebut.
“Tidak dimaksudkan sebagai pengganti bantuan profesional, terutama dalam situasi di mana masalah telah mempengaruhi fungsi individu seperti depresi parah atau ancaman bunuh diri,” tambahnya.
Tentu saja, ada yang merasa lebih nyaman mengungkapkan masalah mereka melalui kecerdasan buatan. Karena tidak perlu khawatir dijuluki, tidak memberi beban finansial, serta dapat dilakukan setiap saat tanpa batasan waktu.
Hal ini, menurutnya sangat berkaitan dengan teori Help-Seeking Behavior dalam psikologi yang menjelaskan bahwa keputusan seseorang untuk mencari bantuan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Mulai dari dalam diri sendiri, lingkungan sosial, hingga hambatan struktural seperti ketersediaan layanan dan jarak.
“Kenaikan popularitas hal ini dikarenakan para penggunanya menginginkan dukungan emosional tanpa adanya hambatan dalam hal kemudahan, biaya terjangkau, serta tidak ada dampak sosial,” jelasnya.
Di sisi lain dari kepraktisan tersebut, terdapat bahaya yang tak dapat disepelekan. Meskipun AI seperti ChatGPT sangat cekatan, ia tetap bukan seorang manusia yang mampu mengenali emosi dengan menyeluruh.
“ChatGPT kurang dapat mengenali situasi kritis kita dengan detail lantaran analisisnya bersifat general. Selain itu, ia juga tak mampu memberikan evaluasi dan tindakan yang sesuai,” jelas Afinnisa.
“Wajib diingat bahwa AI tak bisa menempati posisi intervensi klinis pada kasus yang parah,” tegas Wakil Direktur Pusat Konsultasi dan Layanan Psikologi Ubaya itu.
Meski begitu, ia tidak menutup mata bahwa kebutuhan untuk mengekspresikan emosi tetap penting dan mendesak. Untuk itu, ia menyarankan beberapa alternatif sehat yang bisa dijalankan secara mandiri.
“Ekspresi emosi bisa dilakukan dengan journaling. Journaling secara terstruktur. ”
“Untuk yang memiliki hambatan tertentu, sekarang layanan psikolog juga merambah ke layanan online, baik berbasis teks maupun layanan video call atau video conference,” tutur perempuan berkacamata itu.
“Di Indonesia sudah ada berbagai platform yang lebih fleksibel, misal adanya aplikasi layanan psikologi dan aplikasi bantuan relaksasi. Bisa juga kita bergabung dalam komunitas support group sesuai dengan kondisi permasalahan kita,” pungkasnya.

