Jumat, Desember 5, 2025
BerandaUncategorizedAI Ubah Cara Dunia Menghadapi Duka: Kontroversi Foto, Suara, dan Avatar Digital...

AI Ubah Cara Dunia Menghadapi Duka: Kontroversi Foto, Suara, dan Avatar Digital dalam Sorotan Etika dan Privasi

Teknologi AI dalam Menghadapi Kehilangan

Kecerdasan buatan (AI) kini telah melampaui batas-batas teknologi biasa dan masuk ke ranah paling personal dalam kehidupan manusia: bagaimana kita merasakan kehilangan. Dari kloning suara hingga avatar digital, teknologi ini menawarkan cara baru untuk “menghidupkan kembali” kenangan orang tercinta yang sudah tiada. Namun, hal ini juga memicu perdebatan serius mengenai etika, privasi data, dan dampaknya terhadap proses berduka.

Contoh Penggunaan AI dalam Mengenang Orang Tercinta

Salah satu contoh nyata adalah Diego Felix Dos Santos, seorang warga Edinburgh, Skotlandia. Ia tidak pernah menyangka bisa kembali mendengar suara ayahnya yang telah meninggal tahun lalu. Suaranya terdengar begitu nyata, seolah sang ayah masih ada di sisinya. Untuk menciptakan pengalaman tersebut, Dos Santos berlangganan layanan Eleven Labs, sebuah platform generator suara berbasis AI dengan biaya USD 22 per bulan atau sekitar Rp 361.000. Dengan mengunggah rekaman lama, ia dapat menciptakan pesan baru seolah ayahnya masih menelepon dan menyapanya seperti biasa.

Di Indonesia, fenomena serupa juga muncul meski dalam bentuk berbeda. Di platform media sosial X (sebelumnya Twitter), sejumlah pengguna membagikan pengalaman menggunakan AI untuk menciptakan kembali foto bersama orang terkasih yang telah tiada. Salah satunya akun @reuseane, yang mengunggah potret dirinya bersama ayah dalam dua versi: ketika muda dan ketika sudah tua. Unggahan itu menarik perhatian banyak netizen, dengan hingga Senin (15/9) ditonton lebih dari 3 juta kali. Meski menunjukkan daya tarik teknologi AI dalam konteks duka, unggahan tersebut juga memicu perdebatan panjang mengenai privasi, etika, serta potensi bahaya penggunaan AI dalam ranah personal.

Perdebatan tentang Etika dan Dampak Psikologis

Sebagian warganet khawatir teknologi ini dapat mengaburkan batas antara kenyataan dan rekayasa digital, bahkan berisiko menimbulkan ketergantungan emosional yang tidak sehat. Seorang netizen menulis, “Teknologi seharusnya tidak ikut campur dalam memori kita tentang orang yang sudah tiada. Jika terlalu jauh, teknologi justru bisa menciptakan ingatan palsu dan mengaburkan mana yang nyata dan mana yang tidak.”

Namun, ada pula yang menanggapinya dengan simpati. Bagi sebagian warganet, teknologi ini dipandang sebagai sarana berbagi duka dan mengenang kembali orang tercinta, bahkan dianggap bisa menghadirkan kembali kedekatan emosional yang sempat hilang. Seorang netizen menulis, “Saya memahami kekhawatiran itu, tapi duka adalah sesuatu yang sangat personal. Ketika kehilangan seseorang, bahkan satu foto yang diedit bisa sangat berarti—apalagi jika tidak banyak kenangan yang sempat diabadikan bersama.”

Grief Tech, Industri Duka yang Berkembang Pesat

Menurut laporan Reuters, pengalaman Dos Santos mencerminkan tren yang makin meluas: penggunaan “grief tech” atau teknologi duka. Di Amerika Serikat, startup seperti StoryFile dan HereAfter AI menawarkan layanan serupa, mulai dari rekaman video interaktif hingga avatar berbasis suara. Teknologi ini dipasarkan sebagai sarana membantu orang menghadapi, bahkan menunda, kesedihan.

Robert LoCascio, pendiri Eternos di Palo Alto, meluncurkan platform pencipta “kembaran digital” pada 2024 setelah kehilangan ayahnya. “Saya tidak ingin sejarah, kisah, dan kenangan seseorang hilang begitu saja,” katanya. Lebih dari 400 orang kini telah membuat avatar interaktif melalui layanan berlangganan mulai Rp360.000.

Risiko Etis dan Keterbatasan Teknologi

Meski menjanjikan, para pakar mengingatkan akan risiko etis dan psikologis. Alex Quinn, CEO StoryFile, menegaskan, “Tujuan teknologi ini bukan menciptakan hantu digital, melainkan menjaga memori ketika seseorang masih hidup.” Namun, ia mengakui keterbatasannya: avatar tidak bisa mengetahui kondisi cuaca atau siapa presiden yang sedang menjabat.

Isu persetujuan menjadi sorotan penting. LoCascio menekankan bahwa pihaknya tidak membuat avatar bagi orang yang tidak memberi izin. “Kami tidak akan melewati batas. Secara etis, ini tidak benar,” tegasnya. Meski demikian, sejumlah perusahaan lain masih memperbolehkan penciptaan avatar meski tanpa persetujuan langsung dari individu yang sudah meninggal.

Seruan Akademisi untuk Regulasi

Kekhawatiran tersebut juga mendapat perhatian kalangan akademisi. Pada 2024, Universitas Cambridge menerbitkan kajian yang menyerukan protokol keamanan dalam industri “digital afterlife.” Sang Peneliti fenomena ini, Katarzyna Nowaczyk-Basińska, menilai bahwa transparansi data sangat penting. “Kita tidak tahu bagaimana data orang yang sudah meninggal akan digunakan dalam dua atau sepuluh tahun ke depan,” ujarnya. Ia menyarankan persetujuan diperlakukan sebagai proses berkelanjutan seiring perkembangan AI.

Selain itu, penulis buku The Grief Cure, Cody Delistraty, mengingatkan bahwa AI bukan jalan pintas untuk menghadapi kehilangan. “Kesedihan bersifat individual. Anda tidak bisa menyaringnya melalui avatar digital dan berharap mendapat sesuatu yang benar-benar positif,” katanya.

Antara Pemulihan dan Ikatan yang Tersisa

Namun, di sisi lain, pengalaman pribadi menghadirkan sudut pandang berbeda. Bagi Dos Santos, maupun mereka yang merasa terbantu oleh teknologi ini, penggunaan AI bukanlah tentang mencari pemulihan, melainkan mempertahankan ikatan dengan orang terkasih. “Ada momen tertentu dalam hidup ketika biasanya saya akan menelepon ayah untuk meminta nasihat,” ujarnya. “Saya tahu AI tidak bisa benar-benar mengembalikannya, tetapi setidaknya bisa menghadirkan kembali momen-momen berharga yang tak mungkin saya alami lagi.”

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular