Jumat, Desember 5, 2025
BerandaUncategorizedAkal Imitasi,Cogito dan Tubuh sebagai Kesadaran

Akal Imitasi,Cogito dan Tubuh sebagai Kesadaran

Oleh: Syahrul, S.Pd.,M.Pd

Dosen Bisnis Digital, FEB, UNM

ZONAGADGET – Akhir-akhir ini, artificial Intelligence (AI) sedang “buming” dibicarakan.

Hampir semua lembaga dan institusi membawa tema ini dalam ruang seminar dan workshop. AI menjadi satu tema yang seperti “wajib” dipelajari dan dibicarakan hingga diaplikasikan.

AI sebagai tools yang lahir dari mesin-mesin komputasi, menjadi bagian paling membantu aktivitas hidup manusia.

Artificial Intelligence (AI) yang disebut juga “akal imitasi”  merupakan “bayi” yang lahir dari disiplin ilmu komputer.

AI semacam bentuk paling mutakhir teknologi dalam melakukan tugas-tugas yang membutuhkan kemampuan berpikir.

Dia mesin, tapi dia bisa (seolah-olah) berpikir dalam pengambilan keputusan atau kesimpulan berbasis data.

Budi Hartanto dalam bukunya Dunia Pasca Manusia juga menyebut AI sudah hampir mirip dengan perilaku manusia itu sendiri.

Apakah betul Artificial Intelligence atau akal imitasi sudah bisa berpikir mandiri? Mungkin, hari ini kita bisa menjawab iya.

AI telah mempunyai kemampuan untuk berpikir dan merespon semua pertanyaan yang diberikan kepadanya.

Realitas AI hari ini malah sepuluh kali lipat dengan kemampuan berpikir manusia.

Jika mau diibaratkan, pikiran manusia telah berhasil dipindahkan keluar dari tempurung kepalanya.

AI bergeser dari sebuah sekedar alat menjadi makhluk baru yang mulai mencatat sejarah sejarah manusia atau Sapiens.

Cogito

Ada dua hal menarik yang menjadi kajian para filsuf dalam sejarah filsafat yakni pikiran dan realitas.

Sejak Platon hingga Descartes ataupun filsuf kontemporer, para filsuf sibuk tenggelam dalam diskursus pikiran-pikiran ataupun realitas yang melingkupinya.

Dalam Inovatif Jurnal of Social Science Research yang membahas Rene Descartes, cogito mempengaruhi hampir semua ranah pemikiran dan filsafat.

Ungkapan paling terkenal cogito Ergo Sum dan dualisme jiwa menjadikan Descartes sebagai filsuf yang meneguhkan filsafat modern dan cikal bakal positivisme. Cogito menjadi subjek satu-satunya dalam melihat kebenaran.

Namun, hari ini, cogito menjadi wujud baru dalam bentuk kecerdasan buatan atau Akal Imitasi. Kehadiran AI memaksa kita untuk mengajukan kembali pertanyaan fundamental: apa itu pikiran?

Apakah ia mensyaratkan kesadaran, subjektivitas, dan pengalaman kualitatif? Ataukah pikiran hanyalah soal pemrosesan informasi, sebuah algoritma kompleks yang dapat direplikasi dalam substrat silikon?

Perdebatan ini, yang dikenal sebagai the hard problem of consciousness, menunjukkan betapa rapuhnya pemahaman kita tentang pikiran, yang selama ini kita anggap sebagai esensi kemanusiaan kita.

Tubuh sebagai kesadaran

Apakah tubuh hanya sekedar daging yang membungkus jiwa? Adalah seorang Don Ihde yang menolak hal tersebut.

Filsuf sains dan teknologi asal Amerika tersebut punya pandangan yang beragama tentang relasi manusia, teknologi, dunia.

Don Ihde dengan cepat menggaris bawahi bahwa manusia, dalam hal ini, tubuh lebih punya keutamaan dalam mewujudkan kesadaran.

Pikiran bukanlah satu-satunya sumber kecerdasan. Don Ihde menegaskan hal tersebut dalam bukunya Bodies in Technology bahwa lewat metode fenomenologi, pikiran telah keluar dari tempatnya yang internalistik dan menubuh dengan dunia.

Kecerdasan telah bersifat eksternal dan material. Dengan demikian, tubuh dalam hal teknis dan praksis yang menjadi satu model kecerdasan baru.

Kemampuan tubuh memperoleh kesadaran pernah diteliti oleh Hubert L Dreyfus.

Dalam jurnalnya A phenomenology of skill Acquisition as the Basis for a Merleau-Pontian Nonrepresentationalist, Dreyfus menyebut ada lima fase manusia memperoleh kecerdasan–keahlian.

Yang pertama merupakan fase novice atau pemula. Tahap ini manusia mengikuti intsruksi atau perintah. Kedua adalah fase advanced bagi pemula.

Disini manusia menjadikan pengalaman dan instruksi sebagai acuan.

Ketiga merupakan fase kompeten yakni sebuah keahlian dikuasai lewat pengalaman yang berulang.

Keempat adalah fase proficient dimana seseorang dengan begitu cermat menguasai dan menyelesaikan sebuah persoalan. Dan yang kelima adalah fase expertise.

Tahap ini, seseorang telah sampai pada tahap intuitif dan nonkonseptual. Pada tahap terakhir pemerolehan kecerdasan hingga sampai pada seseorang dikatakan expert, memerlukan pengalaman.

Pada tahap ini, manusia dianggap sudah mampu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan sebab pengalaman menjadi model pemerolehan kesadaran yang mungkin tak dimiliki makhluk lain.

Pengalaman yang sering juga disebut tahap intuitif menjadikan yang program, instruksi, ataupun yang serba rasional seperti dalam akal imitasi, tak lagi relevan. Wallahu a’lam bishawab!

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular