Kehadiran AI dalam Dunia Pendidikan: Tantangan dan Peluang
Sejak ChatGPT muncul dan menjadi sorotan di panggung global pada akhir tahun 2022, kehadiran teknologi kecerdasan buatan (AI) mulai mengubah dinamika di berbagai kampus. Bayang-bayang yang tidak terlihat ini hadir dalam berbagai bentuk, memicu campuran antara rasa penasaran, kegembiraan, ketakutan, dan kebingungan. Di ruang dosen, mahasiswa, hingga rapat-rapat pimpinan universitas, AI menjadi topik yang tak bisa diabaikan.
Sebagai seorang dosen yang fokus pada teknologi pendidikan, saya melihat respons terhadap AI tidaklah sederhana. Banyak kampus di Indonesia menunjukkan situasi yang kompleks dan bervariasi. Alih-alih terbagi menjadi dua kubu—pemuja teknologi atau anti-teknologi—situasi ini lebih seperti sebuah lanskap negosiasi yang penuh dengan perbedaan pandangan dan cara berpikir.
Imajinasi Terfragmentasi di Ruang Dosen
Di ruang makan siang dosen, diskusi tentang AI seringkali terjadi. Ada kolega yang menyambut AI dengan tangan terbuka, melihatnya sebagai alat yang bisa meningkatkan efisiensi dalam pekerjaan sehari-hari. Mereka percaya bahwa AI dapat membantu dalam analisis data, membuat prototipe kode, serta mengurangi beban administratif.
Di sisi lain, ada dosen yang merasa khawatir. Bagi mereka, AI adalah ancaman terhadap proses belajar dan pemikiran kritis. Mereka khawatir jika mahasiswa terlalu bergantung pada mesin, maka keahlian dalam merangkai kata dan memahami konsep akan hilang.
Dosen-dosen muda cenderung pragmatis. Mereka menggunakan AI untuk meringkas jurnal, menerjemahkan dokumen, atau menyusun email. Namun, mereka juga sadar bahwa penggunaan AI memiliki risiko. Sementara itu, banyak dosen yang masih bingung, tidak yakin bagaimana seharusnya menghadapi perubahan ini.
Fragmentasi ini bukan hanya soal akses teknologi, tetapi juga tentang epistemologi—cara kita memahami pengetahuan, belajar, dan peran kita sebagai pendidik.
Ujian yang Sesungguhnya
Awalnya, fokus utama di dunia pendidikan adalah pada mahasiswa. Ada kekhawatiran bahwa AI akan menyebabkan kecurangan dan plagiat. Banyak institusi mencoba memperketat aturan ujian dan menggunakan perangkat lunak deteksi konten AI. Namun, saya percaya bahwa fokus ini salah.
Yang sebenarnya diuji adalah para dosen dan institusi pendidikan. Pertama, kita diuji secara etis dan profesional. Apakah kita harus menggunakan AI untuk mempermudah tugas? Jika ya, apakah hal ini mengorbankan keahlian kita sendiri?
Kedua, kita diuji secara pedagogis. Jika mata kuliah kita bisa diselesaikan oleh AI, maka pertanyaannya adalah: siapa yang gagal? Mahasiswa atau kita sendiri yang merancang mata kuliah yang terlalu mekanistis?
Yang Tersisa: Hal-Hal yang Tidak Bisa Di-Algoritma-kan
Jika AI bisa melakukan tugas teknis, maka yang tersisa adalah hal-hal yang tidak bisa di-algoritma-kan. Ini termasuk proses belajar, konteks, komunitas, dan makna.
AI bisa memberikan jawaban instan, tetapi ia tidak bisa menggantikan pergulatan batin dan momen “Aha!” yang dialami mahasiswa saat memahami konsep sulit. Ia juga tidak bisa menggantikan konteks nyata, seperti bagaimana menerapkan teori dalam kehidupan nyata.
Selain itu, AI tidak bisa menggantikan pengalaman komunal di sekolah. Di sinilah mahasiswa belajar berdebat, berkolaborasi, dan merasakan arti manusia dalam lingkungan sosial.
Dan yang terpenting, AI tidak bisa memberi kebijaksanaan atau menjawab pertanyaan “mengapa”. Ia tidak punya nalar etis atau integritas.
Harapan di Tengah Kegalauan
Saya masih optimis. AI bukan algojo yang datang untuk menggantikan profesi kita. Ia adalah undangan untuk berefleksi dan menjadi pendidik yang lebih baik. Ia memaksa kita untuk kembali menjadi pemahat jiwa, bukan hanya mesin fotokopi informasi.
Ujian ini bukan tentang seberapa canggih teknologi kita, tetapi tentang seberapa dalam kemanusiaan kita. Dan saya percaya, kita bisa menang dalam ujian ini.

