Apple kembali mencatat sejarah dengan peluncuran seri iPhone 17 pada September 2025. Seri ini menghadirkan beberapa varian, termasuk iPhone 17 standar, iPhone 17 Pro, iPhone 17 Pro Max, dan yang paling menarik perhatian: iPhone Air. Model ini digadang-gadang sebagai inovasi baru dengan desain ultra-tipis, bobot ringan, dan teknologi layar mutakhir. Namun, di balik pesona desainnya, iPhone Air justru mencatat rekor yang kurang menyenangkan: harga jual kembali (resale value) paling anjlok dibandingkan saudara-saudaranya dalam keluarga iPhone 17.
Penurunan Harga yang Drastis
Menurut laporan situs pembanding harga SellCell, iPhone Air bekas mengalami depresiasi 40–47% hanya dalam 10 pekan setelah peluncuran. Angka ini jauh lebih dalam dibandingkan rata-rata penurunan harga seri iPhone 17 yang berada di kisaran 34,6%. Sebagai perbandingan:
iPhone 17 standar: Penurunan sekitar 30–33% dalam periode yang sama.
iPhone 17 Pro dan Pro Max: Penurunan lebih moderat, berkisar 28–32%.
iPhone Air: Penurunan paling tajam, hingga hampir setengah dari harga awal.
Depresiasi ini menjadi sorotan karena biasanya iPhone dikenal memiliki nilai jual kembali yang relatif stabil dibandingkan smartphone lain.
Faktor Penyebab Penurunan Harga iPhone Air
Mengapa iPhone Air mengalami penurunan harga paling dalam? Ada beberapa faktor yang memengaruhi:
Desain ultra-tipis: Meski terlihat elegan, desain tipis membuat konsumen ragu terhadap ketahanan perangkat. Banyak yang khawatir iPhone Air lebih rentan terhadap kerusakan fisik.
Biaya perbaikan tinggi: Komponen yang lebih ringkas dan eksklusif membuat biaya perbaikan iPhone Air lebih mahal dibandingkan model lain. Hal ini menurunkan minat pembeli di pasar seken.
Penjualan lesu: Permintaan iPhone Air tidak setinggi ekspektasi Apple. Konsumen lebih memilih model Pro yang dianggap lebih tangguh dan memiliki fitur lengkap.
Persepsi pasar: iPhone Air dipandang sebagai eksperimen desain, bukan sebagai model utama. Hal ini membuat konsumen lebih berhati-hati dalam membeli, terutama di pasar bekas.
Dampak bagi Konsumen dan Pasar Seken
Penurunan harga iPhone Air membawa dampak signifikan bagi konsumen dan pasar smartphone bekas:
Konsumen awal dirugikan: Mereka yang membeli iPhone Air saat rilis dengan harga tinggi kini menghadapi kerugian besar jika ingin menjual kembali.
Peluang bagi pembeli seken: Di sisi lain, konsumen yang mencari iPhone Air bekas bisa mendapatkan harga jauh lebih murah dibandingkan harga resmi.
Pasar seken lebih dinamis: Penurunan drastis ini membuat pasar iPhone bekas semakin kompetitif, dengan iPhone Air menjadi opsi terjangkau bagi mereka yang ingin mencoba desain tipis Apple.
Perbandingan Harga Resmi dan Harga Seken
Untuk memberikan gambaran lebih jelas, berikut perbandingan harga resmi saat peluncuran dan harga seken setelah 10 pekan:
| Model iPhone 17 | Harga Resmi (256 GB) | Harga Seken (10 pekan) | Depresiasi |
|———————–|———————-|————————|————|
| iPhone 17 | Rp17.249.000 | ±Rp11.800.000 | ~31% |
| iPhone 17 Pro | Rp21.999.000 | ±Rp15.500.000 | ~29% |
| iPhone 17 Pro Max | Rp25.999.000 | ±Rp18.200.000 | ~30% |
| iPhone Air | Rp21.499.000 | ±Rp11.500.000 | ~46% |
Tabel ini menunjukkan betapa dalamnya penurunan harga iPhone Air dibandingkan model lain.
Analisis Tren Depresiasi iPhone
Secara historis, iPhone memang mengalami penurunan harga setelah beberapa bulan rilis. Namun, biasanya penurunan berada di kisaran 20–30% dalam 3 bulan pertama. Kasus iPhone Air menjadi unik karena depresiasi mencapai hampir 50% dalam waktu singkat. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah Apple akan melanjutkan lini iPhone Air di masa depan, atau menjadikannya eksperimen sekali rilis?
iPhone Air dari keluarga iPhone 17 mencatat penurunan harga seken paling tajam, mencapai 40–47% hanya dalam 10 pekan setelah peluncuran. Faktor utama penyebabnya adalah desain ultra-tipis yang menimbulkan keraguan konsumen, biaya perbaikan tinggi, serta penjualan yang tidak sesuai ekspektasi. Bagi konsumen, fenomena ini bisa menjadi kerugian besar bagi pembeli awal, tetapi sekaligus peluang bagi pembeli seken yang ingin mencoba iPhone Air dengan harga lebih terjangkau. Kasus iPhone Air menjadi pelajaran penting bahwa inovasi desain tidak selalu berbanding lurus dengan keberhasilan pasar. Apple mungkin perlu meninjau ulang strategi produk tipis ini agar tidak mengulang depresiasi ekstrem di masa depan.
Kemitraan Strategis Hypernet Technologies dan Fortinet dalam Meningkatkan Keamanan Siber
Di tengah tantangan keamanan siber yang semakin kompleks, Hypernet Technologies dan Fortinet resmi menjalin kemitraan strategis untuk menyediakan layanan SOC (Security Operation Center) as a Service di Indonesia. Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara kedua perusahaan ini menjadi langkah penting dalam memperkuat perlindungan digital bagi perusahaan di seluruh Indonesia.
Kemitraan ini bertujuan memberikan solusi keamanan siber yang menyeluruh, terukur, dan terjangkau bagi perusahaan menengah hingga besar. Dengan mengintegrasikan teknologi mutakhir Fortinet dan keahlian lokal Hypernet Technologies, kedua pihak berkomitmen menciptakan ekosistem bisnis yang lebih aman, adaptif, dan tangguh di era digital.
Edwin Lim, Country Director Fortinet Indonesia, menyampaikan bahwa pihaknya sangat antusias dapat bermitra dengan Hypernet Technologies dalam menghadirkan solusi keamanan siber yang inovatif dan relevan bagi pasar Indonesia. Ia menilai kombinasi antara pengalaman global Fortinet dan pemahaman lokal Hypernet Technologies memungkinkan pihaknya memberikan layanan yang tepat sasaran sesuai kebutuhan bisnis di Indonesia.
Fokus Jangka Panjang: SOC as a Service
Layanan SOC as a Service yang dikembangkan akan memanfaatkan teknologi unggulan Fortinet, antara lain:
FortiAnalyzer – Analisis log dan pelaporan mendalam
FortiSIEM – Manajemen informasi dan peristiwa keamanan yang terintegrasi
FortiRecon – Pemantauan dan pengelolaan risiko aset digital
FortiGate – Next Gen Firewall untuk perlindungan menyeluruh
FortiWeb – Keamanan aplikasi web dari serangan berbasis web
FortiMail – Perlindungan email dari phishing dan malware
FortiClient – Keamanan endpoint yang terintegrasi
Sudino Oei, CTO Hypernet Technologies, menjelaskan bahwa kolaborasi ini merupakan langkah strategis bagi Hypernet Technologies dalam meningkatkan kualitas layanan dan memperluas portofolio solusi teknologi. Ia menyatakan bahwa dengan dukungan teknologi Fortinet, pihaknya siap memberikan layanan keamanan siber yang lebih optimal dan efisien bagi para klien.
Membangun Ekosistem Keamanan Siber yang Inklusif
Di tengah meningkatnya ancaman digital, kolaborasi ini menjadi sinyal positif bagi penguatan ekosistem keamanan siber nasional. Hypernet Technologies dan Fortinet berkomitmen menjadi pelopor transformasi digital yang aman, inklusif, dan berkelanjutan.
Layanan SOC as a Service yang ditawarkan mencakup pengawasan 24/7, analisis ancaman secara real-time, serta rekomendasi remediasi yang cepat dan efektif. Dengan demikian, perusahaan bisa tetap fokus pada bisnis inti tanpa terganggu risiko keamanan siber.
Untuk memastikan kualitas operasional, Hypernet Technologies menunjuk Defend IT360 sebagai strategic partner, yang memiliki tim tersertifikasi dan berpengalaman dalam implementasi layanan SOC as a Service.
Mendukung Visi Keamanan Digital Indonesia
Inisiatif ini selaras dengan visi nasional dalam membangun lingkungan bisnis yang aman dan terpercaya. Dengan memperluas akses terhadap solusi keamanan siber yang inovatif, Hypernet Technologies dan Fortinet optimistis dapat memberi kontribusi nyata dalam memperkuat daya saing perusahaan Indonesia sebagai pilar penting ekonomi digital. Kolaborasi ini tidak hanya meningkatkan keamanan siber, tetapi juga membuka peluang baru bagi pertumbuhan dan inovasi di sektor teknologi di Indonesia.
Live TikTok semakin menjadi bagian penting dari kehidupan digital, baik sebagai media jualan maupun sekadar berinteraksi dengan pengikut. Namun, tidak semua ponsel murah mampu bertahan lama saat streaming. Beberapa perangkat sering mengalami masalah seperti baterai cepat habis, kamera goyang, atau performa menurun di tengah siaran. Berikut ini beberapa rekomendasi HP yang bisa diandalkan untuk live TikTok, lengkap dengan penjelasan karakter setiap perangkat.
1. Oppo A5x
Di kelas dua jutaan, Oppo A5x menjadi salah satu pilihan terbaik untuk pengguna yang ingin melakukan live TikTok. Fokus utamanya pada kamera depan yang mampu menangkap detail wajah dengan cukup baik, terutama dalam kondisi pencahayaan indoor. Hal ini sangat penting bagi penjual yang sering live di studio kecil atau ruangan kamar. Performa perangkatnya halus untuk kebutuhan streaming satu hingga dua jam. Dukungan baterai besar juga membuat pengguna tidak perlu terpaku di dekat colokan. Harga sekitar Rp 2,2 jutaan masih tergolong aman untuk pengguna pemula yang ingin mulai rutin live.
2. Infinix Hot 60 Pro
Infinix Hot 60 Pro adalah pilihan yang matang untuk aktivitas live TikTok. Chipset-nya cukup kuat menjaga stabilitas aplikasi TikTok ketika digunakan untuk streaming sambil membuka fitur-fitur lain seperti komentar, notifikasi toko, atau fitur keranjang kuning. Kelebihan lainnya ada pada manajemen suhu. Meski harganya hanya sekitar Rp 2,3 jutaan, perangkat ini tetap adem meski digunakan live cukup lama. Cocok untuk seller yang terbiasa live nonstop.
3. Poco C71
Poco C71 menjadi opsi aman bagi pengguna yang mencari HP murah dan tidak membutuhkan banyak fitur tambahan. Performanya tidak terlalu agresif, tapi TikTok live dapat berjalan stabil selama jaringan mendukung. Kamera depan tidak begitu “cinematic”, namun cukup terang dan bisa menghasilkan wajah yang bersih tanpa noise berlebihan. Harga sekitar Rp 2,1 jutaan cocok untuk pemula yang hanya ingin HP murah namun tidak lemot saat live.
4. Vivo Y19s Pro
Vivo Y19s Pro menawarkan opsi lain yang lebih terjangkau, yaitu Y19s Pro yang bermain di angka Rp 1,5 jutaan. Keunggulannya justru ada di memori: RAM dan penyimpanan cukup lega untuk aplikasi berat sekalipun. Selama live, transisi antarfungsi TikTok terasa ringan, termasuk saat membuka fitur filter, efek wajah, atau fitur toko. Buat yang ingin HP murah tapi tidak mau memori cepat penuh, perangkat ini terasa paling aman.
5. Tecno Spark 30 Pro
Tecno Spark 30 Pro tampil dengan ukuran layar luas yang membuat tampilan live lebih lega, terutama saat kamu butuh membaca komentar sambil tetap melihat preview wajah sendiri. Performa chipset-nya berada di level menengah, cukup stabil untuk live satu jam lebih tanpa tersendat. Harga sekitar Rp 2 jutaan membuatnya masuk kategori “nyaman dibeli tanpa mikir panjang”.
6. Samsung Galaxy A07
Samsung Galaxy A07 menjadi pilihan menarik bagi pengguna yang butuh rasa aman dari sisi keawetan dan servis. Meski harganya hanya Rp 1,7 jutaan, Samsung tetap memberikan pengalaman yang stabil untuk penggunaan streaming. Kamera depan cukup jernih, manajemen baterai rapi, dan antarmuka mudah digunakan pemula. Perangkat ini cocok untuk pengguna yang ingin live tanpa ribet dan butuh HP yang tinggal pakai.
7. Poco C61 4G
Poco C61 hadir dengan karakter yang mirip Poco C71, namun berada di segmen sedikit lebih terjangkau. Cocok untuk live kasual, bukan untuk streaming berat berjam-jam. Namun untuk harga sekitar Rp 2,3 jutaan, perangkat ini sudah cukup memadai untuk menyiarkan obrolan ringan, jualan kecil, atau review produk.
Kesenjangan Data dan Tantangan Pengembangan AI di Afrika
Pengembangan kecerdasan buatan (AI) di Afrika menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah variasi bahasa yang sangat besar. Dengan sekitar 1.500 hingga 3.000 bahasa yang digunakan di benua ini, pengembangan model bahasa besar (Large Language Model/LLM) seperti ChatGPT atau Gemini menjadi sangat terbatas. Masalah utamanya adalah ketersediaan data tekstual dalam jumlah besar yang diperlukan untuk melatih model tersebut.
Dibandingkan dengan bahasa Inggris yang memiliki lebih dari 7 juta artikel di Wikipedia, bahasa Tigrinya—yang dituturkan oleh sekitar 9 juta orang di Ethiopia dan Eritrea—hanya memiliki 335 artikel. Bahkan, untuk bahasa Akan yang banyak digunakan di Ghana, tidak ada satu pun artikel Wikipedia. Hal ini menunjukkan kesenjangan data yang sangat besar antara bahasa-bahasa Afrika dan bahasa dominan lainnya.
Vukosi Marivate, profesor ilmu komputer di Universitas Pretoria, menjelaskan bahwa hanya 42 dari 1.500-3.000 bahasa Afrika yang memiliki model bahasa yang tersedia. Dari 23 aksara dan alfabet Afrika, hanya tiga yang tersedia, yaitu Latin, Arab, dan Ge’Ez. Ini membuat pengembangan AI di Afrika semakin sulit, karena kurangnya representasi bahasa lokal dalam sistem teknologi modern.
Risiko Marjinalisasi Bahasa
Chinasa T Okolo, pendiri Technecultura, menyatakan bahwa masalah ini tidak hanya terkait teknologi, tetapi juga finansial. Meskipun jumlah penutur bahasa Swahili lebih besar daripada penutur bahasa Finlandia, Finlandia dianggap sebagai pasar yang lebih baik bagi perusahaan seperti Apple dan Google. Hal ini menunjukkan bahwa investasi dalam pengembangan AI sering kali lebih fokus pada bahasa yang memiliki potensi ekonomi lebih tinggi.
Okolo memperingatkan bahwa jika kesenjangan data ini tidak segera diatasi, masyarakat yang tidak berbicara bahasa yang didukung oleh model AI akan terus terpinggirkan. “Kita akan terus melihat orang-orang terpinggirkan dari kesempatan,” ujarnya. Dengan demikian, upaya pengembangan AI di Afrika harus mencakup semua bahasa, termasuk yang memiliki jumlah penutur kecil.
Upaya Mengembangkan Bahasa di AI Afrika
Untuk menghindari marjinalisasi, Okolo menekankan pentingnya membayangkan kembali cara pengembangan model AI. Salah satu proyek yang sedang berjalan adalah African Next Voices, yang dipimpin oleh Vukosi Marivate. Proyek ini fokus pada perekaman suara untuk 18 bahasa di Afrika Selatan, Kenya, dan Nigeria.
Selama dua tahun, tim berhasil mengumpulkan total 9.000 jam rekaman dari berbagai usia dan lokasi. Data ini akan digunakan oleh pengembang AI di seluruh benua untuk melatih model mereka. Dalam proses pengumpulan data, peneliti kadang memberikan naskah kepada penutur asli untuk dibaca, atau memberikan petunjuk dan merekam tanggapan lisan yang kemudian ditranskripsikan.
Salah satu tantangan unik adalah bahasa Isindebele, yang sulit ditemukan sumber tertulisnya. Akhirnya, para pengembang menggunakan buku panduan pemerintah untuk penggembala kambing guna membantu penyusunan petunjuk lisan.
Fokus pada Topik Spesifik
Meski African Next Voices belum cukup untuk melatih LLM raksasa seperti ChatGPT, fokus utama mereka adalah pada topik-topik spesifik seperti kesehatan dan pertanian. Nyalleng Moorosi, peneliti di Distributed AI Research Institute (DAIR), menjelaskan bahwa penggunaan data kecil dan terfokus dapat menghasilkan model yang akurat dalam lingkup terbatas.
Namun, kesalahan dalam model yang membahas topik sensitif seperti perbankan atau perawatan kesehatan bisa memiliki konsekuensi serius. Moorosi menekankan pentingnya pemahaman budaya dalam pengembangan AI. Kata-kata dan simbol memiliki arti kontekstual yang berbeda di berbagai budaya, dan tanpa pemahaman ini, sistem AI tidak dapat membuat penilaian yang sesuai.
Tantangan Tata Bahasa dan Infrastruktur
Selain kesenjangan data, kurangnya kodifikasi tata bahasa juga menjadi hambatan. Dalam bahasa Kinyarwanda, misalnya, terdapat tiga cara umum untuk mengeja nama negara tersebut. Tanpa aturan ejaan yang jelas, bahkan pemrosesan teks dasar menjadi sulit.
Selain itu, infrastruktur data juga masih terbatas. Uni Afrika pada 2024 menyatakan bahwa hanya 10 persen dari permintaan pusat data di benua ini yang terpenuhi. Marivate khawatir bahwa jika model tidak dibuat untuk bahasa-bahasa yang lebih kecil, bahasa-bahasa tersebut akan lenyap. Ia menambahkan bahwa model harus diubah untuk bahasa yang bahkan mungkin tidak memiliki sistem penulisan.
Proyek African Next Voices telah menyelesaikan pengumpulan dan transkripsi datanya. Meski saat ini belum mengerjakan bahasa pemrograman baru, Marivate mengungkapkan bahwa tim sudah memikirkan langkah-langkah berikutnya.
Realme C85 Pro: Keunggulan dan Kekurangan yang Perlu Diketahui
Realme C85 Pro menjadi salah satu perangkat yang menarik perhatian di akhir tahun 2025. Dengan baterai besar dan ketahanan ekstrem, ponsel ini cocok untuk pengguna yang sering beraktivitas di luar ruangan. Namun, meskipun memiliki beberapa keunggulan, terdapat beberapa kekurangan yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan membeli.
Performa yang Tidak Maksimal
Salah satu kelemahan utama Realme C85 Pro adalah penggunaan chipset Snapdragon 685. Chipset ini mulai ketinggalan dibandingkan dengan varian terbaru dari pesaingnya. Pengguna game seperti Mobile Legends mungkin harus mengurangi pengaturan grafis agar permainan tetap stabil. Selain itu, multitasking berat juga membuat perangkat cepat merasa kewalahan meskipun tersedia opsi ekspansi RAM dinamis. Dengan harga hampir tiga juta rupiah, performa yang ditawarkan dirasa kurang sebanding dengan beberapa model lain di pasaran.
Sektor Audio dan Layar yang Kurang Memadai
Realme C85 Pro hanya dilengkapi speaker mono, sehingga pengalaman menonton video atau game kurang imersif. Ketiadaan jack audio juga memaksa pengguna untuk menggunakan earphone Bluetooth. Meskipun layarnya cerah, resolusinya dianggap turun dibandingkan beberapa model Realme sebelumnya. Jika Anda termasuk pengguna yang senang menonton konten multimedia, maka bagian ini bisa terasa kurang maksimal dalam penggunaan harian.
Kamera yang Terbatas
Meski Realme C85 Pro memiliki kamera utama 50MP, perangkat ini tidak dilengkapi lensa ultrawide. Hal ini membuat pemotretan lanskap atau foto kelompok kurang leluasa. Rekaman videonya hanya mencapai resolusi 1080p dengan kecepatan 30 fps tanpa dukungan mode 4K. Keterbatasan ini cukup terasa bagi pengguna yang hobi fotografi kasual atau konten harian.
Minim Fitur Modern dan Kurang Future-Proof
Realme C85 Pro belum mendukung jaringan 5G, yang membuatnya kurang relevan untuk kebutuhan jangka panjang. Perangkat ini juga tidak memiliki sensor gyroscope yang penting untuk kontrol game lebih presisi. Selain itu, ketiadaan radio, jack audio, serta slot hybrid membuat fleksibilitas penggunaan semakin terbatas. Di kelas harga ini, beberapa pesaing seperti iQOO Z10R 5G menawarkan fitur yang lebih lengkap dan modern.
Kesimpulan
Meskipun Realme C85 Pro unggul dalam hal ketahanan baterai dan kenyamanan penggunaan di luar ruangan, empat kekurangan utamanya membuat perangkat ini kurang cocok bagi pengguna yang mengutamakan performa atau kebutuhan multimedia. Pertimbangkan kebutuhan harian Anda sebelum membeli, karena ada beberapa opsi pesaing yang menawarkan fitur lebih lengkap.
Strategi Besar AS dalam Kecerdasan Buatan dan Dampaknya terhadap Indonesia
Washington sedang menyusun rencana besar yang dikenal sebagai Genesis Mission. Inisiatif ini merupakan strategi ambisius Amerika Serikat untuk menguasai kecerdasan buatan (AI), komputer supercanggih, dan data nasional sebagai senjata ekonomi dan militer di abad ke-21. Ini bukan sekadar program teknologi biasa, melainkan tentang siapa yang akan menguasai dunia di era digital.
Bayangkan AI bukan lagi fitur di ponsel Anda. Pikirkan AI sebagai mesin penggerak utama dalam industri manufaktur, sistem pertahanan negara, dan cara kita hidup sehari-hari. Itu yang ingin AS capai. Mereka ingin menguasai chip semikonduktor, energi baru, bioteknologi, komputer kuantum, dan industri manufaktur canggih. Mereka juga ingin menarik para ilmuwan dan engineer terbaik dari seluruh dunia ke ekosistem riset mereka. Selain itu, mereka ingin menulis aturan main global tentang bagaimana AI boleh digunakan, diatur, dan dievaluasi dari segi etika.
Pertanyaannya untuk Indonesia sederhana, tetapi menggugah: Apakah kita mau jadi pemain utama, atau sekadar pasar pembeli?
Risiko Jika Indonesia Hanya Menjadi Pasar Konsumen Teknologi
Jika Indonesia hanya menjadi penonton, maka kesenjangan teknologi dengan negara maju bisa melebar dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bukan dalam puluhan tahun, tapi mungkin hanya beberapa tahun saja.
Pertama, menjadi pasar konsumen teknologi AI impor. Perusahaan teknologi global datang membawa solusi AI siap pakai, mulai dari platform kesehatan, sistem pabrik pintar, sistem perbankan, hingga sistem logistik berbasis AI. Indonesia membeli dan menggunakan produk-produk itu, tapi tidak menguasai cara kerjanya. Kita tidak mengontrol data pelanggan kita sendiri dan nilai uang terbesar didapat oleh pihak asing, bukan oleh perusahaan dan negara kita.
Kedua, menjadi sumber data dan bahan baku digital. Data tentang konsumen Indonesia, data transaksi, data pendidikan, dan data kesehatan mengalir ke server perusahaan asing. Mereka menggunakan data itu untuk membuat produk dan layanan yang lebih baik, lalu menjualnya kembali kepada kita dengan harga premium. Ini seperti “koloni digital generasi baru”.
Indonesia sebagai negara kaya dengan sumber daya besar, tapi bergantung sepenuhnya pada teknologi asing.
Peluang yang Ada di Tangan Indonesia
Namun, cerita ini tidak harus berakhir buruk. Indonesia sebenarnya punya tiga leverage strategis sangat besar yang sering diabaikan.
Pertama, data dan pasar raksasa. Dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta, ekonomi yang terus berkembang, dan ekosistem digital yang dinamis, Indonesia adalah “laboratorium hidup” untuk mengembangkan teknologi AI yang unik. Pertanian tropis, logistik kepulauan, sistem keuangan syariah butuh solusi AI khusus yang tidak bisa dibuat hanya dengan meniru negara lain.
Kedua, generasi muda yang cerdas. Banyak anak muda Indonesia sudah bekerja sebagai research scientist, engineer, dan founder startup teknologi di berbagai belahan dunia. Tantangannya, mencegah mereka hanya menjadi ekspor talenta. Bagaimana membuat mereka ingin pulang atau berkontribusi di Indonesia? Kalau mereka tersedot ke Amerika Serikat, Singapura, atau Eropa saja, Indonesia bakal kehilangan talenta terbaik.
Ketiga, posisi geostrategis dan ekonomi. Indonesia berada di jalur perdagangan global, jalur energi, dan jalur data internasional. Kabel laut yang menghubungkan dunia, pusat data, jaringan satelit ini penting di era AI. Indonesia punya kartu tawar penting jika tahu cara memanfaatkannya.
Dengan aset-aset ini, Indonesia sebenarnya bisa menjadi mitra strategis yang dihormati di dunia AI global, bukan sekadar pembeli atau pemasok bahan mentah.
Naik Kelas atau Menjadi Subkontraktor Murah
Dampak Genesis Mission akan terasa paling keras di dunia industri dan pabrik. Pabrik di Eropa dan Asia Timur sudah menggunakan AI untuk desain produk, memprediksi kapan mesin akan rusak, menghemat energi, dan mengoptimalkan pengiriman barang. Mereka bisa memproduksi dengan biaya lebih rendah, kualitas lebih bagus, dan inovasi lebih cepat.
Kalau industri Indonesia tidak ikut menggunakan AI, maka akan terjadi tiga hal buruk: (1) biaya produksi lebih tinggi, (2) inovasi tertinggal jauh, (3) akhirnya hanya menjadi kontraktor murah yang mengerjakan pekerjaan bermargin tipis sehingga tidak mampu menjadi pemimpin industri.
Namun, ada cara lain. Indonesia bisa memilih tiga sampai lima sektor prioritas untuk jadi pilot project adopsi AI:
Energi dan tambang: AI untuk mencari deposit baru, menjalankan operasi lebih efisien, dan memantau lingkungan.
Pabrik dan otomotif: Mesin yang bisa “tahu” kapan perlu perawatan, kamera cerdas yang cek kualitas produk otomatis, dan sistem logistik yang dikelola komputer.
Pertanian dan pangan: Petani kecil mendapat rekomendasi kapan tanam, berapa pupuk, kapan panen lewat aplikasi smartphone. Distribusi pangan dipantau dengan dashboard pintar.
Transportasi dan bandara: Manajemen slot penerbangan lebih efisien, perawatan pesawat diprediksi sebelum rusak, keselamatan dianalisis dengan data real-time.
Kesehatan: Dokter dibantu AI untuk baca foto rontgen, triage pasien, konsultasi jarak jauh.
Untuk berhasil, Indonesia butuh “Peta Jalan AI Industri Indonesia” yang jelas, bagaimana AI akan meningkatkan produktivitas, hemat energi, dan kurangi emisi karbon. Ini tidak bisa dikerjakan pemerintah sendiri. Butuh kemitraan besar mulai dari BUMN, swasta, universitas, dan bahkan militer. Perusahaan strategis di aviasi, logistik, dan energi harus jadi pusat eksperimen dan akselerasi, bukan sekadar menjalankan operasi rutin.
Tenaga Kerja, Antara Gelombang PHK dan Peluang Baru
Ada kekhawatiran nyata tentang risiko hilangnya pekerjaan. Pekerjaan yang paling terancam saat ini adalah yang berhubungan dengan administrasi, input data, customer service, dan operasional rutin. AI bisa mengerjakan ini lebih cepat dan lebih murah. Pekerja dengan skill rendah yang tidak belajar AI bisa menjadi pengangguran dalam jangka panjang.
Di sisi lain, para ahli Indonesia di bidang AI bisa ditarik keluar negeri dengan gaji fantastis dan fasilitas riset bagus. Pekerja yang belajar memanfaatkan AI bisa produktif berkali-kali lipat. Seseorang yang dulunya cuma bisa proses beberapa laporan sehari, dengan bantuan AI bisa meng-handle lebih dari 20 laporan.
Solusinya, Indonesia harus punya program pelatihan nasional yang serius, bukan sekadar simbolis. Ada tiga tingkat:
Dasar: Semua pekerja paham apa itu data dan AI, dari buruh pabrik hingga pegawai kantor.
Terapan: Pelatihan khusus AI untuk kesehatan, pertani, pabrik, dan logistik.
Mahir: Jalur khusus untuk talenta terbaik yang mau riset dan inovasi AI.
Program Kartu Prakerja bisa dikembangkan fokus pada skill AI. Sekolah kejuruan dan politeknik perlu dibenahi agar langsung selaras dengan kebutuhan industri.
Pendidikan dan Bisnis Menentukan Kelas Indonesia di Tahun Emas 2025
Sekolah-sekolah di negara maju sudah pakai AI tutor pribadi, pembelajaran yang menyesuaikan kemampuan siswa, dan simulasi lab virtual. Siswa di Eropa bisa belajar fisika lewat simulasi, dapat soal yang disesuaikan dengan kemampuan, dan dapat umpan balik instan dari AI.
Bila Indonesia tetap memakai metode mengajar puluhan tahun lalu, kesenjangan akan semakin dalam. Lebih serius lagi, kalau semua platform AI pendidikan dari luar negeri, maka nilai Pancasila, sejarah, budaya, agama lokal bisa terpinggirkan. Data puluhan juta siswa Indonesia ada di server asing.
Solusinya, Indonesia harus membuat Platform Pendidikan AI Nasional sendiri, dengan konten lokal (Bahasa Indonesia, Pancasila, sejarah, agama, sains sesuai kebutuhan lokal / local wisdom). Dengan begitu, guru tidak digantikan, malah di-upgrade jadi “pengajar berbasis AI” yang fokus pada nilai, makna, dan pengembangan karakter, sementara tugas mengajar rutin dibantu AI.
Di dunia bisnis, AI sudah jadi mesin di balik rekomendasi produk e-commerce, penilaian risiko fintech, optimasi rute logistik. Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang tidak pakai AI akan kalah dalam jangka panjang karena kurang terlihat dan kurang ekspos, iklan kurang efisien, serta pelayanan pelanggan kurang cepat.
Jangan lupa, ada peluang besar juga dari chatbot customer service, otomasi pembukuan, tool design dan promosi yang AI-powered, startup lokal di agritech, healthtech dan fintech syariah.
Pemerintah harus buat regulasi yang melindungi data konsumen tapi tidak menghambat inovasi. Perlu tempat uji coba regulasi untuk startup AI, dan dorong pembangunan data center lokal dengan keamanan tinggi.
Keamanan dan Visi Besar Indonesia
Genesis Mission bukan hanya soal ekonomi, tapi juga keamanan militer. AI akan mengubah cara perang, drone swarm, sistem pertahanan udara otomatis, cyber attack yang dijalankan AI, termasuk intelijen berbasis big data. Negara yang infrastruktur listrik, komunikasi, transportasinya tidak terlindungi bisa dilumpuhkan tanpa perang fisik.
Indonesia harus membangun kemampuan pertahanan AI sendiri, mulai dari cyber defense, pengawasan maritim dengan AI, hingga analisis ancaman. Hal ini memerlukan kolaborasi TNI, BSSN, BRIN, juga pihak universitas dan industry untuk mengadaptasi Genesis Mission yang fokus untuk Indonesia.
Untuk jangka panjang, Indonesia butuh visi besar: “Indonesia AI Mission” dengan lima pilar:
Kedaulatan data nasional
Penguasaan teknologi kritikal di beberapa titik kunci
Jutaan pekerja yang melek AI
AI untuk kesejahteraan rakyat (pangan, kesehatan, dan pendidikan)
Sishankam yang canggih berbasis AI
Perusahaan besar, terutama BUMN di aviasi, logistik, dan energi, harus punya rencana AI 5–10 tahun, pahami risiko AI, mulai dari cyber, data, dan model, hingga tata kelola yang jelas.
Saatnya bertindak. Genesis Mission menunjukkan kecerdasan buatan dan data bukan lagi pilihan, tapi keharusan untuk tetap relevan di dunia global dan telah menjadi dasar kekuatan Nasional. Indonesia memiliki peluang emas. Kita punya pasar besar, talenta yang terus berkembang, letak geografis strategis. Jika kita cerdas, fokus, dan berani bertindak, kita bisa jadi pemain penting di dunia AI, bukan sekadar pembeli atau konsumen. Pertanyaannya bukan lagi apakah AI akan mengubah Indonesia? Namun, “Apakah kita ingin menentukan sendiri bentuk perubahan itu? atau kita sekedar sebagai follower dari Keputusan dari negara lain?”
Realme 15 Pro 5G: Pilihan Kompak untuk Pengguna Aktif
Di tahun 2025, persaingan di pasar smartphone kelas menengah ke atas semakin sengit. Salah satu brand yang mencoba memperkuat posisinya adalah Realme. Dengan dirilisnya Realme 15 Pro 5G, mereka menawarkan kombinasi yang menarik: bodi tipis dengan baterai besar dan ketahanan fisik yang luar biasa. Jika kamu seorang pengguna aktif, pecinta game, atau fotografer mobile, ponsel ini bisa menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan.
Namun, dengan harga yang nyaris mencapai 7 juta rupiah, apakah Realme 15 Pro 5G benar-benar layak dibeli? Mari kita ulas secara mendalam.
Kelebihan yang Menonjol
1. Ketahanan Fisik yang Tinggi
Realme 15 Pro 5G dilengkapi dengan sertifikasi IP66, IP68, IP69, dan MIL-STD-810H. Ini berarti ponsel ini tahan terhadap debu, air, serta benturan berat. Dengan fitur ini, kamu tidak perlu khawatir saat membawa ponsel ke luar ruangan atau dalam kondisi cuaca buruk.
2. Baterai Besar dalam Bentuk Tipis
Meski memiliki bodi yang ramping, Realme 15 Pro 5G dilengkapi baterai dengan kapasitas 7000 mAh. Kapasitas ini mampu bertahan hingga dua hari pemakaian normal, cocok bagi pengguna yang sering bepergian dan tidak ingin terlalu sering mengisi daya.
3. Layar Berkualitas Tinggi
Ponsel ini menggunakan layar OLED 144Hz dengan kecerahan hingga 6500 nits. Layar ini memberikan pengalaman visual yang luar biasa, baik dalam kondisi terang maupun gelap.
4. Kamera Berkualitas
Realme 15 Pro 5G dilengkapi kamera depan dan belakang dengan resolusi 50MP. Kamera ini mampu merekam video dalam resolusi 4K, cocok untuk para kreator konten yang membutuhkan kualitas gambar tinggi.
5. Performa Stabil untuk Gaming
Ditenagai oleh chipset Snapdragon 7 Gen 4 dan sistem pendingin luas (7000 mm²), ponsel ini sangat cocok untuk pengguna yang suka bermain game. Performa stabil dan responsif membuat pengalaman gaming lebih menyenangkan.
Kekurangan yang Perlu Diperhatikan
1. Tidak Ada Slot MicroSD
Realme 15 Pro 5G hanya memiliki memori internal tanpa opsi ekspansi melalui microSD. Jika kamu sering menyimpan banyak data, ini bisa menjadi kendala.
2. Tidak Dilengkapi Jack Audio 3.5mm
Pengguna harus menggunakan earphone nirkabel atau dongle untuk mendengarkan musik. Hal ini bisa menjadi masalah bagi pengguna yang lebih nyaman menggunakan kabel.
3. Port USB Masih 2.0
Meskipun pengisian daya cepat, port USB 2.0 membuat transfer data via kabel lebih lambat dibandingkan dengan USB 3.0 atau versi lebih tinggi.
4. Jenis RAM LPDDR4X
Di kisaran harga 7 juta rupiah, penggunaan LPDDR5 akan lebih optimal untuk masa depan. Penggunaan LPDDR4X bisa menjadi sedikit kurang ideal jika kamu menginginkan performa maksimal di masa mendatang.
Kesimpulan
Realme 15 Pro 5G merupakan pilihan yang sangat direkomendasikan untuk pengguna yang malas mengisi daya dan membutuhkan ponsel tangguh yang tahan terhadap kondisi ekstrem. Performa gaming-nya stabil dan kameranya cukup mumpuni untuk kebutuhan kreatif.
Namun, jika anggaran kamu terbatas (di bawah 6 juta) dan kamu tidak terlalu memperhatikan fitur tahan air atau baterai besar, kamu bisa mempertimbangkan seri sebelumnya atau brand lain seperti Poco yang fokus pada performa chipset.
Secara keseluruhan, Realme 15 Pro 5G menawarkan paket lengkap yang seimbang antara gaya, ketahanan fisik, dan performa. Jika kamu siap berinvestasi, ponsel ini bisa menjadi pilihan terbaik di tahun 2025.
Ancaman Siber yang Mengancam Infrastruktur Nasional
Indonesia kembali diingatkan akan ancaman siber yang semakin nyata seiring dengan percepatan transformasi digital di berbagai sektor. Situasi ini bukan hanya sekadar masalah teknis, tetapi juga melibatkan risiko yang bisa memengaruhi kehidupan masyarakat dalam hitungan menit. Gangguan kecil pada sistem energi atau layanan publik dapat merembet ke aktivitas sehari-hari secara cepat.
Salah satu acara yang mengangkat isu ini adalah Cyberwolves Con 2025, yang diselenggarakan di Jakarta beberapa waktu lalu. Konferensi tahunan ini digagas oleh Spentera dan menjadi wadah bagi praktisi keamanan siber, akademisi, regulator, serta komunitas teknologi. Tujuannya adalah untuk memperkuat ketahanan siber Indonesia yang dinilai semakin terancam oleh ancaman digital.
Direktur Spentera, Royke L Tobing, menjelaskan bahwa kolaborasi antar sektor sangat penting dalam menghadapi ancaman siber. Ia menekankan bahwa ketahanan siber hanya bisa dicapai jika seluruh sektor saling terhubung dan mendukung satu sama lain. Fokus utama konferensi kali ini mencakup perlindungan infrastruktur vital seperti energi, sistem kontrol industri (ICS), dan sistem pengendalian terdistribusi (SCADA), serta risiko dari penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan tantangan digital masa depan.
Kerentanan Pada Infrastruktur Energi
Dalam salah satu panel diskusi, para narasumber menyampaikan kondisi jaringan listrik Jawa Bali. Sistem yang menyuplai lebih dari 60 persen energi nasional tersebut masih memiliki kerentanan serius. Banyak perangkat lama belum diperbarui, protokol komunikasi SCADA minim enkripsi, dan antarmuka sistem yang terhubung ke internet menggunakan kredensial bawaan. Integrasi Internet of Things (IoT) dan akses jarak jauh yang tidak sepenuhnya aman membuat risiko semakin besar.
Seorang peneliti keamanan industri menunjukkan bahwa gangguan kecil saja bisa berdampak panjang. Contohnya, pemadaman listrik pada tahun 2019 dan gangguan listrik di Bali pada 2025 telah menjadi bukti nyata bahwa serangan siber di sektor energi bukanlah teori belaka. Ia menilai penguatan keamanan di sektor kelistrikan juga berkaitan erat dengan kepercayaan publik.
Risiko AI Terhadap Ekonomi dan Pertahanan
Para narasumber juga membahas penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) di sektor finansial, e-commerce, telekomunikasi, layanan publik, hingga pertahanan. Meski menawarkan efisiensi, teknologi ini juga membawa risiko baru. Model AI yang tidak diverifikasi dan data yang tidak diuji bisa menjadi celah bagi serangan siber.
Selain itu, Indonesia masih banyak mengandalkan teknologi impor tanpa pengujian ketat. Kemandirian dalam pengembangan AI menjadi isu penting agar tidak menimbulkan risiko terhadap kepentingan strategis nasional. Tantangan lain muncul dari kesiapan institusi dalam merespons insiden siber. Koordinasi antarunit dinilai sering berjalan sendiri-sendiri, dan proses forensik digital belum konsisten.
Peristiwa ransomware yang menimpa Pusat Data Nasional pada 2024 kembali diangkat sebagai contoh. Seorang praktisi siber menekankan bahwa respons yang lambat bisa menyebabkan gangguan menjalar ke layanan publik lainnya. Ia menyarankan simulasi rutin dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia sebagai langkah penting.
Kolaborasi Jadi Kunci Utama
Royke L Tobing kembali menegaskan bahwa isu siber bukan hanya soal teknologi. Dampaknya bersifat multidimensi, bisa memengaruhi ekonomi, kepercayaan publik, bahkan stabilitas nasional. Ia mengajak sektor energi, keuangan, pemerintahan, dan industri digital untuk memperkuat tata kelola serta melakukan audit keamanan berkala.
Menurutnya, komitmen bersama adalah fondasi agar Indonesia tetap tangguh di tengah ancaman siber yang semakin kompleks. Dengan kolaborasi yang erat dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, peluang transformasi digital dapat dimanfaatkan tanpa meninggalkan risiko besar bagi negara.
Tren Kecerdasan Buatan yang akan Mendominasi di Asia Pasifik
IBM Indonesia mengungkapkan sejumlah tren penting terkait Kecerdasan Buatan (AI) yang diperkirakan akan menjadi kunci transformasi bisnis di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, menjelang tahun 2026. Fokus utama yang disoroti adalah konsep Kedaulatan AI (Sovereign AI), yang dianggap sebagai fondasi dari ekosistem digital yang bertanggung jawab dan aman.
General Manager dan Technology Leader IBM ASEAN, Catherine Lian, dalam sebuah media briefing menyatakan bahwa AI telah bergerak dari sekadar eksperimental menjadi kebutuhan mendasar yang terintegrasi dalam operasional inti bisnis. Ia menekankan bahwa masa depan akan dimiliki oleh organisasi yang mampu beradaptasi dengan cepat. Kedaulatan AI akan menjadi kunci pada 2026 karena kepatuhan akan menjadi syarat penting bagi pertumbuhan sekaligus peluang untuk memastikan arsitektur data tetap aman.
Di tengah dinamika geopolitik, konsep Kedaulatan AI menjadi prioritas bagi banyak negara. Hal ini mencakup upaya untuk mempertahankan kendali penuh atas teknologi, data, dan infrastruktur digital. Catherine menegaskan bahwa Kedaulatan Digital melampaui kepatuhan regulasi, fokus pada pembangunan kepercayaan melalui transparansi dan penggunaan teknologi yang bertanggung jawab.
IBM Institute for Business Value (IBV) juga merilis beberapa temuan penting. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa 80% organisasi multinasional di Asia Pasifik akan menerapkan strategi kedaulatan data pada tahun 2027. Pasar sovereign cloud di Asia Pasifik diproyeksikan tumbuh hingga 4,5 kali lipat, dari USD37 miliar (2023) menjadi USD169 miliar pada 2028. Selain itu, pengeluaran di industri yang teregulasi seperti perbankan akan meningkat hampir lima kali lipat.
IBM merekomendasikan kepada bisnis untuk menjadikan kedaulatan digital sebagai prioritas direksi, memanfaatkan hybrid cloud untuk fleksibilitas, serta berkomitmen untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal. Tren selanjutnya adalah pergeseran peran AI dari pusat biaya menjadi mesin pertumbuhan yang menghasilkan Return on Investment (ROI) nyata. Keberhasilan AI, menurut IBM, bergantung pada kemampuannya menciptakan diferensiasi kompetitif, memperbarui model bisnis, serta membuka sumber pendapatan baru.
Riset terbaru IBM menunjukkan bahwa kemajuan akan sangat bergantung pada kolaborasi ekosistem. Para pengguna awal sudah mulai memperoleh keunggulan, dengan organisasi yang siap memasuki era komputasi kuantum tiga kali lebih mungkin berpartisipasi dalam berbagai ekosistem dibanding yang lain. Studi tersebut menemukan bahwa 79% eksekutif mengatakan kemitraan ekosistem mempercepat adopsi teknologi, 89% menyatakan kemitraan ekosistem membantu membatasi dampak disrupsi. Sebanyak 77% percaya kualitas data ekosistem meningkatkan hasil bisnis dan 86% mengatakan data ekosistem dalam tool dan aplikasi AI meningkatkan kapabilitas AI.
Untuk mempersiapkan diri, organisasi harus menyusun roadmap transformasi AI yang jelas, memprioritaskan peningkatan produktivitas melalui automasi, dan mengevaluasi ulang model bisnis yang sudah ada. Tahun depan juga diperkirakan menjadi era pengoperasian Agen AI Agentik dalam skala besar. Agen otonom ini akan mengubah operasi perusahaan melalui kemampuan bertindak, mengambil keputusan, dan berkolaborasi dalam alur kerja (workflow-centric).
Selain itu, Keunggulan Kuantum (Quantum Advantage) diprediksi mendekati tahap “memberikan keuntungan,” yang berpotensi mempercepat pelatihan model AI melalui optimasi yang lebih cepat. Riset IBV menunjukkan bahwa organisasi yang siap memasuki era komputasi kuantum tiga kali lebih mungkin berpartisipasi dalam berbagai ekosistem.
Terakhir, IBM menekankan pentingnya AI yang terpercaya. Investasi pada etika AI berkorelasi langsung dengan hasil bisnis yang lebih baik dan ROI berbasis AI yang lebih tinggi. Kedaulatan AI akan menjadi kunci pada tahun 2026 karena kepatuhan akan menjadi syarat penting bagi pertumbuhan sekaligus peluang untuk memastikan arsitektur data tetap aman.
Disney, salah satu perusahaan hiburan terbesar di dunia, telah mengirimkan surat resmi kepada Google yang dikenal sebagai surat cease-and-desist. Dalam surat tersebut, Disney menuduh Google melanggar hak cipta dalam skala besar, khususnya melalui penggunaan layanan kecerdasan buatan (AI) seperti model AI Gemini. Menurut Disney, teknologi AI dari Google telah menyalin dan memproses karya-karya berhak cipta tanpa izin, lalu mendistribusikan hasilnya kepada publik.
Menurut laporan, Disney menyebut Google sebagai “mesin penjual otomatis” yang mampu menciptakan kembali karakter-karakter milik Disney. Bahkan, beberapa dari hasil AI ini diberi label Gemini, sehingga tampak seperti disetujui oleh Disney. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa karya-karya populer seperti Frozen, The Lion King, Moana, The Little Mermaid, serta waralaba Marvel, Star Wars, dan The Simpsons menjadi korban pelanggaran.
Disney juga memberikan contoh gambar yang diklaim berasal dari sistem AI Google. Pernyataan ini datang setelah sebelumnya Disney mengirimkan surat serupa kepada Meta dan Character.AI, serta menggugat Midjourney dan Minimax karena dugaan pelanggaran hak cipta.
Tanggapan Google
Google merespons tuduhan Disney dengan menegaskan bahwa mereka menggunakan data dari web publik dan menyediakan kontrol tambahan terkait hak cipta dalam ekosistemnya. Termasuk dalam hal ini adalah fitur Google-extended dan YouTube Content ID. Google juga menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang lama dengan Disney dan akan terus berdialog untuk menyelesaikan masalah ini.
Seorang juru bicara Google mengatakan, “Kami akan terus berkomunikasi dengan Disney.” Pernyataan ini disampaikan pada Jumat (12/12/2025). CEO Disney, Bob Iger, menyatakan bahwa perusahaan telah lama menyampaikan kekhawatiran tentang potensi pelanggaran dalam sistem AI Google. Namun, karena tidak ada kemajuan yang signifikan, Disney akhirnya mengirimkan surat peringatan resmi.
Permintaan Disney
Disney menuntut Google untuk segera menghentikan penggunaan karakter-karakter berhak cipta dalam output AI. Selain itu, perusahaan juga meminta Google menerapkan langkah teknis agar pelanggaran ini tidak terulang lagi. Ini menunjukkan bahwa perselisihan antara Disney dan Google tidak hanya tentang isu hukum, tetapi juga tentang bagaimana AI dapat digunakan secara etis dan bertanggung jawab.
Masa Depan Kecerdasan Buatan dan Hak Cipta
Masalah ini menjadi semakin penting seiring berkembangnya teknologi AI. Banyak perusahaan teknologi dan konten mulai menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara inovasi dan perlindungan hak cipta. Kasus Disney dan Google mungkin menjadi contoh awal dari banyak perselisihan serupa di masa depan.
Dengan semakin banyaknya penggunaan AI dalam berbagai industri, penting bagi perusahaan untuk memastikan bahwa penggunaan data dan karya seni dilakukan dengan benar dan adil. Tidak hanya untuk menjaga reputasi, tetapi juga untuk membangun kepercayaan publik terhadap teknologi yang semakin mengubah dunia.
Kesimpulan
Perselisihan antara Disney dan Google menunjukkan betapa kompleksnya isu hak cipta dalam era AI. Meski Google membela diri dengan alasan penggunaan data publik dan kontrol hak cipta, Disney tetap bersikeras bahwa tindakan mereka melanggar aturan. Masalah ini bisa menjadi batu loncatan untuk pembahasan lebih lanjut mengenai regulasi dan etika penggunaan AI di masa depan.