Jumat, Desember 5, 2025
BerandaBeritaDinamika Santun dalam Berkomunikasi di Dunia Maya

Dinamika Santun dalam Berkomunikasi di Dunia Maya


KABAR PRIANGAN

– Kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi telah merombak peta interaksi sosial manusia dengan signifikan. Perubahan ini bukan saja mempengaruhi sisi teknikal komunikasi, namun juga menjangkiti norma-norma budaya serta etika yang ada dalam penyebaran pesan. Secara spesifik, dalam hal ini sopan santun sebagai elemen vital dalam komunikasi menerima fokus utama, terutama saat interaksi berlangsung lewat platform digital.

Kesantunan Komunikasi

Etika dalam berkomunikasi tak hanya tentang tata bahasa yang tepat, tetapi juga menunjukkan nilai-nilai sosial, rasa simpati, serta penghargaan atas keragaman (Aditya, 2021). Banyak aspek etika komunikasi telah dibahas oleh Brown dan Levinson (1987), khususnya pada konsep strategi kesopanan atau politeness strategies-nya. Mereka menyebutkan bahwa tiap orang mempunyai “muka” yang harus dipertahankan; muka positif yakni harapan untuk disukai dan diterima, serta muka negatif yaitu keinginan untuk tidak merasakan paksaan.

Dalam interaksi digital, upaya menjaga wajah tersebut sering kali tidak diperhatikan karena komunikasi dilakukan secara cepat dan tidak langsung. Ketidakhadiran unsur non-verbal juga membuat pesan-pesan sopan sulit ditafsirkan secara akurat, sehingga meningkatkan risiko miskomunikasi (Hartati, 2023).

Phenomenon ini menjadi lebih rumit karena komunikasi digital tak menghargai pembatasan wilayah atau sosial. Bertegur sapa dengan orang-orang memiliki latar belakang budaya, umur, serta tingkat pendidikan yang bervariasi membawa tantangan sendiri untuk tetap bersopan santun. Sebagai contoh, gaya berkomunikasi yang dipandang sebagai tindakan hormat di suatu kebudayaan mungkin saja dianggap sebaliknya oleh kelompok etnis lain. Oleh karenanya diperlukan pengetahuan tentang keragaman budaya dan pengertian atas interaksi silang-budaya saat melakukan pertukaran informasi secara daring (Rachmawati, 2023).

Pentingnya Literasi Digital Sebagai Unsur Kritis

Literasi digital menjadi elemen krusial dalam membentuk komunikasi yang santun. Literasi digital bukan hanya soal kemampuan teknis dalam menggunakan perangkat digital, tetapi juga mencakup pemahaman terhadap etika, hukum, dan dampak sosial dari aktivitas daring.

Menurut penelitian Putra dan Sari (2022), rendahnya literasi digital berkorelasi dengan meningkatnya perilaku tidak santun di media sosial, seperti melakukan komentar negatif tanpa dasar, menyebarkan hoaks, dan terlibat dalam perundungan siber. Kesantunan dalam komunikasi digital juga mengalami reinterpretasi, terutama oleh generasi muda. Generasi Z dan generasi milenial, misalnya, cenderung menggunakan gaya komunikasi yang lebih lugas dan ekspresif, yang sering kali ditafsirkan sebagai kurang sopan oleh generasi yang lebih tua. Namun, dalam konteks komunitas digital mereka, gaya komunikasi tersebut dianggap wajar dan diterima. Perbedaan persepsi ini menunjukkan pentingnya konteks dalam menilai kesantunan (Putra & Sari, 2022).

Dinamika Kesantunan Juga Penting untuk Ini

Bukan hanya pada interaksi personal, aspek etiket berkomunikasi pun menjadi sangat krusial dalam dunia korporat, pendidikan, serta sektor publik. Sebagai contoh selama masa pandemic COVID-19, transisi masif menuju komunikasi online telah membuat banyak lembaga merasakan tantangan untuk mempertahankan standar komunikasi yang baik. Para guru dan dosen dituntut untuk mengadaptasi cara mereka berinteraksi sehingga masih terkesan santun sambil tetap efisien melalui media daring seperti Zoom ataupun Google Meet (Yuliana, 2024).

Menurut sebuah laporan yang dirilis oleh We Are Social pada tahun 2023, populasi Internet di Indonesia kini mencapai lebih dari 200 juta orang, dimana mayoritasnya menghabiskan waktu rata-rata lebih dari tiga jam setiap harinya untuk berselancar di platform-media sosial. Hal tersebut cukup membuktikan dampak signifikan dunia maya terhadap struktur interaksi sosial dalam masyarakat saat ini. Tanpa adanya etiket atau norma sopan santun ketika melakukan komunikasi melalui jalur online dapat memicu beragam masalah sosial misalnya pecah belah antara individu satu sama lain, perseteruan serta ancaman-ancaman penyalahgunaan kata-kata secara daring (We Are Social, 2023).

Kesantunan Digital Jadi Indikator

Kesantunan digital tidak hanya menjadi isu moral, tetapi juga menjadi indikator kualitas ruang publik digital. Komunikasi yang sopan menciptakan suasana dialog yang sehat, meningkatkan keterlibatan pengguna secara positif, dan memperkuat kepercayaan sosial. Sebaliknya, komunikasi yang penuh kekerasan verbal dapat menurunkan kualitas demokrasi digital dan menghambat kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab (Prasetyo & Wulandari, 2020).

Menariknya, beberapa platform media sosial kini mulai menerapkan algoritma dan kebijakan moderasi yang mendukung kesantunan. Misalnya, Instagram memberikan peringatan otomatis saat pengguna hendak mengunggah komentar negatif. YouTube dan TikTok juga memperketat kebijakan terhadap ujaran kebencian dan konten yang tidak etis. Meskipun demikian, upaya ini tidak cukup tanpa partisipasi aktif dari pengguna itu sendiri untuk menjaga kualitas komunikasi (Hartati, 2023).

Dalam hal ini, etika dalam berinteraksi secara daring perlu dianggap sebagai kewajiban bersama yang mencakup individu, lembaga, pihak pemerintahan, serta pengelola platform online. Pemahaman tentang literasi digital, pembinaan moral, serta aturan yang tegas adalah unsur-unsur utama guna menghasilkan interaksi yang baik.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan mendalam tentang cara kerja interaksi santun dalam komunikasi pada zaman digital saat ini, memahami berbagai hambatan yang muncul, serta merumuskan strategi penyelesaian dengan pendekatan terstruktur.

Isu Etiket dalam Interaksi Komunikatif pada Platform Sosial di Zaman Modern

Bahkan, platform media sosial kini bertindak sebagai arena utama untuk interaksi publik di era modern ini. Tetapi, bersamaan dengan pertambahan jumlah pemakaian media sosial, juga timbul masalah baru yaitu penurunan norma-norma kesopanan pada percakapan online.

Efek Disinhibisi Online

Salah satu tantangan besar ialah penurunan tata krama yang disebabkan oleh fenomena disinhibusi daring, yaitu situasi dimana seseorang merasa lebih leluasa untuk berekspresi dengan cara yang kurang sopan lantaran interaksi tidak berlangsung langsung dan tatap muka. Seperti diketengahkan Suler pada tahun 2004, hal tersebut bisa memicu sikap menghinai orang lain, emosi marah hingga ekspresi rasis yang biasanya tak terjadi dalam dunia nyata. Tren serupa pun masih banyak ditemui hari ini, sesuai hasil studi Nuraini (2022) tentang gaya bicara para pemakai medsos di Tanah Air, mereka condong menuangkan kata-kata pedas dibelakangi monitor gadget-nya sendiri-sendiri.

Selain itu, anonimitas dalam media sosial memicu hilangnya tanggung jawab personal. Banyak pengguna menggunakan akun palsu atau anonim untuk menyampaikan kritik, hinaan, bahkan fitnah. Hal ini mendorong munculnya budaya komunikasi yang bebas nilai dan jauh dari etika sopan santun. Prasetyo dan Wulandari (2020) mencatat bahwa lemahnya sanksi sosial terhadap pelanggaran etika komunikasi di ruang digital menjadi faktor utama memburuknya kualitas interaksi daring. Minimnya regulasi yang tegas dari platform media sosial turut memperparah keadaan ini. Banyak konten negatif tetap bertahan selama tidak dilaporkan secara masif, dan algoritma media sosial bahkan cenderung mempromosikan konten yang bersifat provokatif karena tingginya potensi interaksi yang dihasilkannya (Vosoughi et al., 2018).

Etika Komunikasi

Kekurangan pengetahuan tentang literasi digital, lebih-lebih lagi soal etika berkomunikasi, menjadi masalah penting lainnya. Sebagian besar pengguna masih belum menyadari kalau media sosial itu seperti sebuah area umum di mana diperlukan norma-norma kesopanan mirip dengan lingkungan hidup mereka sehari-hari.

Berdasarkan hasil survei Kominfo (2022), hanya 33% masyarakat Indonesia yang memahami pentingnya etika digital, yang mencakup kesantunan berbahasa, menghargai privasi orang lain, dan tidak menyebarkan informasi palsu. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas pengguna belum memiliki pemahaman kritis terhadap dampak sosial dari aktivitas daring mereka.

Tantangan lain dalam menjaga kesopanan komunikasi adalah fenomena call-out atau kritik terbuka di media sosial. Di bawah praktik seperti itu, individu maupun kelompok bisa dipermalukkan secara publik melalui “pengadilan sosial” digital tersebut.

Walaupun motif pertamanya umumnya baik hati, misalnya untuk mengejar keadilan atau membongkar ketidakjujuran, praktek ini tak jarang diterapkan dengan caracara yang kurang beretika, bahkan kasar. Seperti yang dikemukakan oleh Yuliana pada tahun 2024, budaya panggilan (call-out culture) tanpa kendali bisa menyebabkan lingkaran kemiskinan komunikatif menjadi lebih parah dan meningkatkan perpecahan dalam masyarakat melalui platform-media digital.

Polarisasi Opini

Masalah lain yang tidak kalah signifikan adalah polarisasi pendapat. Sosial media telah menciptakan lingkungan di mana para pemakainya hanya menemui informasi dan sudut pandang yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Saat bertemu dengan perspektif yang berbeda, respon dari penggunanya cenderung bersifat defensif dan agresif. Oleh karena itu, menjaga etika dalam diskusi menjadi tantangan tersendiri.

Rachmawati (2023) menggarisbawahi bahwa ketidaksamaan dalam hal ideologi dan budaya digital kerapkali tak disikapi dengan rasa toleransi, malahan justru mendorong ucapan-ucapan kasar hingga ancaman benci yang pada akhirnya hanya bertambah lebar celah perbedaan tersebut. Perbedaan norma-norma santun pun turut berkontribusi terhadap masalah dalam interaksi online. Sebagai contoh, gaya komunikasi nonformal seperti menggunakan bahasa slang atau singkatan dapat diterima sebagai tanda hormat dalam suatu kelompok daring, tetapi bisa dipandang kurang layak oleh grup lain yang cenderung tradisional. Hal ambigu ini sering kali mencetuskan salah paham di antara para pemakai platform-media tersebut.

Hartati (2023) menggarisbawahi betapa pentingnya kerohanian budaya serta kapabilitas untuk memahami latar belakang sosial guna melindungi keseimbangan interaksi online. Pokoknya, sikap sopan pada lingkungan maya ataupun fisik perlu kami pertahankan agar sifat-sifat budi bahasa tetap terjaga. ***

Penulis:
Dr. Zikri Fachrul Nurhadi, M.Si., CPRP
Kepala Program Studi Sarjana 1 Ilmu Komunikasi Universitas Garut

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular