Tiap tahapan memiliki waktunya sendiri, mulai dari perkembangan si kecil. Diantaranya adalah kelahiran, pemberian ASI secara eksklusif selama 6 bulan, transisi menu makanan pendamping susu ibu (MPASI), belajar duduk, merangkak, berdiri, berjalan, hingga lari-larian. Bagaimana tidak menantikan masa-masa seru ketika menjadi orang tua untuk pertama kalinya? Setiap momen “untuk pertama kalinya” pun turut hadir dan membawa keseruan tersendiri bagi sang buah hati serta tantangan baru bagi para orangtua. Semua ini merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan mendidik putra atau putri Anda.
Tiap keluarga memiliki iramanya masing-masing dalam hal gaya kehidupan dan metode mendidik anak-anak mereka. Beberapa menyesuaikan diri dengan model Barat (baik dari Eropa atau negara-negara berkembang) serta metodologi tertentu seperti Montessori, Reggio Emilia, Waldorf, ataupun Gentle Parenting. Tak jarang juga ada yang lebih memilih pendekatan berdasarkan keyakinannya melalui Islamic Parenting.
Tahun Pertama: Madu dan Momen Pertama
Ketika tepat memasuki usia pertama, Keluarga kami berkumpul untuk berbuka puasa bersama, sekalian merayakan satu tahun kehidupannya yang menjadi momen penting sebagai bentuk rasa syukur atas hari kelahirannya. Cake pertama Uni, begitu dirinya memanggil namanya. No sugar pada filling cream, dan less sugar di tart-nya jadi request utama karena pengenalan terhadap rasa dan menjaga dari sugar rush kami lakukan.
” Duduki tempat ini bersama dengan Enin,” kata sang kakek-kakaknya sembari mendudukkan anak tersebut – Uni, nama yang dipergunakannya. Dalam genggaman Enin terdapat sendok teh yang telah diisikan dengan air madu guna membuka puasa. Jemari mungilnya sering kali mencoba meraih sendok dalam cawan tersebut. Hap! Sendok penuh madunya langsung dimasukkan ke dalam mulutnya.
“Manis ya,” kata Enin, merespons ekspresi kaget atas rasa baru yang dicoba. Meskipun sederhana, momen ini memiliki makna besar di mana teori dan praktek saling melengkapi. Sebagaimana dikatakan dalam artikel Alodokter, madu sebaiknya tidak diberikan kepada bayi kurang dari satu tahun karena bisa meningkatkan risiko kerusakan gigi serta racun makanan akibat bakteri Clostridium botulinum. Bukankah pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan?
Setahun berlalu begitu cepat. Masa bayi berganti menjadi masa toddler yang penuh rasa ingin tahu. Awalnya hanya bisa menggenggam kini berlari kecil ke sana kemari. Bukan sekadar tentang mengenal rasa dan tekstur makanan, tapi juga mengenal dunia di luar dirinya, termasuk teknologi.
Tahun kedua: Saat perangkap teknologi mulai memikat
Di 2 tahun pertama, ketertarikan Uni terhadap gadget bisa dibilang minim. Selain tidak pernah menyalakan televisi saat dia bangun, kami hanya menggunakan smartphone untuk video call keluarga. Hai ini sesuai anjuran American Academy of Pediatrics (AAP) yang tertera pada artikel di Halodoc ‘Aturan aman penggunaan gadget pada anak’, tidak memberikan paparan layar sebelum usia 2 tahun.
Namun, tantangan pun bermula. Di saat duduk bersama Uni dalam ruangan sambil membuka akun media sosial mereka, terdapat iklan mengenai kelas senam yang pernah iaikuti oleh Aku. Uni merasa penasaran dan bertanya, “Itu apa?” Menjawab pertanyaannya, Aku berkata, “Sesuatu mirip dengan kejadianmu seminggu lalu, Uni; berlari di atas trotoar tapi tampak seolah-olah kamu sedang naik pesawat.” Dari situ, dia mulai minta untuk ditunjukkan beberapa video—terutama soal pesawat.
Pembelaan mengenai waktu bermain di depan layar juga semakin lemah. Generasi Alfa, yang lahir sebagai penumpu asli teknologi digital, pada akhirnya akan bertemu dengan perangkat elektronik tersebut—baik itu di usia 2 tahun, 3 tahun, 5 tahun, atau ketika memasuki bangku sekolah kelak.
Kecemasan utama pastinya adalah kemungkinan keterlambatan berkembangnya kemampuan berbicara pada anak disebabkan oleh kebiasaan terus-menerus melihat layar. Akan tetapi, sebagai orang tua, kita harus menjadi individu yang adaptif serta lentur juga dalam menghadapi perkembangan teknologi.
Waktu layar setelah umur 2 tahun harus dikelola dengan baik penggunaanya. Berikut sejumlah langkah yang telah saya gunakan untuk membimbing anak menghadapi era digital:
1. Cobalah hindari penggunaan layar hingga usia dua tahun.
2. Kemudian, bila anak sudah mulai mengenal layar, batas waktunya harus diatur hingga satu jam sehari paling lama, dan dapat dibagi menjadi beberapa sesi.
3. Manfaatkan alarm untuk mengatur batas waktu nonton. Saat alarm berbunyi, sesi tayangan segera diakhiri.
4. Pilih video edukatif yang boleh ditonton ke anak, jika diperlukan video bisa diunduh
5. Tetapkan batasan waktu untuk menonton, misalnya pada:
MakanTantrum,Mnjelang tidur siang/tidur malam.
6. Persiapkan pilihan kegiatan yang melatih koordinasi gerak besar dan kecil, misalnya:
Berperan (Peran Berpura-pura) Menggambar Membaca Buku Anak
Seperti halnya pantangan memberikan madu hingga satu tahun pertama, pedoman tentang waktu layar tanpa konten digital selama dua tahun awal kehidupan anak-anak juga didasarkan pada penelitian ilmiah mengenai perkembangannya. Akan tetapi, jika situasinya tak sesempurna harapan, aspek paling penting adalah masih memantau serta menyesuaikan frekuensi interaksi dengan teknologi bagi Generasi Alpha kami ini.
Jika teknologi dipergunakan secara tepat, maka akan sangat menguntungkan bagi yang menggunakan. Sampai bertemu di artikel berikutnya!

