Laporan yang disusun oleh Journalist dari Tribun Jatim Network, Rifki Edgar
Zona Gadget, MALANG
– produktivitas tanaman kopi di wilayah Ketindan, yang berada di Kecamatan Lawang Kabupaten Malang, telah meningkat sebesar 18 persen semenjak menerapkan teknologi Internet of Things (IoT), kecerasan buatan (AI), serta meluncurkan program untuk memperkuat peran warga setempat.
Teknologi ini diciptakan lewat program Catalyst Changemakers Ecosystem (CCE) versi 3.0 yang dilaunch oleh GoTo Impact Foundation (GIF).
GIF adalah sebuah lembaga nonprofit yang dibentuk oleh Grup GoTo, bekerja sama dengan para penggerak perubahan, stakeholder, serta masyarakat luas. Mereka merilis program inovatif dalam bidang pertanian kopi bernama ‘Gandrung Tirta’ yang berfokus pada sisi berkelanjutannya.
Monica Oudang dari GoTo Impact Foundation menyebut bahwa program tersebut dibentuk guna membantu petani, pemuda, serta ibu-ibu rumah tangga yang berada di Desa Ketindan.
Terutama adalah dalam mengambil keuntungan dari pangsa pasarnya kopi lokal yang diproyeksikan untuk terus tumbuh.
“Sejauh ini tujuannya tidak sekadar mencapai peningkatan hasil produksi kopi saja, tetapi juga memecahkan masalah dari sumbernya dengan menjadikan para petani sebagai mitra serta mendongkrak ketertarikan anak-anak muda dalam dunia perkebunan,” katanya saat menyelenggarakan acara di Kebun Teh Wonosari Malang pada hari Rabu (7/5/2025).
Monica menyebutkan bahwa meskipun Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat di dunia, negara ini masih berurusan dengan masalah produktivitas kopi yang rendah dan hanya menempati posisi ke-14 secara global.
Situasi yang sama juga dialami di Desa Ketindan, Malang, tempat produktivitas 200 petani kopi fine robusta hanya mencapai angka 43%.
Permasalahan itu membatasi efisiensi operasional perkebunan serta pencapaian permintaan pasaran.
Agar bisa menjawab masalah tersebut, Monica Oudang mengutamakan pembentukan keberanian serta kemampuan tiap orang agar dapat mendobrak perubahan yang lebih baik.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kita telah menyadari bahwa untuk mencapai perubahan yang berlanjut diperlukan keberanian bersama serta partisipasi dari seluruh komunitas,
“Program Gandrung Tirta merupakan contoh nyata bagaimana teknologi dan gotong royong bisa menjadi kekuatan untuk membangun masa depan yang lebih baik,” katanya.
Gandrung Tirta adalah hasil kerjasama antara keempat organisasi tersebut.
Di antara lain terdapat Agroniaga, BIOPS Agrotekno, FAM Rural, serta Rise Social.
Terdapat tiga metode yang disampaikan dalam rangkaian program tersebut.
Pertama adalah teknologi pertanian yang menerapkan IoT dan AI agar para petani dapat mengawasi keadaan tanamannya dalam waktu nyata.
Dan juga meningkatkan efisiensi pemupukan, mengontrol serangan hama serta mengurangi kemungkinan kegagalan panen.
Yang kedua adalah Manajemen Sampah Organik yang melibatkan peran ibu-ibu rumah tangga.
Mereka bertanggung jawab untuk merubah sisa-sisa kulit kopi menjadi barang-barang yang memiliki nilai lebih, contohnya dompet dan pigura kacamata.
Limbah juga dipergunakan kembali sebagai pupuk serta berbagai produk yang ramah terhadap lingkungan.
Ketiga adalah Meningkatkan Kapasitas Instansi dan Pemuda lewat Penanaman Kopi Berkelanjutan serta Kegiatan Wirausaha.
Itu disampaikan ke petani kelompok dan pemuda untuk menguatkan ekosistem pertanian lokal.
Dengan menggunakan strategi ini diharapkan mampu meningkatkan kemahiran para petani dalam mengimplementasikan Praktik Pertanian Baik sebesar 80 persen,
“Dapat memperbaiki produksi kopi hingga 18 persen di tahun pertama serta mengantisipasi peningkatan penghasilan petani sampai dengan 15 persen,” demikian jelas Perwakilan Konsorsium Gandrung Tirta, Nasrullah Aziz.
Saat yang sama, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang Avicena Sani Putera menginginkan agar kehadiran program tersebut bisa memperbaiki kondisi finansial para petani kopi di wilayah Malang Raya.
Khususnya saat bekerja sama guna meningkatkan jangkauan pasar.
Saya berharap bahwa dengan adanya akses ke pasar ini, kita dapat bekerja sama untuk memastikan bahwa kopi lokal dari Malang pada akhirnya akan memiliki kesempatan pasar yang lebih luas.
“Paling tidak kopi lokal Malang ini dapat menjadikan dirinya sebagai tamu kehormatan di tanah kelahirannya sendiri,” katanya.
Dari hasil survey yang telah dilakukan, Avicena menyampaikan kalau kebanyakan kafe di Malang tidak menjual produk kopi lokal Malang.
Kopi yang ditawarkan malah berasal dari berbagai wilayah, misalnya saja kopi Aceh Gayo, kopi Bali Kintamani, dan seterusnya.
Alasannya pun beragam, salah satunya ialah kesulitan untuk mencari stok kopinya.
“Silakan dilihat sendiri, dari banyaknya kafe di Malang, mungkin hanya 15 persen saja yang masih menyediakan kopi lokal Malang, sisanya kopi luar semua,” ungkapnya.
Meskipun demikian, Pemerintah Kabupaten Malang sangat percaya diri terhadap perkembangan sektor perindustrian kopi.
Saat ini ada sekitar 18.000 hektar kebun kopi di Malang dengan 15.000 lahan yang masih produktif.
Lahan-lahan tersebut tersebar di sejumlah lereng gunung di wilayah Kabupaten Malang.
Mulai dari kaki gunung Semeru, kaki gunung Kawi, hingga kaki Gunung Arjuno.
“Kami optimis dengan industri kopi ini akan terus meningkat. Apalagi harga kopi sekarang juga sudah naik,”
“Bahkan ekspor kopi di Kabupaten Malang mencapai 45.000 ton per tahun,” tandasnya.

