Bila kehidupan dapat diselamatkan oleh jala laba-laba, mungkin kita telah terbebas dari kompleksitas kenyataan. Namun demikian, ini adalah kehidupan, tidak seperti dalam film.
Di kehidupan nyata, yang membebaskan kita bukanlah kemampuan istimewa, namun kerelaan menghadapi rintangan hidup yang membuat kita semakin tegar. Ini bisa berasal dari pengorbanan, kesedihan, pengetahuan akan kesalahan, serta tekad untuk terus maju walaupun tampaknya tidak ada harapan. Oleh karenanya, dunia ini jauh lebih membutuhkan sosok seseorang layaknya Peter Parker daripada seorang Spider-Man.
Kami mengagumi para pahlawan, terutama mereka yang memiliki gaya keren, tindakan sigap, serta mampu menolong dunia dengan kecepatan tinggi. Kami sangat memujian Spider-Man berkat kekuatan istimewanya.
Namun, seringkali kita melupakan bahwa di balik topeng tersebut, terdapat Peter Parker yang harus mengorbankan banyak hal untuk menjadi seorang pahlawan. Bukan dalam bentuk uang, tetapi dengan perasaannya serta kehidupan yang selalu dicoba dan diuji.
Dia kehilangan orang-orang terdekatnya, pernah pisah dari Mary Jane, bertengkar dengan temannya sendiri, dan bahkan beberapa kali mengalami pemutusan hubungan kerja.
Dan ia tetap memutuskan untuk menjadi orang yang baik.
Keyakinan Peter Parker melebihi kesulitan untuk mengeluarkan jaring-jaringnya. Dia bukanlah seorang penyelamat dunia demi popularitas. Dirinya tak berperan sebagai pahlawan hanya untuk diidolakan. Sebaliknya, dia memutuskan melaksanakan kebenaran meskipun hal tersebut semakin mempersulit hidupnya sendiri.
Inilah sebabnya dunia kita yang dipenuhi dengan drama dan egosentrisme tidak membutuhkan lebih banyak Spider-Man, melainkan lebih dibutuhkan orang-orang seperti Peter Parker yang rela menghadapi luka namun tetap bertahan dalam kebaikan hati mereka.
Namun jika memang terdapat Spider-Man di dunia nyata yang mampu melompat dari satu bangunan ke bangunan lain, menyelamatkan kota dengan cepat, serta mengundang rasa kagum bagi banyak orang, dia tetap perlu memiliki sifat-sifat layaknya Peter Parker.
Karena kekuatan besar, tanpa hati yang besar, hanya akan menghasilkan kehancuran.
Apa gunanya bisa menyelamatkan kota kalau tidak bisa memahami rasa sakit orang lain? Apa gunanya punya kekuatan luar biasa kalau hatinya mudah benci dan membalas dendam?
Justru Peter Parker menunjukkan bahwa kekuatan sejati bukan pada otot atau jaring, tapi pada kemampuannya untuk memaafkan, mengalah, dan tetap tersenyum meski hancur di dalam.
Kita hidup di zaman yang gemar menghukum, cepat menghakimi, dan lambat memahami. Orang salah sedikit langsung dicap buruk. Salah langkah, langsung dibatalkan. Padahal hidup tidak semudah jalan cerita film. Semua orang pernah jatuh.
Itulah saat di mana Peter Parker mulai penting.
Ia bukan orang yang sempurna. Ia berkali-kali gagal. Tapi justru karena itulah ia mewakili kita semua yang pernah merasa hancur, pernah membuat kesalahan, dan pernah hampir menyerah. Tapi dia memilih bertahan. Memilih menjadi baik meski dunia tidak selalu membalasnya dengan hal yang sama.
Menjadi Peter Parker bukan soal jadi pahlawan. Tapi soal jadi manusia yang tetap memiliki hati di tengah dunia yang semakin dingin.
Dan kalau kamu hari ini sedang merasa tidak cukup kuat, sedang patah, sedang kehilangan arah, mungkin kamu sedang berada dalam fase “Peter Parker-mu”. Tidak apa-apa.
Peter Parker tidak punya semua jawaban, tapi ia punya keberanian untuk bertanya. Ia tidak punya semua kekuatan, tapi ia punya ketabahan untuk tetap berjuang. Ia bukan orang yang sempurna, tapi ia selalu berusaha menjadi lebih baik dari kemarin.
Dunia modern sering kali mendorong kita untuk terlihat seperti pahlawan yang sukses, bahagia, dan kuat setiap saat. Tapi apa jadinya kalau di balik pencapaian itu, kita malah kehilangan sisi kemanusiaan kita? Maka jangan heran kalau dunia semakin ramai tapi terasa sepi.
Dunia tidak sedang kekurangan orang pintar, cepat, dan berbakat. Dunia sedang kekurangan orang yang sabar, peduli, dan tidak mendendam. Dunia sedang merindukan mereka yang tetap lembut meski pernah disakiti. Yang tetap tulus meski sering tidak dihargai.
Dan itulah Peter Parker.
Bukan cuma tentang pahlawan berselimut topeng. Tetapi juga tentang manusia yang mengerti perihal kerinduan, merasakan kekecewaaan, dan pengalamannya gagal tapi tetap memilih untuk tak berubah jadi kejam.
Peter Parker tidak akan membalas dendam walaupun kesempatannya ada di depan mata. Dia juga tidak akan meninggalkan orang lain cuma gara-gara hal tersebut merugikan dirinya. Bahkan saat perasaannya tengah hampa, dia masih menunjukkan rasa prihatinnya. Itulah jenis kekuatan yang sangat jarang ditemui pada manusia.
Oleh karena itu, apabila pada akhirnya benar-benar ada Spider-Man yang dilahirkan di dunia nyata, kita perlu berdoa agar ia tak hanya mendapatkan kekuatan sang pahlawan, tetapi juga ketulusan jiwanya.
Saat ini dunia tak membutuhkan semakin banyak pahlawan otot besar. Yang kita perlukan adalah orang-orang yang mampu merawat nurani mereka.
Jadi, apabila pada hari ini kamu merasa hanyalah seorang yang tak berarti, terabaikan, atau bahkan sering kali menghadapi kegagalan, ingatlah tentang Peter Parker. Ia juga pernah demikian.
Tantangan Venom Untuk Berubah Hitam
Salah satu aspek krusial dari petualangan Peter Parker yang seringkali tidak diperbincangkan dengan detail adalah ketika dia diserang oleh Venom.
Simbiot hitam tersebut tidak sekadar merubah penampilannya saja, tetapi nyaris memusnahkan aspek positif di dalam dirinya. Dia menjadi lebih tangguh, lebih gesit, dan lebih agresif. Namun, dia pun berubah menjadi lebih keras kepala, lebih menuntut kepentingan sendiri, serta semakin terlepas dari identitas aslinya.
Venom tidak sekadar wujud dari luar angkasa. Dia melambangkan egotisme, rasa benci, serta hasrat untuk membayar kembali penderitaan menggunakan kekuatannya.
Ketika Peter menggunakan benda itu, ia merasa tidak bisa dikalahkan. Namun secara bertahap, ia mulai hilang jati diri sendiri. Saat ia melukai orang lain, ia sadar bahwa memiliki kekuatan bukanlah hal utama. Lebih dari itu, yang paling berarti adalah cara kita menggunakan kekuatan tersebut.
Bukankan kita juga kerap merasakan hal demikian?
Kita tahu rasanya digoda untuk membalas ketika disakiti. Kita ingin terlihat kuat saat diremehkan. Kita ingin menang dengan cara apa pun. Tapi seperti Peter, jika kita membiarkan “Venom” menguasai kita, bisa jadi kita menang dari luar namun kalah dari dalam.
Akhirnya Peter menentang kekuatan gelap tersebut walaupun artinya dia mesti menjadi lebih lemah lagi. Namun, dia memutuskan untuk mengembalikan diri sebagai seorang manusia daripada jadi makhluk monstrositas. Itulah yang benar-benar dianggap kemenangan olehnya.
Kekuatan mungkin menjadikanmu terkagum-kagum, tetapi kekuatan hati yang kukusila akan membawa kenangan padamu. Mungkin saja, hatimu layaknya Peter Parker telah beraksi tanpa diketahui, menyelamatkan dunia ini.

