ZONA GADGET, JAKARTA—Para pengamat berpendapat bahwa etika sendiri tidak cukup untuk membentuk peraturan tentang Kecerdasan Buatan (KB).
Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bertujuan untuk menyelesaikan pembuatan peta jalan (roadmap) kecerdasan buatan (AI) pada bulan Juni tahun 2025. Fokus utama di fase awal dari peraturan ini adalah aspek etika dalam menggunakan teknologi AI.
Heru Sutadi, Direktur Eksekutif dari Indonesia ICT Institute, menggarisbawahi kebutuhan untuk menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif saat menyusun rute jalan bagi teknologi AI.
“Kita mendukung adanya Rencana Pembangunan AI di Indonesia,” ujar Heru ketika diwawancara oleh Bisnis pada hari Kamis (19/6/2025). Meski demikian, menurutnya masih terdapat berbagai elemen penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatannya.
Heru mengatakan etika memang merupakan salah satu aspek penting, namun masih banyak aspek lain yang perlu diperhatikan. Karena itu, ia berharap peta jalan ini disusun secara komprehensif dan dapat menjadi dasar untuk penyusunan RUU Kecerdasan Buatan.
Selanjutnya, Heru menyoroti beberapa elemen penting lainnya, termasuk kesetaraan informasi tentang algoritme AI, proteksi terhadap data pribadi dan kerahasiaannya, serta risiko eksploitasi teknologi seperti deepfake dan bot percakapan palsu. Ia pun mementaskan betapa vitalnya prinsip ketidakdiskriminan dan keadilan di dalam algoritma AI, sambil memperjuangkan diperlukan sistem evaluasi yang mencakup partisipasi seluruh stakeholder dengan cara yang merata.
“Terkait algoritma juga, ini harus dijaga keadilan dan nondiskriminasi, jadi ada rekomendasi mengembangkan pedoman untuk pengujian dan audit algoritma yang melibatkan representasi stakeholder secara adil,” tambahnya.
Heru mendukung pembentukan peraturan yang ketat tetapi juga fleksibel mengingat kemajuan teknologi. Ia memberikan contoh beberapa negara lainnya yang sudah merancang aturan spesifik tentang kecerdasan buatan seperti Undang-Undang AI Uni Eropa, UU Akt AI Kanada, dan peraturan baru-baru ini disahkan oleh Jepang. Sementara itu, di Amerika Serikat, strateginya dituangkan melalui Perintah Eksekutif Tentang AI Aman, Terlindungi, dan Percaya Diri.
Heru mengatakan bahwa kita harus mempromosikan regulasi yang jelas dan fleksibel, termasuk membentuk undang-undang spesifik terkait dengan kecerdasan buatan.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid sebelumnya mengungkapkan bahwa aturan pertama dalam peta jalan AI kemungkinan akan mengatur soal etika penggunaan AI.
“Jadi kemungkinan besar, ini sedikit bocoran, bahwa aturan pertama terkait artificial intelligence akan menyangkut dengan etika AI itu sendiri,” ujar Meutya saat ditemui di Makassar pada 16 Juni 2025.
Dia menyebutkan bahwa metode pengaturan di Indonesia tidak akan hadir dalam bentuk sebuah kebijakan utama, tetapi justru akan disusun secara terpisah menurut sektor atau aspeknya. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan antara proteksi publik dengan memberikan ruang bagi perkembangan inovatif.
Meutya juga menggarisbawahi kebutuhan implementasi penandaan pada produk-produk berbasis AI, seiring dengan meningkatnya diskusi masyarakat tentang output AI yang tampak sangat nyata, contohnya seperti insiden foto tambang tiruan produksi AI yang diklaim berasal dari Raja Ampat.
“Yang barusan disebut adalah etika, oleh karena itu di sejumlah negara yang kita periksa, penandaan AI memang diperlukan. Jika seseorang menggunakan AI untuk menyebarkan berita bohong, mereka mungkin tidak akan mengedepankan etika,” ungkap Meutya.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menyampaikan bahwa penyusunan roadmap AI melibatkan forum-forum diskusi dan kerja sama lintas sektor, termasuk masukan dari perusahaan dan lembaga riset.
“Diskusi sudah berlangsung di beberapa forum, termasuk juga kerja sama kita dengan beberapa organisasi dan beberapa company yang ikut mendukung,” ungkap Nezar.
Dia juga mengapresiasi kontribusi lembaga seperti Mandala Consulting yang telah melakukan pemetaan posisi Indonesia dalam lanskap global tata kelola AI.

