Sabtu, Desember 6, 2025
BerandaUncategorizedMasa Depan "AI Bubble" Diperkirakan Para Analis

Masa Depan “AI Bubble” Diperkirakan Para Analis

Isu Gelembung Kecerdasan Buatan: Apakah Ini Benar-benar Terjadi?

Industri kecerdasan buatan (AI) yang saat ini sedang menjadi sorotan global kini menghadapi kekhawatiran besar. Isu tentang “gelembung AI” atau AI bubble kembali muncul setelah dua investor besar, Peter Thiel dan SoftBank, menjual seluruh saham Nvidia yang mereka miliki. Langkah ini memicu kegelisahan di pasar, mengingat Nvidia selama dua tahun terakhir dianggap sebagai indikator utama pertumbuhan industri AI.

Gelembung AI bisa diartikan sebagai situasi di mana tren AI sedang naik tinggi, semua orang bicara tentangnya, perusahaan berlomba-lomba menggunakan teknologi AI, dan investor menanamkan dana besar. Namun, perkembangan atau profit yang dihasilkan belum tentu secepat atau sebesar yang dibayangkan. Analoginya seperti gelembung sabun yang semakin besar, namun bisa pecah kapan saja jika isinya tidak stabil.

Jika gelembung tersebut benar-benar terjadi, industri yang saat ini sedang hype bisa berantakan jika kondisinya tidak stabil. Pertanyaannya, apakah kita sedang menuju ke arah itu? Pendapat analis pun terbelah. Ada yang berpendapat bahwa kondisi pasar AI saat ini memiliki ciri-ciri mirip bubble klasik seperti era dot-com pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Namun, ada juga analis yang optimis bahwa industri AI kali ini berbeda dari masa lalu.

Sinyal Investor Besar “Cabut”

Dalam laporan terbarunya, hedge fund milik Peter Thiel, Thiel Macro, menjual seluruh 537.742 saham Nvidia yang dimilikinya pada kuartal III-2025. Nilainya diperkirakan mencapai 100 juta dollar AS. Langkah ini terjadi hanya beberapa hari setelah SoftBank dilaporkan menjual seluruh saham Nvidia yang mereka pegang senilai sekitar 5,8 miliar dollar AS.

Aksi jual besar ini memicu kekhawatiran bahwa valuasi sektor AI sudah terlalu tinggi. Valuasi merujuk pada nilai total sebuah perusahaan berdasarkan perkiraan harga jika dijual saat ini. Dengan kemunculan ChatGPT pada 2022, saham-saham terkait AI telah menjadi motor penggerak pasar global. Menurut laporan Euro News, kontribusinya luar biasa, sekitar 75 persen dari return S&P 500, 80 persen pertumbuhan laba, dan 90 persen belanja modal berasal dari sektor AI.

Valuasi gabungan raksasa teknologi seperti Nvidia, Microsoft, Apple, Alphabet, Amazon, Meta Platforms, dan Tesla, atau dikenal sebagai “Magnificent Seven”, kini setara atau lebih besar dari perekonomian negara besar dunia seperti China. Bukti konkret lainnya adalah lonjakan valuasi Nvidia sebesar 300% dalam dua tahun terakhir. Kini, Nvidia menjadi satu-satunya perusahaan dengan valuasi lebih dari 4 triliun dollar AS.

UBS: Pola Mirip Dot-Com Bubble

Andrew Garthwaite, Chief Global Equity Strategist UBS, berpendapat bahwa euforia AI saat ini menunjukkan pola yang mirip dengan dot-com bubble. Tanda pertama adalah maraknya perilaku “buy the dip”, yakni ketika investor membeli saham perusahaan AI saat harganya turun karena percaya nilainya akan naik lagi. Ciri kedua adalah keyakinan investor bahwa teknologi AI akan menjadi revolusi besar, sehingga “kali ini pasti berbeda”. Ciri ketiga adalah meningkatnya jumlah investor ritel yang masuk ke saham teknologi.

Menurut Garthwaite, sekitar 21 persen rumah tangga di Amerika kini memiliki saham individu, dan angka ini naik menjadi 33 persen jika termasuk investasi lewat reksa dana. Namun, ia mengingatkan bahwa hampir seluruh pertumbuhan laba hanya datang dari segelintir perusahaan besar.

Goldman Sachs: Tidak Sama

Tidak semua analis sepakat bahwa lonjakan sektor AI saat ini layak disamakan dengan gelembung dot-com. Peter Oppenheimer dari Goldman Sachs mengatakan bahwa kondisi industri sekarang jauh berbeda dari era dot-com. Raksasa AI seperti Nvidia, Microsoft, atau Alphabet/Google bukan sekadar menjual mimpi. Kenaikan harga saham mereka diiringi pertumbuhan laba yang konsisten, bukan sekadar spekulasi pasar.

Oppenheimer juga menilai bahwa valuasi tinggi perusahaan AI saat ini lebih disebabkan oleh faktor makroekonomi seperti suku bunga rendah dan tingginya tingkat tabungan global. Perbedaan penting antara ledakan AI dan bubble dot-com ada pada rasio valuasi perusahaan. Median P/E forward 24 bulan untuk kelompok “Magnificent Seven” saat ini berada di angka 26,8 atau 27 kali laba. Angka ini jauh lebih rendah dibanding saat dot-com bubble.

Pandangan Lain dari Jordi Visser

Jordi Visser, Head of AI Macro Nexus Research di 22V Research, menilai masalah utama industri AI bukanlah spekulasi pasar atau valuasi tinggi, tetapi ketidakseimbangan antara permintaan dan kapasitas infrastruktur. Ia menjelaskan bahwa permintaan terhadap GPU, daya listrik, server, dan data center tumbuh jauh lebih cepat dibanding kemampuan industri untuk menyediakannya. Tantangan AI ke depan justru berada pada eksekusi, bukan sekadar besaran investasi. Perusahaan yang mampu bertahan dan berkembang adalah mereka yang bisa mengelola keterbatasan fisik seperti suplai listrik, kapasitas data center, dan ketersediaan chip.

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular