Negara-negara Tertentu Menggunakan AI untuk Serangan Siber
Laporan terbaru yang dirilis oleh Microsoft menunjukkan bahwa sejumlah negara seperti Rusia, Tiongkok, Iran, dan Korea Utara semakin aktif dalam memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) sebagai alat untuk menipu dan melancarkan serangan siber terhadap Amerika Serikat. Pada Juli 2025, Microsoft mengungkap lebih dari 200 kasus penggunaan AI untuk menciptakan konten palsu di internet. Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan Juli 2024 dan sepuluh kali lebih banyak dibandingkan tahun 2023.
Laporan tersebut merupakan bagian dari laporan tahunan Microsoft tentang ancaman digital. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa beberapa negara terus mengembangkan strategi baru dan kreatif dalam menggunakan internet sebagai senjata dalam aktivitas spionase dan penipuan. Penggunaan AI dalam serangan siber bertujuan untuk memperkuat dan mengotomatisasi tindakan jahat, baik oleh kelompok kriminal maupun negara-negara yang menjadi lawan AS.
Tujuan Penggunaan AI dalam Serangan Siber
AI digunakan oleh berbagai pihak, termasuk perusahaan peretas dan kelompok kriminal, untuk menyebarkan informasi palsu serta menembus sistem sensitif. Dalam operasi siber yang dilakukan pemerintah, tujuannya biasanya adalah mencuri informasi rahasia, mengganggu rantai pasokan, mengacaukan layanan publik, atau menyebarkan disinformasi. Sementara itu, para pelaku kejahatan siber umumnya melakukan aksi mereka untuk keuntungan finansial, seperti mencuri rahasia perusahaan atau menggunakan ransomware untuk memeras uang dari korban.
Kelompok-kelompok ini bertanggung jawab atas sebagian besar serangan siber di dunia, dengan beberapa di antaranya diduga bekerja sama dengan negara-negara tertentu seperti Rusia. Amerika Serikat menjadi target utama serangan siber, dengan 20 persen dari seluruh serangan yang terjadi ditujukan ke AS. Diikuti oleh Inggris (12 persen) dan Ukraina (11 persen), yang menjadi satu-satunya negara non-NATO dalam daftar 10 besar negara yang paling sering diserang.
Respons dari Negara-negara Terkait
Rusia, Tiongkok, dan Iran secara bersama-sama menolak tuduhan bahwa mereka menggunakan operasi siber untuk mata-mata, gangguan, atau penyebaran disinformasi. Tiongkok menyatakan bahwa AS sedang berusaha “menjelekkan” Beijing sambil melakukan serangan siber sendiri. Dalam pernyataannya kepada Associated Press, perwakilan Iran di PBB menegaskan bahwa Iran tidak pernah melakukan operasi siber ofensif terhadap negara mana pun. Namun, sebagai korban serangan siber, Iran akan merespons setiap ancaman dengan cara yang sepadan.
Sementara itu, Korea Utara diketahui telah mengembangkan metode baru dalam memanfaatkan AI. Mereka menciptakan identitas digital palsu yang menyerupai orang Amerika untuk melamar pekerjaan teknologi jarak jauh. Gaji dari pekerjaan tersebut masuk ke kas pemerintah Korea Utara, sementara para peretas menggunakan akses tersebut untuk mencuri data rahasia atau menanam malware.
Ancaman Akan Semakin Serius
Amy Hogan-Burney, Wakil Presiden Microsoft Bidang Keamanan dan Kepercayaan Pelanggan, menyatakan bahwa saat ini semakin banyak penyerang yang menggunakan AI untuk menargetkan pemerintah, bisnis, dan infrastruktur penting seperti rumah sakit dan jaringan transportasi. Menurutnya, banyak perusahaan dan organisasi di AS masih mengandalkan sistem keamanan lama.
“Kita sedang berada di momen penting, di mana inovasi berkembang sangat cepat. Tahun ini adalah saat di mana setiap organisasi harus berinvestasi serius di keamanan siber dasar,” kata Hogan-Burney.
Nicole Jiang, CEO perusahaan keamanan siber Fable di San Francisco, memprediksi bahwa ancaman serupa akan semakin sering terjadi di masa depan. Meskipun AI membuat para pelaku kejahatan digital lebih mudah menipu, di sisi lain, AI juga bisa menjadi alat pertahanan penting untuk mendeteksi dan melawan serangan.
“Dunia siber itu seperti permainan kucing dan tikus. Yang mereka kejar selalu sama, akses, data, informasi, dan uang,” ujar Jiang.

