JAKARTA, ZONAGADGET– Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria menyatakan, manusia mungkin tidak bisa menahan laju teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence sehingga manusia butuh menjaga kemampuan berpikir kritis (critical thinking).
Hal ini disampaikan Nezar dalam acara bedah buku Neksus: Riwayat Jejaring Informasi, dari Zaman Batu ke Akal Imitasi karya Yuval Noah Harari, yang digelar di Kantor Kementerian Komunikasi dan Digital, Senin (21/7/2025).
“Yang paling penting adalah tetap menjaga critical thinking, termasuk bagaimana kita berhubungan dengan artificial intelligence,” kata Nezar, Senin sore.
“Kita mungkin tidak bisa menahan laju teknologi ini, karena dia sudah berkembang, saraf-saraf AI untuk terus tumbuh juga sudah ada,” imbuh dia.
Menurut Nezar, jika tidak diimbangi dengan pemahaman kritis, teknologi AI justru dapat membentuk narasi, memunculkan tokoh-tokoh fiktif, dan mengarahkan opini publik secara manipulatif.
“Tiba-tiba bisa muncul tokoh yang tidak jelas asal-usulnya, tapi jadi populer karena algoritma. Nah, di sini pentingnya critical thinking, agar kita tidak terjebak dan tetap bisa mengambil jarak,” kata dia.
Ia pun menekankan bahwa teknologi ini tetap memiliki potensi besar untuk manfaat sosial dan ekonomi, asalkan digunakan dengan bijak.
“Kita harus tahu bahwa ini semua yang bikin manusia, dan kita harus cukup kritis dan tidak terserap masuk, tapi mengambil jarak,” kata Nezar.
“Menggunakannya (AI) secara tepat yang penting, memaksimalkan manfaatnya, kemudian memperkecil risiko-risikonya,” ujar dia.
Nezar menjelaskan, kemajuan AI saat ini sangat ditopang oleh dua faktor utama, yaitu ketersediaan big data dan konektivitas digital global.
Kedua hal tersebut tidak dimiliki dunia pada dekade 1980-an dan 1990-an, sedangkan sekarang maoritas permukaan bumi terhubung dengan data ang membuat AI bisa tumbuh.
Ia menuturkan, AI modern bekerja dengan cara mengolah data melalui algoritma, yang awalnya dikembangkan untuk keperluan pemasaran di media sosial, namun kini telah berkembang meluas ke ranah politik dan sosial.
“Awalnya kan kalau di media sosial, kebutuhannya buat marketing. Jadi, enggak ada niat yang lain-lain kecuali mengumpulkan data-data kita, profiling kita semua gitu ya,” kata dia.
“Dia bisa dijual sebagai audiens untuk iklan, lama-lama karena dia sudah canggih sekali algoritmanya, dia bisa micro-targeting, apa yang kita suka, apa yang kita tidak suka,” kta Nezar.

