Pengertian Deepfake dan Dampaknya terhadap Masyarakat
Di era digital yang berkembang pesat, teknologi telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu inovasi yang menarik perhatian adalah Generative Artificial Intelligence (Gen-AI), yang mampu menciptakan konten visual maupun audio dengan tingkat realisme yang sangat tinggi. Namun, di balik kemajuan ini, muncul pula sisi gelap yang memicu kekhawatiran, salah satunya adalah Deepfake.
Deepfake adalah istilah yang menggabungkan kata “deep learning” dan “fake”. Teknologi ini menggunakan kecerdasan buatan berbasis pembelajaran mendalam untuk memanipulasi gambar, suara, atau video agar tampak seolah-olah nyata. Dengan hanya bermodalkan satu foto atau potongan suara, seseorang kini bisa menciptakan video yang menampilkan tokoh publik berbicara atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
Kejahatan Deepfake menimbulkan kekhawatiran karena semakin sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Awalnya, Deepfake digunakan untuk hiburan, eksperimen teknologi, atau kebutuhan industri kreatif. Namun, dalam perkembangannya, teknologi ini mulai dimanfaatkan untuk tujuan negatif seperti penipuan, manipulasi opini publik, hingga pencemaran nama baik.
Laporan terbaru menunjukkan bahwa tren Deepfake meningkat drastis di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Data menyebutkan kenaikan sebesar 1550 persen di Indonesia dalam periode 2022–2023. Angka ini menunjukkan betapa cepat dan masifnya penyebaran teknologi ini di masyarakat.
Salah satu kasus yang viral di Indonesia adalah video AI yang menampilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam video tersebut, wajah dan suara Sri Mulyani dimanipulasi sedemikian rupa sehingga tampak seperti ia memberikan pernyataan tertentu yang tidak pernah dibuatnya. Video ini sempat viral di media sosial dan menimbulkan kebingungan publik. Kasus ini menegaskan bahwa siapa pun bisa menjadi korban manipulasi teknologi.
Fenomena Deepfake tidak hanya merugikan individu yang menjadi target, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas sosial dan politik. Bayangkan apabila sebuah video Deepfake menampilkan tokoh pemerintahan yang mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait isu sensitif. Hal ini bisa memicu kepanikan, perpecahan, atau bahkan konflik di masyarakat.
Bagaimana Cara Kerja Deepfake?
Secara teknis, Deepfake bekerja dengan memanfaatkan algoritma deep learning dan teknik generative adversarial networks (GANs). Dua sistem kecerdasan buatan ini “berkompetisi” untuk menghasilkan konten yang semakin realistis. Satu sistem menciptakan gambar atau suara palsu, sementara sistem lainnya berperan sebagai “detektor” untuk menilai keaslian. Proses ini dilakukan berulang kali hingga hasil akhirnya sangat sulit dibedakan dari konten asli.
Dulu, membuat Deepfake membutuhkan perangkat khusus dan keahlian teknis. Kini, siapa pun bisa melakukannya hanya dengan aplikasi di ponsel pintar. Inilah yang membuat penyebarannya semakin cepat dan sulit dikendalikan. Sayangnya, kemudahan ini juga membuka peluang bagi para pelaku kejahatan siber untuk memanfaatkannya dalam aksi penipuan, pemerasan, hingga pencurian identitas.
Ancaman Nyata Deepfake bagi Indonesia
Kasus Sri Mulyani menjadi peringatan penting bahwa ancaman Deepfake nyata adanya di Indonesia. Tidak hanya pejabat publik, masyarakat biasa pun rentan menjadi korban. Contoh nyata adalah penyalahgunaan foto-foto pribadi dari media sosial untuk membuat video palsu yang kemudian digunakan dalam penipuan pinjaman online atau kejahatan digital lainnya.
Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga reputasi dan psikologis. Lebih jauh lagi, dalam konteks politik, Deepfake berpotensi digunakan untuk menyebarkan hoaks dan propaganda. Menjelang pemilu, misalnya, video manipulasi bisa dipakai untuk menjatuhkan lawan politik atau menggiring opini masyarakat. Dampaknya bisa sangat besar, mulai dari rusaknya demokrasi hingga munculnya ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara.
Upaya Pencegahan dan Solusi
Untuk melawan ancaman ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri teknologi, media, dan masyarakat. Dari sisi regulasi, pemerintah perlu menyusun kebijakan yang jelas terkait penggunaan dan penyebaran konten manipulatif berbasis AI. Dari sisi teknologi, perusahaan seperti Vida telah berupaya mengembangkan sistem otentikasi berbasis AI untuk melawan manipulasi digital. Sementara dari sisi masyarakat, literasi digital menjadi kunci agar publik mampu mengenali dan tidak mudah terjebak oleh konten Deepfake.

