Peraturan Presiden sebagai Dasar Hukum Kecerdasan Buatan di Indonesia
Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan peraturan presiden (perpres) yang akan menjadi dasar hukum pertama terkait keamanan dan keselamatan penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di Tanah Air. Aturan ini merupakan bagian dari peta jalan AI nasional dan diharapkan rampung sebelum akhir tahun 2025.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menjelaskan bahwa perpres tersebut disusun untuk memastikan pengembangan dan penggunaan teknologi AI berjalan dengan aman, etis, serta berpihak pada kepentingan publik. Draf perpres ini ditargetkan selesai pada Oktober 2025, namun masih harus melalui tahap harmonisasi antar-kementerian dan lembaga agar tidak terjadi tumpang tindih regulasi.
Peta jalan AI nasional akan menjadi pedoman pengembangan ekosistem kecerdasan buatan di Indonesia. Tujuan utamanya adalah memastikan penggunaan AI memberikan manfaat optimal bagi masyarakat tanpa menimbulkan risiko yang tak terkendali. Spiritnya adalah memaksimalkan manfaat dari AI dan meminimalkan risiko-risiko yang muncul.
Dalam peta jalan tersebut, AI akan diarahkan untuk mendukung berbagai sektor strategis nasional seperti kesehatan, pendidikan, keuangan, layanan publik, dan transportasi. Pemerintah juga akan menekankan aspek etika penggunaan AI, termasuk prinsip akuntabilitas, transparansi, dan keberpihakan terhadap industri kreatif. Dalam peta jalan ini, keseimbangan antara inovasi dan proteksi terhadap risiko akan menjadi fokus utama.
Meskipun perpres AI ini tidak mengatur sanksi pidana secara langsung, regulasi tersebut lebih bersifat pedoman tata kelola. Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan AI tetap mengacu pada aturan yang sudah ada, seperti Undang-Undang ITE. Jika ada pelanggaran yang bersifat pidana, aparat penegak hukum dapat merujuk pada KUHP atau undang-undang lainnya.
Langkah Indonesia dalam menyusun perpres AI sejalan dengan tren global, di mana berbagai negara maju juga memperkuat pengaturan terhadap penggunaan kecerdasan buatan. Uni Eropa telah mengesahkan AI Act, regulasi komprehensif yang mengatur penggunaan AI berdasarkan tingkat risiko. Aturan ini melarang praktik berisiko tinggi seperti social scoring dan pengawasan biometrik real-time di ruang publik.
Sementara Amerika Serikat belum memiliki undang-undang nasional khusus mengenai AI, pemerintah federal AS hanya menerapkan executive orders yang menekankan keamanan, privasi, dan non-diskriminasi dalam penggunaan teknologi AI. Di Inggris, pendekatan yang lebih fleksibel digunakan melalui white paper bertajuk “A pro-innovation approach to AI regulation”. Negara ini tidak membuat undang-undang khusus, tetapi mengandalkan aturan yang sudah ada, seperti perlindungan data dan hukum anti-diskriminasi.
Australia telah menerapkan AI Ethics Principles sejak 2019 dan kini tengah menyusun batasan wajib atau mandatory guardrails untuk sistem AI berisiko tinggi. Sementara China menerapkan regulasi ketat untuk layanan AI generatif sejak Agustus 2023, termasuk kewajiban pelabelan konten buatan AI dan pencegahan penyebaran informasi ilegal.
Dibandingkan dengan pendekatan negara-negara lain, Indonesia saat ini mengambil model serupa dengan Inggris dan Australia—yakni menyiapkan kerangka etika dan tata kelola yang bersifat pedoman, bukan sanksi hukum langsung. Pendekatan ini dianggap penting untuk menjaga ruang inovasi tetap terbuka, sekaligus memastikan fondasi hukum yang kuat untuk melindungi masyarakat dari risiko yang mungkin muncul akibat perkembangan AI yang pesat.
Pemerintah berharap, setelah perpres ini berlaku, Indonesia memiliki arah strategis nasional dalam pengembangan AI yang seimbang antara dorongan inovasi dan perlindungan publik. Dengan regulasi yang terukur dan peta jalan yang jelas, Indonesia diharapkan mampu mengejar ketertinggalan dalam transformasi digital sekaligus memastikan kecerdasan buatan digunakan secara aman, etis, dan bertanggung jawab.

