Dampak Trauma yang Muncul Akibat Video Deepfake di Semarang
Kasus video deepfake AI yang terjadi di Semarang baru-baru ini kembali mengingatkan masyarakat akan bahaya penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan. Seorang alumni SMAN 11 Semarang, Chiko Radityatama Agung Putra, menjadi sorotan setelah menyebarkan video hasil rekayasa AI yang menampilkan wajah guru dan teman-temannya dalam bentuk video tak senonoh. Video tersebut diunggah melalui akun media sosial X (Twitter) milik pelaku dan sejumlah korban telah melaporkan kasus tersebut ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Jawa Tengah.
Luka Psikologis Mendalam yang Dialami Para Korban
Di balik viralnya kasus ini, ada luka psikologis mendalam yang dialami para korban. Menurut Psikolog Meity Arianty, dampak yang muncul tidak hanya sebatas rasa malu dan marah, tetapi bisa berkembang menjadi trauma jangka panjang yang mengganggu kesejahteraan mental seseorang. Berikut adalah beberapa dampak yang muncul dari konten deepfake:
Konten Deepfake Bisa Rusak Citra Diri dan Privasi Korban
Video deepfake AI yang digunakan untuk tujuan seksual atau eksploitasi dapat merusak identitas dan privasi seseorang secara serius. “Konten deepfake AI ini bisa memicu trauma, terutama karena sifatnya yang merusak citra diri dan privasi seseorang,” jelas Meity saat diwawancarai. Bagi korban, penyebaran konten semacam itu seolah menghapus kendali atas tubuh dan reputasi mereka di ruang publik. Meskipun video tersebut merupakan hasil manipulasi, dampak sosial dan emosionalnya terasa nyata.Rasa Malu dan Terhina Bisa Berujung Trauma Emosional
Pengalaman menjadi korban deepfake dapat menimbulkan perasaan terhina, cemas, dan bahkan memicu gangguan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). “Trauma bisa menciptakan perasaan terhina, cemas, dan terisolasi, serta meningkatkan risiko gangguan mental seperti depresi, kecemasan sosial, dan PTSD,” ujarnya. Korban biasanya merasa tidak lagi memiliki kontrol terhadap dirinya sendiri, terutama karena konten yang sudah tersebar sulit dihapus sepenuhnya dari internet.Gangguan Kepercayaan Diri dan Kesulitan Menjalin Hubungan Sehat
Lebih jauh, Meity menjelaskan, korban video deepfake kerap kehilangan rasa aman di dunia digital dan kesulitan untuk menjalin hubungan yang sehat di kemudian hari. “Korban juga dapat merasa tidak aman di dunia digital, mengganggu kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan sehat dan merasakan kontrol atas identitas mereka,” kata Meity. Ketika rasa percaya diri dan keamanan psikologis terganggu, korban akan cenderung menutup diri dari lingkungan sosial.Efek Trauma Bisa Berlangsung Lama
Meity juga mengungkap beberapa penelitian yang menemukan bahwa paparan terhadap konten pornografi yang dibuat tanpa izin, terutama dengan manipulasi wajah atau tubuh seseorang, dapat berefek cukup lama. “Penelitian menunjukkan, paparan konten pornografi yang tidak sah, terutama yang melibatkan manipulasi citra diri, dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis dalam jangka panjang,” ungkapnya. Ia menambahkan, trauma emosional semacam ini seringkali sulit pulih tanpa penanganan yang tepat.
Pentingnya Dukungan dan Intervensi Psikologis
Dalam menghadapi kasus seperti ini, Meity menekankan pentingnya dukungan sosial dan intervensi psikologis bagi korban. Mereka perlu mendapatkan pendampingan agar tidak merasa sendirian menghadapi tekanan yang timbul akibat penyalahgunaan teknologi AI. Keluarga, teman, serta pihak sekolah dapat berperan penting dengan menciptakan lingkungan yang aman untuk berbicara dan memulihkan diri. Di sisi lain, penegakan hukum terhadap pelaku juga menjadi bentuk validasi dan perlindungan bagi korban.
Kasus deepfake di Semarang menjadi peringatan bahwa kemajuan teknologi tidak selalu diiringi kesadaran etika penggunaannya. Perlu upaya bersama untuk meningkatkan literasi digital dan empati sosial, agar teknologi AI digunakan secara bijak dan tidak disalahgunakan untuk merugikan orang lain.

