Munculnya Gambar AI dalam Kampanye Kemanusiaan: Dampak Etika dan Perspektif Baru
Kemajuan teknologi kini membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dunia kemanusiaan. Namun, salah satu inovasi yang muncul belakangan ini menimbulkan kontroversi besar. Penggunaan gambar buatan kecerdasan buatan (AI) untuk kampanye bantuan kemanusiaan kini menjadi sorotan utama. Gambar-gambar ini, yang tampak nyata, sering kali menampilkan penderitaan ekstrem, seperti anak-anak, korban kekerasan seksual, atau orang-orang miskin, yang sebenarnya tidak ada atau tidak sesuai dengan kenyataan.
Penyebab dan Keberadaan Gambar AI dalam Kampanye
Menurut peneliti Arsenii Alenichev dari Institute of Tropical Medicine di Antwerpen, penggunaan gambar sintetis ini dipicu oleh dua faktor utama, yaitu masalah biaya dan persetujuan. Banyak organisasi kemanusiaan memilih gambar AI karena lebih murah dan tidak memerlukan izin dari subjek asli. Hal ini terlebih didorong oleh pemotongan anggaran bantuan Amerika Serikat, yang mendorong lembaga mencari cara visual yang efisien namun menghadirkan dilema etika.
Gambar-gambar bertema kemiskinan kini banyak ditemukan di situs stok foto populer seperti Adobe dan Freepik. Keterangan pada gambar tersebut sering kali menyebutkan situasi seperti “anak di kamp pengungsi” atau “relawan kulit putih memberi konsultasi medis kepada anak-anak kulit hitam di desa Afrika.” Harga lisensi untuk gambar semacam ini bisa mencapai hingga £60 atau setara Rp1,3 juta.
Kritik terhadap Gambar AI yang Menyebarkan Stereotip
Para ahli menilai bahwa gambar AI ini sangat rasialis dan memperkuat stereotip negatif tentang Afrika atau India. Arsenii Alenichev menegaskan bahwa seharusnya gambar-gambar ini tidak pernah diizinkan terbit karena memperkuat pandangan buruk tentang wilayah-wilayah tertentu. Ia menilai bahwa gambar-gambar tersebut sering kali meniru pola visual kemiskinan dengan citra yang penuh stereotip dan mereduksi penderitaan manusia menjadi sekadar simbol.
CEO Freepik Joaquín Abela menyatakan bahwa tanggung jawab etika ada di tangan pengguna, bukan penyedia platform. Ia menambahkan bahwa meskipun platform berusaha menyeimbangkan keragaman, jika pasar global menginginkan citra tertentu, tidak ada yang benar-benar bisa menghentikannya.
Perdebatan di Kalangan Lembaga Kemanusiaan
Polemik ini memicu perdebatan panjang di kalangan lembaga kemanusiaan. Sebagian organisasi berargumen bahwa penggunaan gambar AI dapat melindungi identitas dan privasi subjek rentan. Namun, bagi banyak pengamat, hal itu justru mengaburkan realitas dan berpotensi memperkuat bias sosial.
Konsultan komunikasi lembaga swadaya masyarakat, Kate Kardol, menyatakan bahwa menyedihkan bahwa perjuangan untuk representasi etis kini juga harus diperluas hingga ke dunia yang tidak nyata. Ia menyoroti pentingnya menjaga keaslian dan transparansi dalam penggunaan gambar.
Langkah-Langkah yang Diambil oleh Beberapa Lembaga
Beberapa lembaga internasional telah mengambil langkah korektif. Plan International, misalnya, kini melarang penggunaan AI untuk menggambarkan anak-anak secara individual setelah kampanye video mereka pada 2023 memicu kritik luas. “Kami telah mengadopsi pedoman baru untuk memastikan privasi dan martabat anak-anak tetap terlindungi,” tulis pernyataan resmi lembaga tersebut.
Tantangan di Masa Depan
Fenomena “poverty porn 2.0” ini menandai babak baru hubungan antara teknologi dan kemanusiaan. Di satu sisi, AI menawarkan efisiensi. Namun di sisi lain, hal ini menghadirkan bahaya manipulasi visual yang mengikis empati dan memperkuat ketimpangan persepsi global tentang kemiskinan.
Dalam konteks itulah, ketika batas antara kenyataan dan konstruksi digital semakin kabur, tanggung jawab etis lembaga bantuan dunia menjadi pertaruhan utama. Keaslian, transparansi, dan penghormatan terhadap martabat manusia kini menjadi tantangan mendasar dalam memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

