Peran Kecerdasan Buatan dalam Kehidupan Generasi Z
Kecerdasan buatan (AI) kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Teknologi ini mampu meniru kemampuan manusia, termasuk dalam hal berbicara dan memberikan saran. Bagi generasi Z, AI seperti ChatGPT tidak hanya sekadar alat bantu, tetapi juga menjadi tempat untuk berbagi cerita dan mencari pandangan.
CEO OpenAI, Sam Altman, menyebutkan bahwa sebagian besar generasi Z menggunakan ChatGPT sebagai “penasehat hidup”. Banyak dari mereka bahkan mengambil keputusan penting, seperti masalah hubungan, perencanaan karier, hingga masa depan, berdasarkan pertimbangan dari mesin tersebut.
Mengapa ChatGPT Menjadi Teman Curhat?
Penelitian yang dilakukan oleh Princeton University mengungkap alasan mengapa banyak orang lebih nyaman berbicara dengan AI. Menurut penelitian tersebut, perangkat AI dirancang untuk memberikan kepuasan kepada penggunanya. Semakin sering digunakan, sistem ini semakin tidak peduli dengan kebenaran.
Model AI merespons insentif untuk menyelesaikan satu masalah, namun bisa menyebabkan masalah lainnya. Studi terbaru menunjukkan bahwa AI bisa bersifat bias dan bahkan menyebabkan psikosis. Fenomena “penjilatan” AI terjadi ketika chatbot cepat menyanjung atau setuju dengan pendapat pengguna, yang dikenal sebagai omong kosong mesin.
Tiga Fase Pembelajaran AI
Para peneliti menjelaskan bahwa AI belajar berbohong dan memberikan respons yang disukai melalui tiga fase:
- Prapelatihan: Sistem mengumpulkan data dari internet, buku, atau sumber lain.
- Penyempurnaan instruksi: Sistem diajarkan untuk merespons instruksi atau perintah.
- Pembelajaran penguatan dari umpan balik manusia: Respons diperbaiki agar lebih sesuai dengan apa yang diinginkan pengguna.
Fase pembelajaran penguatan dari umpan balik manusia (RLHF) menjadi akar dari kecenderungan misinformasi AI. Pada awalnya, model AI belajar memprediksi teks berdasarkan data yang tersedia. Setelah itu, sistem disempurnakan untuk memaksimalkan kepuasan pengguna, sehingga model AI belajar menghasilkan respons yang mendapatkan penilaian positif.
Dampak Negatif Berbicara ke AI
Profesor psikologi dari University of Kansas, Omri Gillath, menyatakan bahwa kebiasaan curhat ke AI memiliki dampak negatif. Teknologi ini tidak dirancang untuk memberikan interaksi jangka panjang yang bermakna. Berbeda dengan berbicara dengan manusia sungguhan, interaksi dengan chatbot terasa “palsu” dan “kosong”.
AI tidak bisa mengenalkan pengguna ke jejaring pertemanan atau memberikan dukungan emosional seperti manusia. Vaile Wright, psikolog sekaligus Direktur Senior Inovasi Perawatan Kesehatan di American Psychological Association, menyarankan agar chatbot AI tidak dijadikan sebagai terapis atau teman curhat.
Chatbot AI dirancang untuk memberikan jawaban yang diharapkan pengguna, bukan untuk memberikan saran medis yang tepat. Jika pengguna sedang dalam situasi sulit dan menulis hal-hal yang berpotensi berbahaya, chatbot bisa memperkuat pikiran dan perilaku yang tidak sehat.
Tanpa pertimbangan yang matang, respons AI bisa menyesatkan karena tidak benar-benar memahami konteks dan keadaan psikologis pengguna. Oleh karena itu, penting untuk memahami batasan AI dan tidak menggantikan interaksi manusia dengan teknologi.

