Jumat, Desember 5, 2025
BerandaUncategorizedPenipuan AI "Deepfake" Meningkat, Keamanan Identitas Digital Diuji

Penipuan AI “Deepfake” Meningkat, Keamanan Identitas Digital Diuji

Peran Teknologi AI dalam Mencegah Penipuan Digital

Di tengah meningkatnya ancaman di dunia digital, teknologi autentikasi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) semakin menjadi fokus utama untuk memperkuat kepercayaan digital. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya risiko manipulasi identitas di ruang siber yang semakin canggih.

Founder & Group CEO Vida, Niki Luhur, menjelaskan bahwa ancaman penipuan saat ini tidak hanya memanfaatkan celah teknologi, tetapi juga mengganggu perilaku dan kepercayaan pengguna. Modus penipuan seperti phishing dan pengambilalihan akun (account takeover) bisa menyebabkan kerugian finansial yang besar. Ia menyoroti bahwa teknologi deepfake kini sudah begitu canggih hingga sulit dibedakan antara asli dan palsu. Oleh karena itu, peran lembaga seperti Vida sebagai Certificate Authority sangat penting dalam menjaga integritas identitas digital.

Solusi Inovatif dari Vida

Untuk menghadapi tantangan tersebut, Vida mengembangkan dua solusi autentikasi biometrik, yaitu FaceToken dan PhoneToken. Kedua teknologi ini menggabungkan machine learning dan enkripsi tingkat tinggi. Dengan teknologi ini, verifikasi identitas dapat dilakukan tanpa kata sandi melalui deteksi wajah (liveness detection) dan perangkat yang sudah terdaftar. Hal ini memastikan transaksi digital tetap cepat dan aman. Implementasi di sektor keuangan diklaim mampu mengurangi transaksi tidak sah hingga 90 persen.

Selain itu, Vida juga mengembangkan kerangka keamanan berbasis AI (AI-native security framework). Kerangka ini menggabungkan kemampuan computer vision, fraud detection engine, serta analisis perangkat. Tujuannya adalah untuk mendeteksi pola serangan yang lebih kompleks seperti injection attack dan virtual camera spoofing.

Menghadapi Ancaman yang Semakin Canggih

Niki menjelaskan bahwa penipuan sering memanfaatkan reverse engineering tools dan virtual camera injection untuk menipu sistem biometrik. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya memahami bagaimana serangan terjadi mulai dari perangkat hingga jaringan.

Ia juga menyoroti fenomena baru di ekosistem kejahatan digital, yaitu “scan-as-a-service”. Fenomena ini melibatkan jaringan penipu yang menyediakan akses massal ke akun digital. Salah satu temuan adalah adanya “device farm” di Latvia yang melayani sekitar 15.000 pelaku penipuan dan mengakses 48 juta akun digital.

Menurut Niki, pola operasi tersebut menunjukkan bahwa kejahatan siber kini berjalan terorganisir layaknya perusahaan, lengkap dengan infrastruktur dan berbagi data. Untuk itu, ia menekankan perlunya kolaborasi antara perbankan, fintech, asosiasi industri, dan penyedia layanan keamanan.

Kolaborasi untuk Memperkuat Ekosistem Digital

“Sektor industri harus bekerja sama dengan skala yang sama besar untuk memperkuat ketahanan ekosistem digital nasional,” ujar Niki.

Berdasarkan “Vida Fraud Intelligence Report 2025”, kasus penipuan berbasis deepfake di Asia Pasifik tercatat melonjak 1.550 persen. Di Indonesia, 97 persen pelaku bisnis menjadi target social engineering.

Selama periode 2022–2024, kerugian perbankan akibat penipuan digital diperkirakan melebihi Rp 2,5 triliun, terutama akibat penggunaan autentikasi konvensional seperti SMS OTP dan kata sandi. Dengan adanya inovasi teknologi seperti FaceToken dan PhoneToken, diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih efektif dan aman untuk menghadapi ancaman digital yang semakin canggih.

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular