Sabtu, Desember 6, 2025
BerandaUncategorizedPemimpin Asli di Tengah Kekuasaan AI

Pemimpin Asli di Tengah Kekuasaan AI

Penggunaan AI dalam Pemilu dan Dampaknya terhadap Demokrasi

Teknologi kecerdasan buatan (AI) kini menjadi bagian penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia politik. Di Indonesia, penggunaan AI dalam kampanye pemilu 2024 menunjukkan pergeseran yang signifikan dalam cara para calon presiden berkomunikasi dengan masyarakat. Berbagai model sketsa yang dibuat melalui AI digunakan untuk berkampanye, baik oleh tim kampanye maupun relawan. Karikatur AI ini bahkan bisa ditemukan di platform e-commerce, menunjukkan bahwa teknologi ini tidak hanya digunakan secara resmi, tetapi juga secara informal.

Pascapemilu, fenomena ini kemudian mendapat perhatian dari Mahkamah Konstitusi (MK). MK memutuskan bahwa penggunaan AI dalam kampanye dapat menjadi alat manipulasi yang berlebihan, terutama dalam hal foto atau gambar kandidat. Putusan ini menimbulkan diskusi tentang bagaimana demokrasi bisa terganggu oleh teknologi yang semakin canggih.

Dalam sidang putusan nomor 166/PUU-XXI/2023, Saldi, salah satu hakim, menyatakan bahwa informasi yang tidak benar dapat merusak kemampuan pemilih untuk membuat keputusan yang berkualitas. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan AI yang tidak terkendali dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi seperti keadilan dan transparansi.

Aturan Kerahasiaan Dokumen Pencalonan Presiden Indikasikan Masalah Kepemimpinan KPU Artikel Kompas.id Menurut MK, pasal dalam UU 7/2017 yang berkaitan dengan foto atau gambar peserta pemilu harus dipahami secara bersyarat. Peserta pemilu harus menampilkan foto atau gambar diri mereka yang asli dan terbaru, tanpa manipulasi berlebihan. Oleh karena itu, norma-norma lain dalam undang-undang tersebut harus disesuaikan dengan putusan MK.

Namun, larangan penggunaan AI dalam kampanye masih menjadi pertanyaan besar. Apakah aturan ini bisa ditaati di era di mana AI tidak hanya memanipulasi foto, tetapi juga video dan bahkan emosi manusia? Ini menjadi tantangan baru bagi negara dalam mengatur penggunaan teknologi ini.

Mencari Pemimpin yang Genuine

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia bersama Rumah Perubahan, Sekretaris Jenderal DPP Golkar Muhammad Sarmuji menyampaikan pandangan bahwa meskipun MK membatasi penggunaan AI dalam kampanye, penggunaannya oleh para politisi tidak akan berhenti. Ia menekankan bahwa pilpres bukan hanya terjadi pada tahapan pemilu, tetapi juga pada pembibitan bursa calon.

Sarmuji menyoroti bahwa era AI telah berubah menjadi lebih kompleks, tidak hanya merekayasa gambar dan video, tetapi juga emosi manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah pemimpin yang genuine masih bisa lahir di tengah gempuran AI?

Menurutnya, pemimpin saat ini harus berdialog dengan dirinya sendiri, apakah akan mengambil kebijakan sesuai dengan idealismenya atau menuruti suara populis yang direkayasa oleh AI. Ini menjadi dilema besar bagi para pemimpin di era modern.

Pesimisme Masa Depan

Politikus PDI-Perjuangan Andi Widjajanto menyampaikan pesimisme tentang masa depan pemilu. Ia menilai bahwa pemilu 2029 akan lebih kacau karena tantangan AI yang semakin besar. Ia mengutip laporan Kompas yang menyebutkan peristiwa peretasan yang terjadi karena AI dan hampir tidak ada intervensi manusia pada 19 November 2025. Fenomena ini menunjukkan bahwa AI mulai mengambil alih tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan oleh manusia.

Andi mengkritik ketidaksiapan Indonesia dalam mengatur penggunaan AI. Saat ini, Indonesia belum memiliki UU Keamanan Siber, hanya memiliki UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dan perlindungan data pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi penggunaan AI masih jauh dari harapan.

Intervensi Partai Politik

Direktur Eksekutif Deep Indonesia, Neni Nurhayati, memiliki pandangan berbeda. Ia menilai bahwa AI bukanlah penghalang bagi kemunculan pemimpin yang genuine. Menurutnya, partai politik adalah penentu utama dalam regenerasi kepemimpinan. Dengan sistem open list proportional representation, partai harus memberikan contoh bagaimana demokrasi memberikan kesempatan regenerasi.

Neni menawarkan solusi berupa peningkatan literasi digital. Ia menekankan bahwa AI dan media sosial bisa memberikan manfaat jika digunakan dengan bijak. Namun, di tangan yang tidak bertanggung jawab, AI dan media sosial justru akan memperparah polarisasi dan merusak demokrasi.

Urgensi Revisi UU Pemilu

Di tengah perdebatan tentang AI dan pemimpin yang genuine, Neni juga menyoroti urgensi revisi UU Pemilu. Ia menilai bahwa pengaturan penggunaan AI dalam kampanye harus diperketat, sesuai dengan putusan MK nomor 166. Saat ini, UU Pemilu belum secara spesifik mengatur penggunaan AI dalam kampanye.

Neni menyarankan agar UU Pemilu/Pilkada segera dibahas dan dirampungkan. Ia sepakat dengan Andi Widjajanto bahwa pemilu 2029 akan menjadi pemilu yang lebih brutal jika tidak ada regulasi yang jelas. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah adanya rapat antara KPU, Bawaslu, dan Kementerian Komunikasi Digital untuk mengatur ruang digital agar lebih sehat dalam pemilu 2029.

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular