Jumat, Desember 5, 2025
BerandaUncategorizedAI Memasuki Perpustakaan, Bukan Lagi Mainan Pribadi

AI Memasuki Perpustakaan, Bukan Lagi Mainan Pribadi

Peran AI dalam Perpustakaan: Dari Eksperimen Pribadi ke Kebijakan Institusi

Pada awal Agustus 2025, saya memimpin sebuah forum diskusi yang membahas isu penting dan mendesak: bagaimana kecerdasan buatan (AI) bisa masuk ke perpustakaan. Forum ini digelar oleh Pusat Pengembangan Perpustakaan Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi Perpusnas, lembaga yang saya pimpin. Diskusi ini menyoroti tantangan dan peluang yang dihadapi perpustakaan dalam mengadopsi teknologi baru.

Dr. Rahmi dari Program Studi Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia menjadi narasumber pertama. Ia menjelaskan hasil observasinya di kampus-kampus. Banyak mahasiswa, dosen, dan peneliti sudah mulai menggunakan AI. Beberapa di antaranya memanfaatkannya untuk meringkas bacaan, sementara yang lain hanya bereksperimen dengan membuat draft laporan atau publikasi. Saya menambahkan catatan bahwa penggunaan AI masih bersifat sporadis—bergantung pada inisiatif pribadi. Maka, saya mengajukan pertanyaan yang menggelitik: apakah peran tata kelola perpustakaan cukup dibiarkan di level eksperimen pribadi, atau harus naik menjadi kebijakan institusi?

Narasumber berikutnya, Dr. Adin Bondar, Deputi Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, menegaskan perlunya kebijakan agar adopsi AI benar-benar meningkatkan layanan perpustakaan. Meski Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi sudah mengeluarkan pedoman resmi untuk penggunaan AI dalam kegiatan akademik, pedoman tersebut belum cukup membuat lembaga pendidikan mengambil langkah konkret. AI tetap hidup di ruang individu, belum menyatu dalam tubuh organisasi.

Dari sinilah terlihat jelas jurang yang sedang kita hadapi: generasi muda begitu akrab dengan AI, tapi institusi pendidikan dan perpustakaan masih ragu melangkah.

Pengalaman di Kantor: Transformasi Berawal dari Langganan ChatGPT

Pengalaman di forum itu membuat saya merenung. Jurang itu memang nyata. Namun saya bersyukur bisa menghadirkan cerita berbeda di kantor. Saya memimpin tim pustakawan yang mayoritas masih muda, rata-rata belum genap sepuluh tahun menjadi ASN. Mereka punya energi besar, semangat belajar tinggi, dan cepat sekali beradaptasi dengan hal baru. Tantangan saya justru bagaimana mengarahkan energi itu agar tidak tenggelam dalam rutinitas birokrasi.

Beberapa bulan lalu, saya mengambil satu langkah yang agak tidak biasa: menganggarkan langganan ChatGPT dari APBN. Dengan begitu, AI resmi menjadi bagian dari infrastruktur kerja kantor kami, bukan sekadar eksperimen pribadi. Hasilnya terasa nyata. Kami menggunakan AI untuk menyusun dokumen perencanaan, membuat monitoring evaluasi, hingga mengukur dampak kegiatan pengembangan perpustakaan. Jika dulu laporan butuh waktu berminggu-minggu, sekarang cukup beberapa hari. AI membantu menyiapkan draft, sementara pustakawan fokus memperkaya data dan menajamkan analisis.

“AI membuat pondasi, pustakawan memberi jiwa.” Perubahan ini bukan hanya soal kecepatan, tapi juga kualitas. Monitoring jadi lebih terstruktur, evaluasi lebih terukur, dan pembelajaran dari tiap kegiatan lebih jelas dirumuskan. Bukankah ini yang selama ini kita harapkan dari birokrasi—kerja cepat, hasil terukur, dan pembelajaran yang terus berlanjut?

Antara Kosmetik dan Redesign: Menghadapi Teknologi Disruptif

Sejak awal 2024, melalui tulisan di Kompas.id berjudul “Layanan Perpustakaan dan Kecerdasan Buatan Generatif”, saya sudah menekankan bahwa perpustakaan akan segera berhadapan dengan arus kecerdasan buatan generatif. Perubahan ini, saya tulis waktu itu, harus ditopang oleh kebijakan dan regulasi. Kini, pengalaman di forum maupun di kantor memperlihatkan betapa cepat prediksi itu menjadi kenyataan. Jurang adopsi AI tidak lagi soal kemungkinan, tapi soal keberanian kelembagaan untuk menutupnya.

Apa yang kami alami di kantor ternyata sejalan dengan teori manajemen Hammer dan Champy (2009). Menghadapi teknologi disruptif tidak cukup dengan otomatisasi, melainkan butuh perombakan fundamental atau business process redesign. Banyak organisasi tergoda menjadikan AI sekadar “kosmetik”—misalnya menempelkan AI pada katalogisasi atau layanan referensi tanpa mengubah alur kerja. Padahal, perubahan yang sejati hanya terjadi jika AI dibingkai dalam kebijakan strategis, diturunkan ke SOP, lalu diterjemahkan dalam instruksi teknis sehari-hari.

Inilah yang saya coba lakukan di kantor. Dari keputusan berlangganan, penyusunan SOP monev, hingga instruksi teknis pustakawan, semua dirangkai agar AI benar-benar menyatu dalam denyut organisasi. Weske (2024) menyebut kesinambungan semacam ini sebagai inti dari Business Process Management.

AI sebagai Katalis Pengetahuan

Manfaat AI bagi perpustakaan sebenarnya bisa jauh lebih luas. Ia bisa membantu katalogisasi otomatis, menghasilkan kata kunci dan sinopsis koleksi baru, atau membuat rekomendasi bacaan yang lebih personal bagi pemustaka. Ia juga bisa membaca pola kunjungan dan tren pinjaman secara real time, lalu memberi masukan untuk pengembangan koleksi. Gagasan ini sejalan dengan teori klasik. Russell Ackoff (1989) menggambarkan data, informasi, dan pengetahuan seperti anak tangga yang harus dilalui satu per satu. AI membuat langkah di tangga itu lebih cepat. Nonaka dan Takeuchi (2007) menekankan bahwa pengetahuan lahir dari pertemuan antara pengalaman pribadi (tacit) dan informasi tertulis (explicit). AI bisa menjembatani keduanya, sehingga proses belajar jadi lebih cepat menyatu.

Dengan begitu, AI bukan sekadar perangkat tambahan, melainkan benar-benar katalis yang membuat pengetahuan lebih cepat terbentuk dan lebih mudah diakses.

Praktik Global dan Refleksi Pribadi

Praktik serupa juga sudah terlihat di luar negeri. Misalnya, sejumlah perpustakaan nasional di Eropa sudah memanfaatkan AI dalam katalogisasi dan digitalisasi otomatis. Sementara itu, di Tiongkok, Tsinghua University Library mengembangkan chatbot dinamis bernama Xiaotu, yang dapat menyapa dan melayani pemustaka secara real-time. Ini menunjukkan bahwa adopsi AI bukan hanya wacana—melainkan sudah menjadi praktik nyata di dunia.

Sejak 2024 hingga 2025 saya juga menulis sejumlah artikel lain, antara lain “Mencerdaskan Perpustakaan” (Kumparan, 2024) dan “Perpustakaan Era AI Menyapa, Tak Hanya Menyediakan” (Kumparan, 2025). Intinya sama: perpustakaan cerdas bukan sekadar efisiensi, tetapi layanan yang personal, adaptif, bahkan membangun relasi yang lebih manusiawi. AI Companion, misalnya, bisa hadir bukan hanya memberi rekomendasi bacaan, tetapi juga menyapa, memahami minat pembaca, bahkan mendampingi kegelisahan.

Refleksi-refleksi itu kini terasa semakin relevan. Pengalaman di forum maupun di kantor memperlihatkan bahwa adopsi AI tidak cukup berhenti pada percepatan kerja. Ia harus diarahkan menjadi kekuatan yang menjaga integritas nalar publik.

Menutup Jurang: Keberanian dan Inovasi

Jurang adopsi AI di perpustakaan memang nyata. Banyak lembaga enggan mengambil risiko, lebih mudah membiarkan pustakawan bereksperimen sendiri ketimbang membangun infrastruktur dan kebijakan yang menuntut perubahan. Namun pengalaman kami menunjukkan bahwa jurang itu bisa ditutup. Syaratnya ada dua: keberanian mengambil keputusan kelembagaan, dan kesediaan memberi ruang bagi pustakawan muda untuk berinovasi.

Saya percaya, AI tidak akan menggantikan manusia. Tapi ia bisa menjadi asisten terbaik bagi pustakawan yang penuh semangat. Tugas kita sebagai pemimpin adalah memastikan teknologi ini hadir dalam sistem kerja resmi, bukan sekadar jadi mainan pribadi.

Dalam opini saya “Batin Jadi Medan Perang” (Kumparan, April 2025), saya menulis bahwa ruang kesadaran manusia kini menjadi medan tempur paling strategis. Algoritma, narasi, dan disinformasi bekerja untuk membentuk cara kita berpikir. Dalam lanskap ini, perpustakaan tidak bisa hanya berperan sebagai penyedia informasi, tetapi juga sebagai benteng kognitif bangsa. Maka, adopsi AI di perpustakaan bukan hanya soal efisiensi organisasi. Ia juga bagian dari strategi kebangsaan: menjaga integritas nalar publik di tengah pusaran perang kognitif global.

Di tengah derasnya arus teknologi, perpustakaan tidak boleh hanya jadi penonton. Ia harus ikut menata arah. Pertanyaannya kini: apakah perpustakaan siap melangkah sejauh itu?

zonagadget
zonagadgethttps://www.zonagadget.co.id/
Berikan ilmu yang kamu punya, niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

New Post

Most Popular