Kecerdasan Buatan: Peluang dan Tantangan di Era Digital
Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) kini bukan lagi sekadar konsep fiksi, melainkan alat yang menjadi kompas dalam dunia pengetahuan. Namun, bagaimana cara menggunakannya secara etis dan bertanggung jawab? Pertanyaan ini muncul dalam berbagai diskusi, termasuk dalam kegiatan AI Warrior Camp yang diselenggarakan oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Korwil Makassar bekerja sama dengan Google News Initiative.
Acara yang digelar di kampus UIN Alauddin Makassar di Gowa, Sulsel pada Kamis (30/10/2025), diikuti oleh 50 mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang penggunaan AI yang bijak dan bertanggung jawab, serta menekankan pentingnya literasi digital di kalangan generasi muda.
Peran AI sebagai Alat Bantu
Muannas, salah satu trainer dalam acara tersebut, membuka sesi dengan penekanan bahwa AI hanyalah alat yang sepenuhnya bergantung pada pengguna. Ia menegaskan bahwa AI tidak bisa selalu benar dan bahwa manusia tetap menjadi pengendali utama. “AI tidak bisa benar seratus persen. Kitalah pengendalinya,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan peserta bahwa di balik kemampuan AI yang canggih, terdapat risiko besar seperti manipulasi visual (deepfake) dan penyebaran hoaks. Oleh karena itu, ia menyarankan agar para peserta selalu bersikap skeptis, cerdas, dan etis terhadap informasi yang dihasilkan oleh AI. “Skeptis itu cerdas. AI itu alat bantu, bukan penentu kebenaran,” katanya.
Selain itu, Muannas mengajarkan teknik-teknik literasi kritis untuk menelusuri sumber dan memeriksa kejanggalan digital. Hal ini sangat penting dalam era di mana informasi bisa dengan mudah dipalsukan atau disalahgunakan.
Penggunaan AI dalam Pembelajaran Akademik
Sesi berikutnya dipimpin oleh Nurfadillah, yang fokus pada pemanfaatan AI untuk pembelajaran akademik secara produktif dan bertanggung jawab. Ia menyebut bahwa mahasiswa kini berada di “era prompt”, di mana kemampuan menulis instruksi cerdas (prompt) menjadi keterampilan kunci.
“Kita tidak hanya dituntut tahu cara memakai AI, tapi juga harus tahu kapan, untuk apa, dan sejauh mana penggunaannya etis,” ujar Nurfadillah. Ia menekankan bahwa AI harus digunakan sebagai alat bantu, bukan pengganti proses berpikir. Para peserta diajak untuk berkolaborasi dengan AI, bukan menjadikannya pengganti kemampuan intelektual mereka sendiri.
Dalam sesi praktik, mahasiswa dikenalkan dengan beberapa alat AI seperti Google Pinpoint (alat analisis dokumen) dan NotebookLM (platform perangkum bacaan akademik). Alat-alat ini menjadi contoh bahwa AI dapat meningkatkan efisiensi belajar tanpa mengorbankan tanggung jawab intelektual.
Tanggung Jawab Moral dalam Penggunaan Teknologi
Makassar beruntung menjadi tuan rumah program nasional ini. Acara ini menunjukkan pentingnya kecakapan digital yang diiringi dengan tanggung jawab moral. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Abd. Rasyid Masri, menyambut baik kegiatan ini. Ia melihat AI sebagai fenomena luar biasa yang memberi kemudahan sekaligus peringatan.
“Era sekarang adalah era kolaborasi. Tidak ada yang bisa sukses sendirian. Kita harus berdamai dan berkompromi dengan perkembangan teknologi,” tuturnya.
Melalui AI Warrior Camp ini, Mafindo dan mitra kerja berharap mahasiswa sebagai generasi penerus dapat menggunakan kekuatan AI dengan etika dan moralitas yang tinggi. Dengan demikian, kecerdasan buatan benar-benar menjadi kompas yang memandu, bukan menyesatkan.

