Ancaman Siber yang Mengancam Infrastruktur Nasional
Indonesia kembali diingatkan akan ancaman siber yang semakin nyata seiring dengan percepatan transformasi digital di berbagai sektor. Situasi ini bukan hanya sekadar masalah teknis, tetapi juga melibatkan risiko yang bisa memengaruhi kehidupan masyarakat dalam hitungan menit. Gangguan kecil pada sistem energi atau layanan publik dapat merembet ke aktivitas sehari-hari secara cepat.
Salah satu acara yang mengangkat isu ini adalah Cyberwolves Con 2025, yang diselenggarakan di Jakarta beberapa waktu lalu. Konferensi tahunan ini digagas oleh Spentera dan menjadi wadah bagi praktisi keamanan siber, akademisi, regulator, serta komunitas teknologi. Tujuannya adalah untuk memperkuat ketahanan siber Indonesia yang dinilai semakin terancam oleh ancaman digital.
Direktur Spentera, Royke L Tobing, menjelaskan bahwa kolaborasi antar sektor sangat penting dalam menghadapi ancaman siber. Ia menekankan bahwa ketahanan siber hanya bisa dicapai jika seluruh sektor saling terhubung dan mendukung satu sama lain. Fokus utama konferensi kali ini mencakup perlindungan infrastruktur vital seperti energi, sistem kontrol industri (ICS), dan sistem pengendalian terdistribusi (SCADA), serta risiko dari penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan tantangan digital masa depan.
Kerentanan Pada Infrastruktur Energi
Dalam salah satu panel diskusi, para narasumber menyampaikan kondisi jaringan listrik Jawa Bali. Sistem yang menyuplai lebih dari 60 persen energi nasional tersebut masih memiliki kerentanan serius. Banyak perangkat lama belum diperbarui, protokol komunikasi SCADA minim enkripsi, dan antarmuka sistem yang terhubung ke internet menggunakan kredensial bawaan. Integrasi Internet of Things (IoT) dan akses jarak jauh yang tidak sepenuhnya aman membuat risiko semakin besar.
Seorang peneliti keamanan industri menunjukkan bahwa gangguan kecil saja bisa berdampak panjang. Contohnya, pemadaman listrik pada tahun 2019 dan gangguan listrik di Bali pada 2025 telah menjadi bukti nyata bahwa serangan siber di sektor energi bukanlah teori belaka. Ia menilai penguatan keamanan di sektor kelistrikan juga berkaitan erat dengan kepercayaan publik.
Risiko AI Terhadap Ekonomi dan Pertahanan
Para narasumber juga membahas penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) di sektor finansial, e-commerce, telekomunikasi, layanan publik, hingga pertahanan. Meski menawarkan efisiensi, teknologi ini juga membawa risiko baru. Model AI yang tidak diverifikasi dan data yang tidak diuji bisa menjadi celah bagi serangan siber.
Selain itu, Indonesia masih banyak mengandalkan teknologi impor tanpa pengujian ketat. Kemandirian dalam pengembangan AI menjadi isu penting agar tidak menimbulkan risiko terhadap kepentingan strategis nasional. Tantangan lain muncul dari kesiapan institusi dalam merespons insiden siber. Koordinasi antarunit dinilai sering berjalan sendiri-sendiri, dan proses forensik digital belum konsisten.
Peristiwa ransomware yang menimpa Pusat Data Nasional pada 2024 kembali diangkat sebagai contoh. Seorang praktisi siber menekankan bahwa respons yang lambat bisa menyebabkan gangguan menjalar ke layanan publik lainnya. Ia menyarankan simulasi rutin dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia sebagai langkah penting.
Kolaborasi Jadi Kunci Utama
Royke L Tobing kembali menegaskan bahwa isu siber bukan hanya soal teknologi. Dampaknya bersifat multidimensi, bisa memengaruhi ekonomi, kepercayaan publik, bahkan stabilitas nasional. Ia mengajak sektor energi, keuangan, pemerintahan, dan industri digital untuk memperkuat tata kelola serta melakukan audit keamanan berkala.
Menurutnya, komitmen bersama adalah fondasi agar Indonesia tetap tangguh di tengah ancaman siber yang semakin kompleks. Dengan kolaborasi yang erat dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, peluang transformasi digital dapat dimanfaatkan tanpa meninggalkan risiko besar bagi negara.

