Awal Kehidupan Seorang Teknisi yang Berani Berbeda
Jonathan Ross bukanlah nama yang dikenal secara luas sebelum membangun Groq. Ia adalah mantan karyawan Alphabet, perusahaan induk Google, yang memilih untuk meninggalkan bayang-bayang raksasa teknologi dan mengambil jalan yang berbeda. Tujuannya adalah membangun sesuatu yang lebih efisien dan canggih: chip inferensi AI.
Chip ini tidak digunakan untuk melatih model, tetapi untuk menjalankannya secara real-time dengan kecepatan tinggi dan penggunaan energi yang minimal. Dalam waktu singkat, startup ini mencatat pertumbuhan yang luar biasa. Dari valuasi awal US$2,8 miliar, Groq kini naik menjadi US$6,9 miliar (sekitar Rp 113 triliun).
Pendanaan sebesar US$750 juta baru saja diperoleh, dipimpin oleh Disruptive dan diikuti oleh investor besar seperti Blackrock, Samsung, dan Cisco. Namun, angka-angka ini hanyalah permukaan dari sebuah perubahan besar dalam dunia teknologi global.
Chip Inferensi: Solusi yang Cocok untuk Era Baru
Groq tidak fokus pada pelatihan AI, yang membutuhkan daya komputasi sangat besar. Perusahaan ini memilih jalur inferensi, yaitu proses menjalankan model yang sudah dilatih. Ini merupakan inti dari berbagai aplikasi modern seperti chatbot, kendaraan otonom, sistem rekomendasi, dan pengenalan suara.
Chip Groq dirancang berbasis LPU (Language Processing Unit), yang menawarkan kecepatan dan efisiensi tinggi. Ross menyebutnya sebagai “infrastruktur Amerika” untuk AI. Tidak disangka, ekspansi terbesar Groq justru terjadi di wilayah Timur Tengah, khususnya di Arab Saudi.
Arab Saudi: Investor Besar dan Pusat Data AI Dunia
Arab Saudi memberikan investasi sebesar US$1,54 miliar untuk chip Groq. Di kota Dammam, pusat data inferensi AI terbesar di dunia sedang dibangun. Pusat ini akan melayani pasar EMEA dan Asia Selatan, yang mencakup hampir 4 miliar orang.
Proyeksi pendapatan Groq dari kemitraan ini mencapai US$500 juta tahun ini. Demonstrasi langsung model reasoning LLM dan text-to-speech dalam bahasa Inggris dan Arab telah dilakukan dari pusat data tersebut.
Bagi Arab Saudi, ini adalah bagian dari visi mereka menuju Vision 2030, yaitu transformasi ekonomi dari minyak ke teknologi. Bagi Groq, ini adalah langkah penting menuju infrastruktur AI global.
Risiko yang Mengintai: Geopolitik, Etika, dan Reputasi
Investasi besar ini tentu tidak tanpa risiko. Pertama, ketergantungan pada satu negara membuat Groq rentan terhadap perubahan kebijakan atau instabilitas regional. Kedua, isu hak asasi manusia di Arab Saudi bisa menjadi sorotan jika chip AI digunakan untuk pengawasan atau propaganda. Ketiga, tekanan komersial akibat valuasi tinggi sering kali membawa tekanan untuk IPO atau akuisisi, yang bisa mengubah arah riset dan budaya inovasi.
Groq kini berada di tengah perlintasan antara idealisme teknologi dan realitas pasar global.
Pengaruh Terhadap Pasar Teknologi Global
Investasi ini mengubah peta industri teknologi:
- Inferensi Jadi Primadona: Fokus industri bergeser dari pelatihan ke inferensi. Startup seperti Groq memimpin tren ini.
- Diversifikasi Ekosistem AI: Timur Tengah kini menjadi pusat komputasi AI, bersaing dengan Silicon Valley dan Tiongkok.
- Kebutuhan Regulasi Global: Investasi lintas negara mendorong perlunya standar etika dan regulasi internasional untuk penggunaan AI.
Penutup: Keberanian Membangun Masa Depan
Kisah Jonathan Ross bukan hanya tentang transformasi dari pegawai biasa menjadi pendiri startup bernilai triliunan. Ini adalah cerita tentang keberanian untuk keluar dari sistem yang mapan dan memilih jalan yang belum pasti, tetapi penuh makna.
Groq lahir bukan dari kemewahan, melainkan dari keyakinan bahwa teknologi bisa dibangun dengan cara yang lebih efisien, adil, dan relevan dengan kebutuhan zaman. Ketika dunia mulai beralih ke inferensi, Ross sudah berada di sana—bukan sebagai pengikut tren, tetapi sebagai pembentuknya.
Bagi siapa pun yang merasa kecil di tengah sistem besar, kisah ini adalah pengingat bahwa keberanian untuk membangun, berpikir berbeda, dan tetap setia pada visi jangka panjang bisa mengubah segalanya.
“Kadang yang kita butuhkan bukan jalan yang terang, tapi keberanian untuk melangkah dalam gelap dengan keyakinan bahwa cahaya akan menyusul.”

