Kasus Mahasiswa Menggunakan AI untuk Menipu Presensi di Kampus
Di sebuah universitas ternama di Amerika Serikat, terjadi kasus menarik terkait penggunaan kecerdasan buatan (AI) oleh mahasiswa. Ratusan mahasiswa di University of Illinois diketahui melakukan “penipuan absen” dalam kelas mata kuliah Data Science Discovery. Hal ini terungkap setelah dosen mengamati adanya ketidaksesuaian antara jumlah mahasiswa yang tercatat hadir dan kehadiran aktualnya.
Sistem presensi di kelas tersebut menggunakan alat bernama Data Science Clicker. Setiap mahasiswa harus memindai QR-code di ruang kelas dan menjawab pertanyaan pilihan ganda dalam waktu 90 detik agar tercatat sebagai hadir. Namun, beberapa minggu setelah semester dimulai, dosen mulai mencurigai bahwa jumlah mahasiswa yang tercatat jauh lebih besar dari yang sebenarnya hadir.
Melalui pengecekan alamat IP, log server, dan melihat seberapa sering mahasiswa me-refresh situs, dosen menemukan bahwa sejumlah mahasiswa melakukan penipuan dengan memindai kode QR dan menjawab pertanyaan presensi dari luar ruangan. Setelah itu, dosen menghubungi sekitar 100 mahasiswa yang dicurigai melakukan kecurangan dan meminta penjelasan.
Awalnya, para dosen merasa terharu karena banyak mahasiswa yang langsung mengakui kesalahan mereka dan mengirimkan surat permintaan maaf. Namun, rasa haru itu berubah menjadi kekecewaan ketika dosen menyadari bahwa sebagian besar surat permintaan maaf tersebut memiliki struktur dan gaya tulisan yang sangat mirip, sehingga kemungkinan besar ditulis oleh chatbot AI.
Dalam kelas tanggal 17 Oktober, dosen memproyeksikan isi semua surat permintaan maaf tersebut di layar. Dosen juga mengunggah kasus ini ke media sosial Instagram, yang akhirnya viral. Meskipun tidak ada hukuman berat yang diberikan, dosen menyebut kejadian ini sebagai “pelajaran hidup” bagi para mahasiswa.
Penggunaan AI di Kampus Bukanlah Hal Baru
Kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Di forum Reddit, khususnya di subreddit Universitas Illinois, banyak asisten dosen dan mahasiswa mengakui bahwa penggunaan AI di kampus sudah menjadi hal umum. Seorang asdos menyebut bahwa “AI slop”, istilah yang digunakan untuk menggambarkan karya yang dibuat oleh AI, terdeteksi pada sekitar 75 persen tugas yang dikumpulkan.
Beberapa mahasiswa mengaku menggunakan ChatGPT untuk menulis tugas-tugas tertentu, sementara yang lain menggunakan AI untuk menjawab soal pemrograman yang sebenarnya mudah. Namun, ada juga sisi lain yang perlu diperhatikan. Beberapa mahasiswa merasa dituduh tanpa bukti kuat, karena alat pendeteksi AI sering kali tidak akurat. Akibatnya, sebagian dosen hanya mengandalkan intuisi mereka sendiri untuk menilai apakah tulisan mahasiswa benar-benar orisinal.
Dampak dan Pelajaran yang Didapat
Kasus ini menunjukkan betapa cepatnya perkembangan teknologi AI dan bagaimana dampaknya terhadap dunia pendidikan. Meskipun AI bisa menjadi alat bantu yang sangat berguna, penggunaannya yang tidak etis dapat merusak nilai-nilai akademik. Selain itu, kasus ini juga memicu diskusi tentang bagaimana institusi pendidikan harus menyesuaikan diri dengan munculnya teknologi baru seperti AI.
Bagi mahasiswa, kasus ini menjadi pengingat bahwa kecurangan tidak akan selalu tersembunyi, terlebih jika mereka terlalu bergantung pada teknologi. Bagi dosen dan institusi pendidikan, penting untuk meningkatkan kesadaran akan risiko penggunaan AI serta memperkuat sistem pengawasan yang efektif.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, tantangan baru akan terus muncul. Namun, yang paling penting adalah bagaimana kita mampu memanfaatkan teknologi secara bertanggung jawab dan tetap menjaga integritas akademik.

